#6
"Apa kamu menyetujuinya?" Sera bertanya hati-hati. Leon yang kala itu terdiam bermaksud memikirkan betapa puasnya ia dengan kenyataan jika Sera telah setuju akan tawarannya lantas tersadar. Ia lalu menatap sang wanita dengan sorot mata yang menyorot tajam. Sera tertegun sejenak, menatap lama wajah pria itu jujur saja benar-benar membuat Sera cukup merasa seram. Mengingat bagaimana wajahnya yang penuh akan raut jutek dan acuh tak acuhnya. Bisa Sera katakan, wajah Leon sangat mirip dengan karakter bos kaya raya berwajah menyeramkan dan dingin seperti di film-film biasanya. "Apa kamu pikir saya akan menolaknya?" tanya balik Leon dengan nada mematikan lawannya. Perlahan, tampak bagaimana Sera yang menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu. Saya … hanya ingin memastikannya saja," sahut Sera mencoba tenang. Ia tidak ingin sampai terlihat sedang takut di hadapan pria itu. Leon bergeming, mengandalkan wajah yang tampak sangar itu. Ia lantas menatap tak berkedip ke arah sang wanita. "Biar saya tekankan, apa saja persyaratan yang ingin saya ajukan sebelum kita memutuskan untuk menggelar pernikahan!" seru Sera cepat. Sebisa mungkin, wanita itu menghindari kontak matanya dengan sang pria. Leon menyeringai, pria itu tidak bodoh untuk tidak menyadari bagaimana tatapannya yang memiliki pengaruh besar bagi wanita itu. "Tunggu sebentar. Aku akan kembali sebentar lagi." Sera lantas berdiri dari duduknya. Terlihat bagaimana wanita itu yang akan beranjak pergi ke suatu tempat untuk mengambil sesuatu. Leon mengernyit merasa bingung dengan apa yang mungkin akan dilakukan oleh Sera. "Tunggu sebentar saja! Jangan pergi ke mana-mana," sambung wanita itu menegaskan agar Leon tak bergeser barang satu gerakan pun selama ditinggalnya pergi.Sepersekian detik kemudian, Leon tampak terlihat acuh. Dalam pikirannya, tak ada gunanya juga jika pria itu merasa penasaran atau pun peduli pada apa yang akan dilakukan Sera. Toh, wanita itu juga nantinya akan kembali dan memperlihatkan dirinya. Tak berselang lama setelahnya, terdengar suara pintu yang terbuka. Hal itu tentu saja menyita perhatian dari Leon. Leon kembali mengerutkan keningnya begitu mendapati Sera yang kembali dengan selembar kertas dan juga pena tulisnya. "Apa yang akan kamu lakukan dengan benda itu?" tanya Leon begitu Sera mendaratkan tubuhnya untuk duduk kembali di hadapan Leon. Sera hanya memilih diam dan mengabaikannya saja. Tampak tangan kanannya yang mulai memegang pena itu dan langsung membubuhi tulisan tangannya pada kertas putih bawaannya itu. Cukup lama Leon dibiarkan oleh wanita itu hanyut dalam rasa penasarannya. "Ambillah! Anda bisa membacanya ataupun menambahkan tulisan Anda di sana!" Tepat 3 menit setelahnya, Sera lalu menengadahkan kembali wajahnya guna bersitatap dengan pria dingin itu lagi. Tak lupa, Sera lantas memberikan kertas putih yang ia pegang kepada sosok pria di hadapannya.Meski awalnya bingung namun akhirnya Leon mengambilnya saja. "Syarat yang pertama, gak ada kontak fisik antara kita berdua." Sera berujar begitu mendapati Leon yang hanya melihat tulisannya itu tanpa membacanya dengan lantang. "Kedua, kalau nanti kita sudah menikah. Pokoknya … saya mau kita pisah ranjang. Gak boleh sampai satu tempat tidur!" tegas Sera tak ingin