Clara mengerjapkan matanya, ia merasakan dada bidang itu memeluk tubuhnya dengan begitu hangat. Ia menggeliat, dapat ia rasakan bahwa tubuhnya sama sekali tidak terbungkus apapun kecuali selimut dan tubuh hangat itu.
Clara mencoba membuka mata ketika kemudian ia terkejut setengah mati. Ini bukan aroma tubuh dan parfum Arga! Clara membuka matanya, terkejut setengah mati mendapati dirinya berada dalam dekapan Morgan dalam kondisi tanpa busana.
Clara sontak bangkit, menyingkirkan lengan kokoh yang memeluk tubuhnya itu. Wajah itu tampak begitu pulas dalam tidurnya, membuat Clara tercengang dan masih belum percaya dengan apa yang dia hadapi sekarang.
"Nggak ... nggak mungkin!" dua tangan Clara menutup mulut, ia tampak sangat syok. "Nggak mungkin kan semalam ...," Clara tidak melanjutkan kalimatnya, dengan sisa keberanian yang dia miliki, Clara membuka selimut yang menutupi mereka.
Semuanya jelas sekarang! Sangat jelas dan sangat memukul Clara dengan begitu lua
Morgan terengah hebat, peluhnya bercucuran. Dengan perlahan dan sangat lembut, ia menarik diri dari sana. Membiarkan cairan putih itu meleleh keluar dari inti tubuh Clara. Clara sendiri pun sama tidak berdayanya, tubuhnya lemas seketika dengan peluh membasahi tubuh."Jangan pulang, Ra. Tetaplah di sini!" desis Morgan dengan nafas terengah.Clara membuka mata, mata itu nampak begitu sayu, namun lebih hidup dari mata Clara beberapa hari kemarin. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis."Aku harus berangkat ke rumah sakit, Gan. Bisa ngamuk konsulenku kalau aku mangkir lagi." sebenarnya kalau boleh jujur, Clara ingin libur lagi barang sehari. Tenaganya terkuras hebat, persendiannya seperti lepas semua. Tapi sekali lagi, tekadnya menjadi seorang spesialis membuat Clara bertekad hari ini dia harus tetap masuk."Setelah dari rumah sakit kamu pulang ke sini, kan? Tenang ini rumah aku pribadi. Nggak ada siapapun di sini kecuali asisten aku sam
"Makan siang aku jemput!"Clara yang hendak bersiap turun itu sontak melotot. Apa tadi Morgan bilang? Dia hendak menjemput dirinya untuk makan siang? Di rumah sakit? Yang benar saja!"Gan ... ta-tapi ... aku-.""Aku jemput nanti, jangan banyak membantah!" Morgan menarik kepala Clara dengan lembut, menjatuhkan kecupan di dahi Clara, lantas turun meraup bibir merona Clara yang begitu menggoda.Clara membeku, hanya sepersekian detik, karena di detik selanjutnya, ia membalas dengan lembut pagutan bibir itu. Kenapa setiap sentuhan dan buaian laki-laki ini begitu memabukkan? Sangat berbeda dengan Arga!Morgan melepaskan pagutan bibir mereka, menatap dalam-dalam mata itu dari jarak yang begitu dekat."Tolong jangan terlalu lama menyiksaku, Ra! Aku tidak sanggup jika harus membagimu dengan laki-laki itu." bisik Morgan begitu lirih.Clara terpaku. Mata itu ... kenapa mata itu begitu menghipnotisnya? Clara mengangg
Morgan bergegas turun dari mobilnya ketika melihat sosok itu melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit. Kaca mata hitam sudah bertengger di telinganya, ia tentu tidak ingin Clara melihat keberadaannya. Dengan langkah tergesa, Morgan mengejar langkah Indira. Berhenti di belakang wanita itu ketika ia hendak meraih knop pintu."Dokter Indira." sapa Morgan dengan halus dan lirih.Indira menoleh, tersenyum dan mengangguk lantas membuka pintu lebar-lebar. "Silahkan masuk, Bro!"Bro. Itu adalah panggilan akrab Indira setelah mereka sepakat bersekongkol untuk misi penting yang beberapa waktu lalu mereka bahas bersama. Panggilan yang sepertinya hanya berlaku kalau mereka tatap muka karena ketika di Wh*tsApp, Morgan begitu formal sekali. Morgan segera melesat ke dalam, banyak sekali hal yang perlu mereka bicarakan berdua. Tentu saja perihal Clara dan Arga."Jadi apa yang membuatmu ingin segera menyerang, Bro?" Indira duduk, menyimak dengan serius maks
