Rudi sudah tiba di depan pintu kokoh dan besar berwarna cokelat gelap, warna yang Morgan pilih sendiri untuk pintu ruangan pribadinya. Jantung Rudi berdegub 2 kali lebih cepat. Ia menghirup udara banyak-banyak, berusaha menenangkan diri dan menghilangkan semua gugup yang menderanya saat ini. Bukan hanya gugup, tetapi juga perasaan takut dan sebuah perasaan yang Rudi sendiri tidak bisa menjelaskan dengan detail.
Rudi mengangkat tangan, mengentuk pintu beberapa kali, lantas menekan knop dan membukanya perlahan-lahan. Bisa Rudi lihat, lelaki yang wajahnya masih nampak berbinar cerah itu tengah duduk di mejanya, dengan laptop terbuka dan beberapa dokumen berserakan di meja.
“Bos panggil saya?”
Sebenarnya Rudi tidak perlu bertanya, bukankan pesan tadi sudah begitu jelas menyuruh dia datang ke ruangan Morgan begitu selesai mengantarkan nyonya Morgan ke rumah sakit?
“Sini duduk, Rud. Gue mau nanya beberapa hal sama elu!”
Rudi menel
“Ga!”Arga yang tengah melangkah hendak kembali ke ruangannya, sontak menoleh, mendapati Tomi, sejawat anestesi nampak berlari-lari kecil ke arahnya. Alis Arga berkerut, tumben Tomi sampai lari-lari mengejar dirinya? Ada apakah?Arga membalikkan badan, menanti sejawatnya itu sampai ke dekatnya. Napas Tomi nampak tersengal-sengal, maklum untuk pria gempal macam Tomi, lari macam tadi cukup membuatnya ngos-ngosan.“Kenapa? Macam dikejar setan?” tanya Arga sambil menepuk pungguh Tomi yang masih mencoba menetralkan napas.Tomi mengangkat wajah, menatap Arga dengan begitu serius. Hal yang lantas membuat alis Arga berkerut menatap sejawatnya itu. Kenapa sih? Tomi ini kenapa?“Apakah yang menyebabkan kamu menalak istrimu dan mengajukan gugatan cerai adalah karena penyelewengan yang dia lakukan?” tanya Tomi to the point yang sontak membuat Arga terkejut.Bagaimana tidak terkejut kalau Tomi sampai menanyakan hal ter
Callista menyambar masker yang sudah dia siapkan. Suara bel itu berdenting dan Rudi berkali-kali memperingatkan agar ketika pengantar makanan tadid tiba mengantarkan makanan, tidak ada yang boleh melihat wajah Callista. Jadi kacamata dan masker ini tentu akan sangat membantu Callista untuk menyembunyikan wajah.Sebelum membuka pintu, Callista mengintip di pintu guna memastikan orang tersebut memang orang suruhan Rudi, bukan orang yang dia kenal atau mamanya! Jangan! Callista tidak mau kembali ke mamanya, apapun itu ia merasa begitu nyaman, damai dan terlindungi di sini, meskipun harus terisolasi di dalam apartemen milik Rudi.Callista membuka pintu, nampak lelaki dengan jersey bola itu tersenyum ke arahnya.“Dengan Mbak Tata, ya? Ini saya disuruh Pak Rudi antar makan siang!”Tata adalah nama samaran yang sudah mereka sepakati bersama. Callista meraih beberapa kantong plastik dari tangan lelaki itu, mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Ia
Rudi meletakkan ponsel di meja. Seketika kepalanya jadi begitu pusing. Calon? Kapan memangnya Rudi punya waktu luang untuk leha-leha, mejeng sana-sini mencari calon istri? Sebenarnya Morgan juga tidak terlalu menekan Rudi, toh Rudi juga punya anak buah sendiri. Pekerjaanya menyediakan waktu juga kalau Rudi berniat hendak santai dan memburu jodoh, tetapi Rudi yang tidak mau. Ah ... bukan tidak mau, tetapi belum mau.Sekarang ... ibunya tidak hanya meminta dia pulang untuk acara sang adik, tetapi juga pulang sambil membawakan calon mantu! Di mana Rudi bisa nemu calon mantu untuk dia bawa pulang menemui ibunya nanti?Rudi tengah berpikir keras ketika pintu ruangannya terbuka, nampak Morgan muncul dan melangkah masuk menghampiri mejanya.“Rud? Lu kenapa?” Morgan segera duduk di kursi, menatap wajah tangan kanannya yang tengah ditekuk itu.Rudi tersenyum getir, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Nampak ia menghela napas sambil menengadahkan kep
Callista melangkah dengan penuh ragu mendekati telepon. Ia dalam kebimbangan, perlukah dia angkat? Atau diamkan saja? Tapi bagaimana kalau Rudi yang menelepon dan hendak memberinya kabar? Callista menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan guna meraih gagang itu. Ia segera mendekatkan benda itu ke telinga. Dengan begitu lirih dan takut-takut ia mulai bersuara.“Ha-halo?”“Astaga, Ta! Kemana aja sih? Aku sempet ngira kamu kenapa-kenapa karena lama angkat telepon!”Fiuh!Lega sekali hati Callista ketika suara Rudi yang menyapanya. Ketakutan Callista sontak lenyap tidak bersisa. Senyum Callista merekah, kenapa tiap dia mendengar suara Rudi, rasanya begitu gembira? Padahal suara itu begitu kaku, dingin dan begitu datar.“Maaf. Jujur aku lagi parno banget, Mas. Rasanya kayak dihantui.” Desis Callista jujur.“Mana ada hantu siang-siang, Ta? Apa sih yang kamu takutkan?” tanya suara itu yang entah m