syaratnya itu sampai diprotes. Leon lagi-lagi mengernyit. Oh, ayolah! Mana mungkin juga dia akan berlaku lebih pada wanita itu. Jelas sekali, tujuan Leon mendekati wanita itu hanya untuk mengajaknya bekerja sama dalam membalaskan dendamnya. "Bukan masalah besar. Tentu saja persyaratan ini disetujui." Leon berujar sebagai balasannya. "Kita menikah bukan karena keinginan kita masing-masing. Semua dilakukan demi membalas perbuatan para bajingan-bajingan sialan itu," sambung Leon membuat Sera menganggukkan kepalanya menyetujui. Keduanya memang melakukan semuanya hanya karena ingin sama-sama memuaskan hasrat dendam yang membara di dalam diri mereka masing-masing. "Seharusnya kamu gak perlu menuliskannya begini. Akan saya buat kontrak perjanjiannya nanti," sahut Leon menatap tulisan di kertas itu. Sera tampak terdiam, ia seakan memikirkan tentang apa yang menjadi dendam di dalam diri pria itu. Pasalnya, Sera tentu sudah sangat jelas alasan mengapa ia bisa memiliki dendam yang begitu besar pada Brian dan Nyonya Danira. Tetapi, pria di hadapannya itu masih belum menjelaskan kepadanya tentang alasan di balik rasa dendam yang ia miliki pada keluarga Danira. Sera mengalihkan pandangannya ke arah Leon, ingin rasanya ia berujar tapi ada perasaan ragu yang timbul saat kalimat akan terucap dari mulutnya. "Bicaralah!" Leon yang menyadari tingkah Sera pun tampak langsung blak-blakan di hadapan wanita itu. Sera terperanjat tak menyangka jika pria itu akan menyadari sikapnya. "Hmm, itu … kamu tentu sudah mengetahui alasan di balik saya ingin membalas dendam kepada Brian dan Nyonya Danira. Sedangkan kamu, saya…." Belum selesai Sera melanjutkan kalimatnya, Leon pun langsung saja menegakkan tubuhnya. Terlihat bagaimana pria itu yang melirik sekilas ke arah arloji yang bertengger manis di tangannya. "Saya rasa pembahasan kita hari ini sudah cukup. Saya masih ada pekerjaan setelah ini." Leon lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Sera begitu ia usai menatap arlojinya itu. Sera pun tampak turut ikut berdiri. Ia menatap pria itu begitu dalam. "Untuk kapan terlaksananya pernikahan kita dan hal-hal lainnya, nanti akan segera saya kabarkan. Kalau begitu, saya harus segera pergi." Terdengar helaan napas yang cukup panjang keluar dari mulut Sera. Sepertinya pria itu tampaknya tidak ingin membagi kisahnya kepada Sera. Sera lalu menganggukkan kepalanya sebagai balasan atas ucapan pria itu. "Terima kasih untuk kerjasamanya." Leon berujar sebelum akhirnya pundak pria itu pun perlahan mulai menghilang dari pandangan Sera. "Aku harap ini adalah keputusan yang benar. Semoga aku gak salah dalam mengambil langkah." Sera bergumam di dalam batinnya.Setelah menghirup udara yang cukup banyak di sekitarnya, Sera lalu kembali mengambil celemek dan juga alat tulisnya untuk mencatat pesanan para pelanggan di sana. "Mbak!" Sera tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara panggilan dari meja 06 itu. Dengan mengembangkan senyuman yang begitu manis di wajahnya, Sera lalu bergegas menuju pelanggan yang memanggilnya itu. "Mau pesan apa, Kak?" tanya Sera begitu ramah. Pelanggan itu pun lantas mengatakan apa saja yang menjadi pesanannya. "Mohon ditunggu ya, Kak. Akan segera saya antar pesanannya ke meja ini," sambung Sera membuat