Clara dengan tergesa-gesa keluar dari gedung rumah sakit. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan bahwa Arga tidak menguntit dirinya. Bahwa dia bisa bebas bertemu dengan Morgan yang tadi sudah mengabari Clara bahwa Morgan sudah menanti Clara di depan rumah sakit.Benar saja! Mobil sport merah itu sudah menanti Clara di depan sana. Membuat beberapa pandangan mata tertuju pada mobil dengan lambang kuda itu."Yang benar saja, Gan! Kenapa harus pakai mobil itu sih?" Clara menghela nafas panjang, bisa ramai jadi perbincangan orang-orang nanti kalau ada pegawai rumah sakit yang melihat Clara masuk ke dalam mobil mewah itu.Clara mempercepat langkahnya, segera masuk ke dalam dan menutup pintu mobil. Tampak wajah Morgan begitu datar, kaku dan sedikit masam."Gan, kenapa pakai mo-.""Apa yang dia lakukan padamu?" potong Morgan tanpa menoleh ke arah Clara.Clara tercekat, ia menyandarkan tubuh di jok samping dan mengusap w
"Loh, tumben?" Begitulah reaksi menyebalkan yang Indira tunjukkan ketika Arga dan Profesor Dicky tiba di ruang prakteknya. Sebuah reaksi yang sontak mendapatkan pelototan mata dari Arga. Bisa-bisanya sang isteri berkata demikian? Sengaja ingin papanya tahu apa yang terjadi di antara mereka selama ini? Keterlaluan! "Sudahlah, ayo ikut. Nggak bosan apa makan siang di kantin mulu?" Dicky nampak tidak ingin dibantah, membuat Indira lantas bangkit dan meletakkan stetoskop miliknya di atas meja. "Ah okelah." desisnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi guna mengikat rambut, sebuah tindakan yang entah mengapa kini memancing Arga seketika. 'Sialan!' runtuk Arga kesal. Kenapa kini dia mudah sekali terpancing dengan Indira? Biasanya tidak pernah. Apakah efek Arga yang sudah mencicipi nikmat tubuhnya? "Kamu yang pilih mau makan di mana, In." ujar Dicky lantas memasukkan ponsel miliknya ke salam saku celana. Tampak
Arga membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya seperti di hantam sesuatu yang begitu kuat dan keras, sesuatu yang lantas sukses membuat nyawanya seperti hendak tercabut dari dalam tubuhnya.Tampak sosok itu tersenyum getir dan wajah masam ketika menatapnya, hanya sekilas, karena ia lantas menundukkan pandangannya, tidak berani menatap langsung ke arah Arga."Indira, Arga, kenapa kalian malah berdiri diam di sana? SIni!"Sebuah titah yang lantas membuat Indira meraih tangan Arga dan menyeretnya mendekati tiga orang yang nampak tengah berbincang di salah satu meja.Arga sekuat tenaga menahan diri. Rasanya dia ingin berteriak, mengamuk dan menghajar laki-laki yang berdiri di sebelah Clara-nya. Siapa laki-laki itu?"Ini residen anestesi tahun ke dua, kan?" sapa Indira sambil tersenyum dan mengulurkan tangan."Be-betul, Dokter." Clara menjabat tangan Indira, lantas mengulurkan tangan ke arah Arga.Arga mematung, air matanya hampir tumpah me
"Gan ... kamu itu ... ah!" Clara menjatuhkan dirinya di jok, bersandar dengan lemas di jok sambil memijit pelipisnya. Sementara Morgan tertawa terbahak-bahak di balik kemudinya jika dia ingat bagaimana merah padamnya wajah Arga tadi. Benar-benar di luar dugaan mereka bisa bertemu, bukan? Sebuah rencana dadakan hasil pemikiran Indira yang begitu top markotop. "Sudahlah, jangan khawatirkan apapun. Kamu punya aku, Sayang!" Morgan rasa Arga bukan lawan yang sebanding untuknya, dia jauh berada di bawah Morgan. "Ya tapi kan ...," Clara mendadak pening, apa yang Arga lakukan ketika dia mendatangi Clara nanti? "Percaya padaku, dia tidak akan berani macam-macam, Ra. Dan setelah semua ini usai, aku pastikan aku akan segera menikahimu." ***Clara menatap nanar kepergian mobil sport mewah itu dari depan gerbang rumah sakit. Mimpi buruk apa lagi ini? Bisa Clara lihat bagaimana wajah Arga tadi, dia pasti tidak akan tinggal diam nanti malam. Clara
Selepas makan siang, Arga jadi uring-uringan. Wajahnya begitu masam, sangat tidak ramah. Beberapa kali dia tidak segan membentak sang asisten dan beberapa koas yang ikut dia praktek siang ini. Ruangan Arga begitu mencekam, membuat siapa saja kecuali para pasien, rasanya ingin pergi dan lenyap dari hadapan dokter jantung satu itu. "Masih berapa pasien?" tanya Arga pada Arestya, asisten pribadinya. "Ba-banyak, Dok." jawab Arestya tanpa berani menatap sosok itu. Satu tengah tahun dia menjadi salah satu perawat poli jantung, baru kali ini dia melihat dokter satu ini begitu murka, ada apa? "YA SAYA TAU MASIH BANYAK, TAPI BERAPA JUMLAHNYA? NGGAK BISA NGITUNG?!" kembali suara Arga melengking, membuat jantung siapa saja yang mendengar suara itu rasanya hendak rontok dari tempatnya. "Du-dua belas lagi, Dok." kembali Arestya menjawab, keringat dingin mengucur, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Arga tid