Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.
BRAKK
Pintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.
“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.
Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.
“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.
Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.
“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya aku bertindak, membalas semua yang sudah kamu lakukan padaku!”
Tawa Arga ikut pecah, ia menggelengkan kepalanya sambil menertawakan wanita yang berdiri di hadapan Arga.
“Bukan kah kamu yang pasrah aku sakiti? Kenapa masih bertahan? Kenapa kamu masih berdiam padahal tahu bahwa selama ini bahkan aku sama sekali tidak pernah memiliki perasaan apapun padamu? Kau sendiri yang menyerahkan dirimu untuk di sakiti, bukan?” cecar Arga dengan mata memerah, senyum mengejek itu masih tergambar di wajahnya.
Indira mengeram, hampir dua tahun sudah dia bertahan dan semuanya sia-sia. Ternyata memang Arga sama sekali tidak pernah mencintai dirinya. Bukan dia wanita yang ada di dalam hati laki-laki itu. Tetapi perempuan beranama ‘Ra’ itu yang sampai sekarang masih bertengger di dalam hati Arga.
“Kau ...,” rahang Indira mengeras, ia benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana caranya menghadapi suaminya ini.
“Apa?” bentak Arga keras, “Aku peringatkan kamu sekali lagi, jangan pernah campuri urusan pribadiku, Indira Yustina Pramudita. Jangan pernah campuri urusanku!” Arga mengacungkan telunjuknya tepat di depan hidung Indira.
Kemarahan Indira meledak, ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi.
“AKU ISTERIMU, MAS!” teriak Indira emosi, “Aku berhak mencampuri urusan pribadimu, aku berhak atas itu!” Indira balik menujuk Arga, membuat emosi makin meledak-ledak.
Arga membuang nafas kasar, tangannya mengepal kuat. Rasanya ia ingin melayangkan kepalan tangan itu ke wajah Indira, namun akal sehatnya yang tinggal sisa sedikit itu melarangnya, mencegahnya melakukan hal tersebut.
“Sebagai isteri aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, perilaku kamu dan perselingkuhan kamu!” kemarahan Indira benar-benar meledak luar biasa, dua tahun dia pendam semua itu seorang diri dan sekarang rasanya dia sudah tidak sanggup lagi.
“Bahkan aku diam saja ketika semua hak sebagai isteri tidak pernah kamu berikan. Semua hakku kau berikan ke selingkuhanmu tanpa pernah kamu berikan sedikitpun kepadaku!”
Arga menatap Indira dengan tatapan sinis, ia melemparkan ponsel dan dompetnya ke sofa yang ada di dalam kamar mereka, sofa yang biasanya selalu dia pakai tidur. Tangannya melepas atasan scrub yang dia kenakan, membuat Indira sontak tergagap dan beringsut mundur.
“Mau apa kamu?” tanya Indira setengah berteriak.
“Bukan kah barusan kamu protes perihal hak mu yang tidak pernah aku berikan?” Arga tersenyum sinis, kini dia melepas celana scrub-nya, melangkah mendekati sang isteri yang terus beringsut mundur menjauhi dirinya.
Keringat dingin mengucur membasahi tubuh Indira, ia tahu dan paham betul apa maksud dan hal apa yang hendak dilakukan suaminya itu. Jika selama ini dia selalu berharap saat ini datang, maka kini ia benar-benar tidak mau hal itu terjadi.
Arga dalam pengaruh minuman keras, itu yang pertama. Dan yang kedua, Indira tahu betul Arga melakukannya tidak atas cinta. Arga tidak pernah mencintai dirinya.
Indira hendak lari ke arah pintu kamar, ketika tangan kekar Arga meraih tangannya, mencengkeram kuat tangan Indira dan menariknya dengan kasar. Arga langsung mendorong tubuh Indira hingga jatuh ke atas ranjang, menindih tubuh itu dan meraup wajah Indira yang memucat.
“Ini yang kamu mau, In? Akan aku kabulkan!”
“Nggak! Pergi!” Indira mencoba berontak, namun sayang Arga lebih gesit!