pelanggan yang menduduki meja 06 itu melempar senyuman ramahnya. Tampaknya pelanggan itu merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Sera. "Nih! Pesanan untuk pelanggan meja nomor 06, ya." Sera memberikan tulisan di secarik kertasnya itu kepada juru masaknya. "Mbak!" Tampak tak berselang lama setelah itu terdengar suara orang lain yang memanggilnya kembali. Dengan terus mencoba untuk semangat, Sera lantas menghampiri pelanggan yang memanggilnya itu. Namun, saat Sera baru akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja terdengar suara yang tak asing di telinganya. "Sudah, Sera! Biar Angga yang mengurusnya. Hari ini kamu bisa pulang dan saya anggap libur. Pria yang menemuimu tadi sudah memberikan uang kompensasi yang banyak, jadi kamu boleh libur hari ini. Besok, datanglah kembali untuk bekerja." Sera terkesiap tampak bingung dengan kalimatnya. "Tapi, Pak—" "Sudah. Silakan kamu beberes dan pulang." Sang manager berkata tak terbantahkan.***Bab TerakhirSera akhirnya tidak protes lagi, dan membiarkan Leon tidur sambil memeluk tubuhnya. Meskipun, dia tidak mengetahui alasan pria itu tiba-tiba melakukan itu padanya.'Aneh banget. Dia pasti lagi mabuk. Tapi, kok gak bau alkohol ya? Dia kenapa sih, tiba-tiba kayak gini.' Sera membatin dalam hati kecilnya. Leon tampak tertidur sangat pulas saat memeluk Sera. Entah mengapa ada rasa nyaman yang mengalir dalam dirinya sehingga dia tidak merasakan gelisah lagi, meski dirinya sedang tertidur.'Aku ingin memilikimu seutuhnya.' Leon berucap sebelum akhirnya pria itu benar-benar terlena dalam tidur lelapnya. Keesokan paginya, Sera terbangun lebih dahulu dan berusaha melepaskan tangan Leon yang masih melingkar di tubuhnya. Hampir semalaman rupanya mereka tidur dalam posisi berpelukan meskipun posisi tubuh Sera membelakangi Leon."Hufh … untung dia masih nyenyak tidurnya. Lebih baik aku siap-siap ngampus aja deh," gumam Sera memutuskan.Wanita itu turun dari ranjang dan melangkah per
"Aku akan coba hidup dengan layak, Tante. Terima kasih." Sera terisak, lalu Danira langsung memeluk erat Sera.Dia sungguh tulus saat mengucapkan harapan agar Sera bisa bahagia. Tidak ada lagi amarah, maupun kebencian di dalam hati Danira."Ingatlah, Sera. Apa yang sudah terjadi di masa lalu, jangan pernah kamu ingat lagi. Kamu harus melanjutkan hidup, dan kamu sangat layak untuk bahagia. Bayi ini … harus memiliki masa depan yang sangat baik." Danira bahkan mengelus perut Sera yang terasa membuncit. Ia paham sekali jika bayi yang dikandung Sera adalah cucu kandungnya. "Tante akan tetap menganggap bayi ini sebagai cucu Tante, Sera. Nggak apa-apa, kan?" pinta Danira."Iya, gak apa-apa, Tante. Aku gak keberatan sama sekali." Sera menyahut dengan tatapan harunya.Bagai ada bongkahan batu besar yang terangkat dari dadanya. Beban di sana seolah perlahan sirna. Sera tak pernah menyesal datang ke rumah duka ini, karena keberaniannya itu akhirnya membuahkan hal yang manis. Brian akhirnya dik
