Hari sudah pagi, Diva masih menemani Elvan yang sudah dipindah ke ruangan perawatan biasa. “Van, kamu sudah bangun?” tanya Diva saat pria itu membuka matanya. Elvan tersenyum saat tahu kalau Diva masih ada di sana menemaninya. “Pukul berapa sekarang?” tanya Elvan. Diva melihat ke pergelangan tangannya. “Tujuh kurang lima menit.” Mendengar hal itu Elvan mengerutkan keningnya, lalu melihat ke arah jendela yang sudah mulai terang tetapi masih tertutup oleh vertical blind, sehingga cahayanya tidak langsung masuk menerangi kamar ini. “Kenapa belum dibuka?” tanya Elvan pada Diva dengan suara yang masih sedikit serak. “Ah, itu … aku tidak mau nanti kamu terbangun karena silau, jadi kubiarkan tetap tertutup saja.” Diva tersenyum padanya. “Kamu bilang ini pukul tujuh kurang lima menit, kan? Kenapa kamu masih ada di sini? Kamu gak ke kantor?” tanya Elvan pada Diva membuat wanita itu mengerutkan keningnya. ‘Saat seperti ini bisa-bisanya pria ini mengatakan hal tentang kantor?! Apa dia
“Ah! Maaf, Kakek datang di waktu yang kurang tepat ya!” Hartono muncul dari balik pintu membuat keduanya terkejut. Diva yang menyadari hal itu langsung cepat berdiri dan menunduk, jelas sangat malu sekali karena aksinya kepergok orang lain, apalagi orang tersebut adalah Hartono Wongso! Kalau saja dia punya ilmu menghilang, maka dia akan menggunakan jurus itu sekarang juga. Beda dengan Elvan yang tersenyum melihat reaksi Diva, dia malah terlihat santai seolah tidak ada hal besar yang baru saja terjadi diantara mereka. “Sebelum masuk bukannya harus ketuk pintu dulu, Kek?” ucap Elvan melirik ke arah Diva yang masih tertunduk. “Kakek itu khawatir sama kamu! Kakek baru tahu kalau kamu mengalami hal buruk ini! Kalau saja Marissa tidak memberitahu kakek, mereka tidak akan bilang ke kakek!” Pria itu merujuk kata mereka pada keluarga inti Elvan. Mendengar nama Marissa disebut membuat Elvan mengerutkan keningnya. “Marissa yang bilang?” “Ya, tentu saja! Hal ini harusnya tidak perlu ditu
Respon Diva ini membuat Elvan ingin protes, tetapi Diva menatapnya dengan pandangan kalau dia akan baik-baik saja. Komunikasi yang dilakukan lewat tatapan mata keduanya ini diperhatikan oleh Hartono secara sekilas. “Ayo kita ke depan,” ajak Hartono. Kemudian, dia melihat ke arah Elvan dan berkata, “Kakek tidak akan membuat tunanganmu ini menangis, tenang saja.” lalu dia menepuk perlahan pundak Elvan dan berjalan keluar bersama dengan Diva. Sesampainya di luar, Hartono melihat tajam ke arah Diva dan wanita itu mau tidak mau harus menunduk untuk menghindari tatapan itu. Bukan dia tidak berani, tetapi kali ini Diva mencoba untuk memberikan rasa hormat pada pria itu. “Maafkan aku, Kek.” Kalimat itu meluncur dari bibir Diva begitu saja. “Katakan kenapa kamu harus minta maaf?” tanya Hartono dengan dingin. Diva menarik napas dalam, detik berikutnya dia membalas tatapan Hartono dengan tajam, bukan maksud untuk melawan, dia hanya ingin memberanikan diri saja. Lagipula, Elvan tidak akan sam
Diva masuk ke ruangan perawatan kembali setelah menenangkan diri dari ucapan Hartono, yang jelas sangat membuatnya merasa bahagia dan bersyukur sekali. Dia berpikiran kalau akan ada dari keluarga Elvan yang bakalan memaki dirinya karena sudah membuat pria itu dalam bahaya, tetapi kenyataannya sungguh sangat berbalik.‘Diva, kali ini kamu tidak boleh mudah menyerah!’ teriak Diva dalam hati.“Div, kakek bilang apa sama kamu?” tanya Elvan dengan wajah yang terlihat khawatir.Diva diam, dia tidak menjawab dia sedikit ingin menggoda pria itu.“Kenapa? Kakek berkata kasar padamu? Dia bilang tentang si Marissa juga?” Elvan mencecar Diva dengan pertanyaan.Diva hanya Diam.“Div, apa kamu baik-baik saja, hehm?” tanya Elvan lalu meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan erat.“Kakek bilang begini, kalau kakek katakan kamu harus meninggalkan Elvan sekarang, apa kamu bersedia?” Ucapan Diva membuat wajah Elvan cukup menegang.“Apa? Pria tua itu bilang seperti itu sama kamu?!”Diva mengangg
Diva segera melepaskan tautan bibir mereka saat terdengar suara nada dering yang cukup nyaring dari ponsel milik Diva. Wanita itu segera mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.Sebenarnya ada kelegaan tersendiri untuk Diva karena ponselnya berdering, karena dengan begitu dia pasti tidak akan bersikap canggung setelah mereka selesai melakukannya!“P-pak Miko?” gumam Diva lalu mengerutkan keningnya. Seolah tersadar kalau ini adalah hari kerja, Diva terlihat panik.“Kenapa Miko menghubungimu?” Elvan berkata dengan nada tidak suka.“Ssst! Diamlah sebentar.” Diva berkata pada Elvan lalu, segera menggeser tombol di layar ponsel itu.“Selamat pagi, Pak Miko.” Diva menyambut panggilan telepon itu, lalu berjalan menjauh dari Elvan.“Pagi, Diva.” Suara berat terdengar dari seberang sana.“Pak maaf, saya belum sempat kasih kabar, kalau sepertinya saya tidak bisa masuk kerja hari ini karena–”“Saya tahu alasanmu, tapi ada hal yang perlu Saya bicarakan dengan Pak Elvan dan ini m
“Thank you Pris, kerja samanya. Selebihnya nanti kamu bisa datang ke kantor kuasa hukum Elvan, Andi mungkin bisa menemanimu, tadi aku juga sudah bicara padanya.” Suara Miko terdengar dari sambungan internal yang mereka miliki saat sedang bekerja jarak jauh seperti sekarang ini. “Sama-sama Pak Miko. Aku akan melaksanakan sisanya. Secara pribadi saya juga mengucapkan terima kasih banyak atas bantuannya, karena video kakak saya ….” Prisya terdengar menghela napas dalam. “Tidak perlu, santai saja.” Terdengar jawaban santai di seberang sana. “Eh, tapi Pak Miko beneran gak liat dan–” “Eits! Kamu pikir aku orang yang berotak mesum? Tenang aku bisa menahannya untuk tidak melihat hal itu, walaupun sebenarnya aku sedikit penasaran.” Miko berkata diakhiri dengan kekehan ringan. “Dasar pria sama aja,” gumam Prisya. “Santai dong! Eh, artinya hari ini Diva tidak ke kantor, kan?” Miko bertanya pada Prisya. “Sepertinya begitu, tidak mungkin dia meninggalkan bos kita. Apalagi kalau Pak Elvan sad
“Apa Nyonya Elvan akan marah besar?” Elvan melihat ke arah Diva dengan menyipitkan sebelah matanya, lalu suaranya juga dikeluarkan dengan sangat mendayu, membuat Diva yang awalnya menatap tajam menjadi heran melihat tingkah pria itu. “Kamu … jangan coba-coba mengeluarkan ekspresi semacam itu di depanku,” tunjuk Diva pada Elvan dengan mata yang melotot. Hal itu seketika membuat Elvan mengeluarkan ekspresi sedih yang dibuat-buat. “Padahal kamu sendiri yang mengatakan wajahku sedikit monoton, sekarang aku sedang mengekspresikan perasaanku, kenapa malah jadi kena marah lagi? Bukankah ini agar terlihat lebih variatif?” Elvan berkata dengan nada merajuk! Kali ini pria itu benar-benar seperti bukan Elvan yang dikenal Diva. Dia bahkan mengeluarkan ekspresi kanak-kanak yang membuat Diva makin gemas. “Elvannnnnnn! Jangan menye-menye kayak anak cewek! Lemes banget dan gak sesuai sama kamu yang punya badan besar gini!” Diva sedikit geram melihat tingkah Elvan yang menjadi manja tiba-tiba.
“Kakak, apa tidak mau mengganti pakaian dulu?” Prisya berkata sambil memberikan paper bag yang ada di tangannya pada Diva. “Sudah, gantilah dulu! Aku ada urusan sedikit dengan kakak iparku ini.” Prisya berkata dengan lantang membuat Diva membelalakkan matanya! “Kamu …!” “Jangan banyak protes, pertanyaannya simpan dulu, ini sangat mendesak!” Prisya lalu mendorong Diva untuk pergi ke kamar kecil yang ada di sana. Diva mau tidak mau harus mengikuti kemauan Prisya, tidak mungkin dia bertengkar dengan adiknya sekarang ini, yang ada bisa malu, masa sesama saudara malah ribut? Gengsi dong! Setelah Diva berada di toilet, Prisya langsung melihat ke arah Elvan yang saat ini sedang duduk bersandar sangat santai di tempat tidur pasien. “Pak Elvan … apa sudah mendingan?” tanya Prisya dengan sedikit cengengesan. “Pak Elvan?” Elvan mengerutkan keningnya lalu kembali berkata, “Bukannya tadi kamu sudah memberiku label kakak ipar?” “Ah, itu … biar kakakku itu lebih cepat bergerak.” Prisya