Clara segera membuka pintu mobil, masuk ke jok belakang dan meletakkan tas di di samping. Tanpa banyak bicara Rudi segera membawa mobilnya melaju. Ia nampak melirik Clara yang asyik dengan ponselnya. Menghela napas panjang lalu perlahan-lahan mulai bersuara. "Mbak ... Boleh tanya nggak?"Clara sontak mengangkat wajah, menatap Rudi dari pantulan kaca mobil lalu tersenyum dan mengangguk pelan. "Tanya apa? Kok kayaknya penting banget?" Senyum merekah di wajah Clara, dari kacamatanya, ia tahu kalau Rudi tengah galau. "Mbak, kalau kita tiba-tiba merasa nyaman, seneng pas ada di dekat seseorang, benci lihat dia sedih dan nangis, itu artinya apa, Mbak?"Clara melongo, ia menatap nanar Rudi dari kaca. Wajah itu nampak serius dan tidak terlihat main-main. Sebenarnya Clara ingin tertawa mendengar kalimat pertanyaan itu. Konyol sekali kalau Rudi menanyakan hal macam itu, padahal anak kemarin sore saja paham dan ngerti apa jawaban dari pertanyaan
“Jadi begitu ceritanya, Mbak.” Rudi bersandar di jok depan, matanya menatap Clara yang duduk di jok belakang lewat kaca mobil. “Mbak janji jangan cerita ke Bos kalau aku cerita semua ini sama Mbak, ya?” mohon Rudi dengan suara lirih.Clara menghela napas panjang. Jadi begitu? Dulu sekali, mama mertuanya sempat tidak setuju Clara menikahi anaknya dan hendak menjodohkan Morgan dengan gadis bernama Callista itu? Hingga kemudian rahasia besar keluarga itu kenapa begitu bernafsu hendak mengadakan perjodohan itu terungkap. Yaitu surat tagihan hutang yang mencapai angka puluhan trilliun yang menjerat keluarga gadis itu. Hal yang lantas membuat Feni membatalkan rencana awalnya dan lebih memilih menyetujui Morgan menikahi Clara. Ah ... rasanya mendadak dada Clara menjadi sesak.“Jangan khawatir, Mas. Aku bisa jaga rahasia kok. Makasih sudah mau cerita banyak hal yang selama ini bahkan Morgan rahasiakan dari aku.” Gumam Clara dengan suara sama
"Sore Sayangku!"Clara tersenyum ketika Morgan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. Dia baru saja pulang. Sedangkan Clara, ia sudah sejak tadi sampai rumah meskipun harus berhenti beberapa saat untuk sekedar mendengarkan curhatan Rudi dan tentu saja cerita tentang rahasia besar yang Morgan simpan dirinya. "Udah kelar semua urusannya?" Tanya Clara ketika Morgan menjatuhkan diri tepat di sisi Clara. "Sudah. Semua sudah beres. Kenapa?" Morgan melingkarkan tangan ke tubuh sang istri, rasanya bersandar di tubuh Clara adalah pelepas penat terbaik! "Malam ini aku pengen sama kamu terus, Sayang. Besok aku jaga malam. Pulang pagi." Desis Clara manja. Tentu jaga malam adalah hal yang tidak bisa Clara hindari selama dia masih menjadi residen. Morgan mendengus. Sebuah resiko dan konsekuensi yang harus dia terima, Clara sudah menjelaskan dari awal. Jadi dia tidak bisa protes dan merajuk perkara jaga malam di IGD yang harus Clara jalani. "Besok aku antar paginya biar Rudi jemput nanti." Gu
"Papa memang begitu, Ga. Maklumi saja, ya?"Arga mendengus, ia menoleh dan mendapati mamanya tersenyum simpul sambil menepuk bahunya. Maklumi? Sikap ayahnya yang sudah sangat keterlaluan itu dia suruh memaklumi? Gila saja! "Papa keterlaluan, Ma! Dia lebih mementingkan materi dari perasaan anak sendiri dan Mama suruh Arga maklumi?" Tentu Arga protes, ada apa ini? Terdengar helaan napas panjang. Arga pun ikut menghela napas. Hatinya mendadak kembali perih teringat semua hal yang sudah Arga lalu dan apa-apa saja yang hancur karena ayahnya sendiri. "Mama ngerti, tapi mau bagaimana lagi? Sudah watak papamu kayak gini." Kembali suara itu bergumam begitu lembut. Arga mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tidak berniat membalas atau membantah. Dia hanya menundukkan wajah sambil berusaha mengusir rasa sakit yang kembali menyeruak menyiksa hatinya. Membuat lukanya yang belum kering kembali berdarah. "Kamu juga kenapa nggak cerita soal kekasihmu itu, Ga?" Kembali suara itu menyapa Arga den