Bibir Arga membungkam bibir Indira, tangannya sibuk menyingkirkan apapun yang menghalangi kulit mereka bersentuhan. Arga marah hari ini. Karena Clara yang tidak pulang menemui dirinya dan yang kedua karena Indira yang dengan begitu lancang ingin mencampuri urusan pribadi Arga, bahkan berani mengancam Clara.
Arga begitu menggebu, ia ingin memuntaskan semua kemarahan ini dengan menggauli tubuh yang sudah dia miliki secara utuh namun belum pernah sekalipun dia sentuh ini. Ia begitu berambisi melampiaskan kemarahannya sampai-sampai tidak sadar bahwa ada panggilan masuk ke dalam ponselnya, panggilan dari nomor yang sejak tadi begitu Arga tunggu.
‘Only One is calling ....’
***
Morgan duduk di kursi yang tadi dihantarkan seorang perawat IGD itu untuk dia gunakan duduk. Sudah dua jam dia duduk di samping bed di mana dokter cantik itu terbaring. Luka di dahinya sudah di jahit dan dibersihkan. Wajahnya sudah bersih dari darah dan itu semakin membuat Morgan sadar bahwa wanita ini benar-benar sangat cantik.
Dia sendiri sudah banyak dimintai keterangan oleh pihak kepolisian, mobilnya masih di kantor kepolisian dan sudah di urus oleh Rudi, tangan kanan Morgan yang sudah hampir lima tahun bekerja sebagai asisten pribadi Morgan.
“Dok, kapan sadar?” desis Morgan lirih, matanya tidak lepas memandangi wajah itu, kenapa dia tampak begitu cantik dalam posisi tidur seperti ini?
Baru kali ini Morgan begitu tertarik pada wanita, bahkan sampai dia melupakan ketakutannya pada darah. Sampai dia rela duduk di IGD berlama-lama hanya demi menanti dokter ini sadar. Sangat lain sekali dengan kebiasaan Morgan selama ini.
‘Lu cantik banget sumpah, Dok!’ Morgan melipat tangannya di dada, netranya tidak lepas memandang wajah itu, sungguh tidak membosankan sekali wajah yang tengah tidak sadarkan diri itu.
Morgan tengah menikmati wajah itu, ketika sosok dengan seragam biru-biru muncul menyapa dirinya.
“Permisi, Bapak, Bapak suaminya?” tanya perawat itu sambil menatap Morgan dengan seksama.
Suami?
Morgan sontak tergagap, ia beringsut bangkit dan berdiri di depan perawat itu.
“Ah ... bukan, saya kebetulan tadi terlibat kecelakaan dengan dokter Clara, Sus. Memang ada apa?”
“Oh begitu, ini ada beberapa administrasi yang harus diselesaikan, Pak.” Perawat itu menyodorkan beberapa lembar kertas ke arah Morgan.
“Harus sekarang, Sus? Saya masih nunggu orang saya datang, bisa agak nanti?” entah mengapa Morgan tidak ingin pergi dari sisi dokter itu barang sedetik saja. Dia ingin menantikan sosok itu sadar dan membuka matanya.
Bukan! Bukan untuk meminta pertanggung jawaban atas penyoknya Ferrari kesayangan Morgan, tetapi dia ingin memastikan bahwa dia tidak kehilangan ingatan macam di sinteron-sinteron.
“Bisa Bapak, kalau bisa secepatnya. Saya permisi dulu, Pak.”
Morgan mengangguk, ia segera merogoh sakunya. Siapa lagi kalau bukan Rudi yang hendak dia perintahkan mengurusi berkas-berkas rumah sakit? Morgan sedang begitu serius dengan ponselnya hingga mengabaikan pergerakan jemari-jemari lentik itu.
“Rud, cepet kesini, gue tunggu!”
Morgan segera menutup teleponnya, menoleh dan terkejut mendapati tangan itu sudah terulur memijit pelipis yang terbalut perban. Dia sudah sadar!
“Sus! Suster!”
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks