Elvan benar-benar dibuat takjub oleh Diva. Rasa sakitnya hilang seketika saat melihat mata karamel yang menyipit karena lengkungan senyum lebarnya.“Jadi ini aku boleh buka, kan?” Diva menunjuk ke arah ponsel Elvan yang ada di atas meja. “Aku bukan orang yang akan menarik kata-kataku. Lakukan saja.” Elvan kemudian melanjutkan makannya sambil sesekali melirik ke arah kekasihnya itu.Diva mengambil ponsel itu dan membukanya. Diva terkejut karena gambar yang muncul saat dia membuka ponsel milik Elvan adalah tampak belakang dari foto dirinya yang sedang memanah. “Kamu … kenapa ini ….” Diva merasakan sebuah kebahagian baru lagi melihat gambarnya di ponsel Elvan. “Fokus sama tujuan kamu dulu, Diva.” Elvan memperingatkannya. Diva lalu mengerucutkan bibirnya dan membuka pesan dari Marissa. “El, aku ingin bicara padamu tentang urusan pekerjaan. Tolong angkat teleponmu. Urusan pribadi antara kamu dan aku lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu, ini menyangkut Lux Tech Group.” Diva selesa
Penjelasan Diva membuat Elvan tetap mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita ini kecuali bagian membandingkan dirinya dengan orang lain. “Ucapanmu ini apa sedang … memujiku?” Diva tertawa melihat kebingungan yang muncul di raut wajah kekasihnya itu. Dia lalu berdiri dari tempatnya dan mengajak Elvan bangkit dari posisinya. “Sudah selesai makannya, aku naik ke atas dulu.” Diva mengalihkan fokus pembicaraan mereka. “Tunggu dulu, kamu belum menjelaskannya, aku tidak mengerti–” “Intinya aku makin menyukaimu.” Diva menangkupkan tangannya ke kedua pipi Elvan. “Aku ke atas dulu. Jangan lupa pulang nanti tunggu aku di halte seberang setelah kerjaanku selesai.” Setelah mengatakan hal itu Diva membalikkan badannya dan ingin berjalan ke luar tetapi sayangnya Elvan tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Pria itu menahan tangan Diva dan memaksa wanita itu menghentikan langkahnya. “Kenapa Van?” tanya Diva, dia khawatir kalau terlalu lama bersama dengan Elvan
Diva jalan ke ruangannya dengan perasaan yang sangat campur aduk, dia benar-benar sangat merasa hidupnya seperti mimpi saat bertemu dengan Elvan. Entah kenapa pria itu berhasil membuatnya selalu terbang tinggi. Semua perlakuannya sangat manis! Walaupun setelah itu, Diva selalu khawatir kalau-kalau semuanya ini hanya semu, layaknya membangun sebuah istana megah dari tumpukan pasir di pinggir pantai yang siap kapan saja akan hancur karena diterpa ombak besar. "Ya Tuhan ... semoga ini tidak terjadi," ucap Diva dengan sungguh-sungguh. Bukan tidak ada alasan dia berpikir tentang hal seperti ini, sudah banyak contohnya, beberapa hal baik selalu diberikan oleh pria saat di awal hubungan, selanjutnya bisa saja rasa itu akan menguap perlahan seiring dengan rasa penasaran yang kian memudar. Lalu, Diva mengangkat tangannya dan melihat gelang di pergelangan tangannya itu, detik berikutnya dia tersenyum dan bergumam, “Mudah-mudahan dia tidak sama dengan yang lain,” setelahnya dia menarik napas
"Diva kamu tidak perlu takut berlebihan. Pak Elvan memang mengawasi langsung, tapi tidak seperti kemarin, karena Pak Elvan juga banyak kerjaan lainnya. Paling kita hanya memberikan laporan saja.” Deska berkata dengan sedikit tenang. “Mbak Deska, sedang gak kasih angin seger sama saya, kan?” Diva bertanya dengan ragu. Deska hanya menggelengkan kepalanya mendengarkan ucapan Diva barusan. “Hal yang penting sudah didapatkan oleh Pak Elvan dan Pak Miko, jadi kita tinggal mengikuti alur kerja normal saja. Jadi, kalaupun kamu ada yang kurang mengerti atau tidak jelas, segera tanya.” “Baiklah.” Diva berkata dengan nada rendah. Mendengarkan hal itu, Diva langsung mengirim pesan pada Elvan. [Van, apa kamu nanti akan mengawasi langsung pekerjaan ini? Kudengar dari Mbak Deska, katanya pimpinan tim kami ambil cuti.] Diva menunggu jawaban dari Elvan setelah pria itu membacanya, tapi setelah dibaca pesan itu sepertinya tidak dijawab oleh Elvan. “Dasar cowok nyebelin, malah gak dijawab lagi,
Diva keluar dari lift dan berjalan di lobi dengan pikiran yang berkecamuk. Kata maaf ini sangat menakutkan untuk Diva. Memikirkan hal itu, membuat Diva sangat kesal. “Hei Div!” Seseorang menepuk pundaknya dan membuat Diva sangat terkejut nyaris berteriak karenanya “Maaf!” Reni muncul di hadapan Diva. “Ah, kamu ini hampir saja aku teriak.” Diva berkata dengan menghela napasnya. “Kamu jalan bengong gitu, kayak orang banyak pikiran aja!” Reni berkata santai padanya. “Belum pulang Ren?” tanya Diva heran, karena Reni adalah orang yang paling duluan keluar dari ruangan mereka saat itu. “Belum, Aku lagi nungguin adikku yang katanya mau jemput aku, tadi bilangnya dia sudah di bawah ternyata dia bohong!” Reni menggerutu. “Eh, tadi aku ketemu sama pacarnya Winda! Ganteng loh, sepertinya dia orang kaya.” Reni memulai gosip dengan Diva. “Iya, tadi dia bilang emang dijemput sama pacarnya, pacarnya itu sedang nungguin dia di lobby." Diva menanggapi ucapan Reni barusan. "Terus, kamu udah kenal
Reni dan Diva mengawasi dari tempat mereka untuk melihat interaksi antara Deska dan Elvan yang cukup serius, lalu tiba-tiba saja wajah Deska berubah menjadi cerah. “Terima kasih banyak Pak Elvan sudah mau membantu kami. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas budi ini.” Deska berkata pada Elvan. Gelombang Ssara Deska terdengar sampai ke telinga keduanya. Reni dan Diva saling lempar pandang. Setelah mengatakan hal itu, Deska berjalan dengan cepat keluar gedung ini. Sedangkan mereka berdua harus diam di tempat karena sesaat setelahnya Elvan melihat keduanya dengan tatapan yang cukup tajam. Pria itu berjalan mendekati Reni dan Diva. “Div, mati kita!” Reni berseru dengan suara berbisik dan pandangan yang menunduk sedangkan Diva, dia hanya diam dan malah membalas tatapan tajam Pria itu. “Kalian belum pulang?” Datar seperti biasa Elvan berbicara. “Be-belum, Pak, saya sedang menunggu jemputan.” Reni menjawab dengan nada takut-takut. “Kalau kamu?” tanya Elvan pada Diva. “Saya juga sam
Diva benar-benar terkejut dengan tindakan Elvan barusan. “Van, lepasin nanti diliatin orang, hei!” Diva berkata dengan nada panik. “Tidak ada orang lagi, aku sudah melihat sekitar.” Elvan berkata dengan tegas. “Kamu … lepasin dulu.” Diva masih berontak saat ada di dalam lift. “Tidak, kalau aku lepas nanti kamu kabur.” Elvan berkata datar. “Mana mungkin aku kabur dari tempat tertutup ini!” Diva berseru. Elvan menggelengkan kepalanya. Diva hanya bisa pasrah. Saat melewati koridor ke ruangan Elvan, semua sudah nampak sepi, tidak ada satupun orang yang tersisa termasuk Dania. “Sudah cepetan ambil apa yang kamu bilang penting tadi.” Diva berkata dengan suara panik. Bukan apa-apa dalam keadaan sepi seperti ini dan mereka hanya berdua saja, pikiran Diva sudah melayang kemana-mana. Elvan lalu membuka filling kabinet yang ada di belakang meja kerjanya, Dia melihat Diva yang cukup gelisah terlihat lucu. “Diva, kamu tenang saja, aku tidak akan berbuat hal yang tidak masuk akal di sini.”
Anggala mengendarai kendaraannya membelah jalanan dengan cukup kencang. Marissa, wanita itu mengajaknya untuk bertemu di sebuah komplek pergudangan di pinggiran kota, dia mengatakan bahwa tempat itu cukup jauh dari keramaian, hal itu juga untuk berjaga-jaga setelah mempertimbangkan kemungkinan untuk bertemu orang yang mengenali dirinya, Anggala berpikir ini pilihan yang tepat, daripada mereka harus bertemu di area publik yang terbuka. “Apa kamu sudah sampai?” tanya Anggala dalam panggilan teleponnya, dia melirik jam yang ada di dasboard, pria itu sadar saat ini sudah lebih dari sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. “Ya, tentu saja, aku orang yang tepat waktu. Kira-kira berapa lama lagi aku akan menunggumu? Kalau tidak, aku akan membatalkan tawaran menarikku ini.” Suara Marissa terdengar tenang. “Dalam 15 menit lagi.” Anggala menjawab seadanya. “Baiklah, lebih dari itu, tawaran menarikku ini tidak akan berlaku lagi.” Dia cukup yakin Anggala memang sangat perlu aliansi sekarang