Leon tersenyum tipis saat membaca pesan dari Lydia. Ia lantas mengetik pesan balasan untuk sahabat istrinya itu.[Baiklah. Terima kasih sudah memberitahu saya.]Saat ini, beberapa pelayan Leon memang tengah diinterogasi oleh pria itu karena mereka tidak menyadari kalau Sera meninggalkan mansion beberapa waktu yang lalu."Kalian boleh bubar sekarang." Leon berucap datar. Ia rasa tak perlu lagi mengumpulkan mereka semua di sini karena dirinya sudah mengetahui keberadaan Sera. Leon melangkahkan kakinya kembali ke kamar dan memilih untuk beristirahat karena dia sudah tidak cemas lagi. Leon mengetahui Sera tidak ada di kamarnya saat dia hendak meminta maaf karena sudah berdebat seperti tadi dengan Sera. "Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa aku harus mencemaskannya?" gumam Leon dengan perasaan gamang yang menyelimuti hati.Keesokan paginya, Sera sudah bangun sejak jam 6 pagi dan dia sudah bersiap mengenakan pakaian berkabungnya untuk datang ke rumah duka. Lydia pun demikian, mau tak mau dem
Leon mendengus kesal. Pria itu sangat tidak suka dituduh seperti apa yang sedang dilakukan oleh Sera saat ini. Akan tetapi, Leon pun dilema karena tak bisa benar-benar marah pada Sera."Sudahlah, saya gak mau bahas masalah ini lagi. Dan satu lagi, saya gak suka dituduh dengan hal yang gak pernah saya lakukan! Terserah, kamu mau percaya atau nggak!" ucap Leon setelahnya pria itu memutus pandangannya dan langsung berlalu begitu saja dari hadapan Sera tanpa mau memperpanjang perdebatan mereka. Sera masih mematung di tempatnya. Ia juga tak mengerti kenapa seemosional ini saat mendengar kabar duka dari Brian. Bagaimanapun juga, pria itu adalah ayah biologis dari janin yang tengah dikandungnya, dan Sera seperti merasakan kesedihan saat mendengar Brian sudah tiada. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Sera merasa malu dan menyesal telah menuduh Leon seperti seorang penjahat. "Padahal dia bilang kalau Brian bunuh diri. Kenapa aku malah menuduhnya dan jadi berdebat," gumam Sera li
Tubuh wanita itu ambruk ke lantai. Ia seperti tak bertulang. Kabar kematian Brian sangat mendadak dan membuatnya amat sangat terpukul.Beliau bahkan belum mematikan sambungan telepon saking terkejutnya dan tidak begitu mendengarkan ucapan sang petugas yang membawa kabar duka itu."Bagaimana mungkin? Bagaimana anakku bisa meninggal. Tadi … tadi, beberapa jam yang lalu dia masih sehat dan menikmati makanan yang kubawa. Apa yang terjadi." Danira meraung-raung tanpa henti.Perasaannya bercampur aduk kini. Dia sungguh tak bisa berkata-kata lagi saking paniknya."Aku harus mengabari Hans!" ucapnya setelah kewarasannya kembali. Danira meraih ponselnya lalu segera mencari kontak sang suami untuk mengabari kematian Brian.Tetapi, Hans yang sedang menghadiri rapat penting membuatnya sama sekali tidak menerima panggilan dari Danira."Sial! Ke mana si tua bangka ini! Giliran ada hal urgent begini dia malah gak angkat telepon!" makinya saat sepuluh kali panggilannya tak juga diterima oleh Hans.Da
Zacky datang tepat waktu. Pria dengan naluri bodyguardnya itu jelas tak bisa diremehkan. Saat ia melihat ketiga wanita itu mengikuti Sera, Zacky langsung saja mengikuti mereka dan benar saja. Ketiga perempuan itu hendak melakukan sesuatu pada Sera."Siapa kamu, hah! Lepasin nggak!" pekik Putri tak terima saat tangan halusnya tertahan oleh tangan kekar nan kasar milik Zacky."Jangan pernah menyentuh sehelai rambut Nona Sera!" seru Zacky seraya menghempaskan tangan Putri.Perempuan itu sempat terhuyung bahkan meringis kesakitan padahal Zacky tak menggunakan seluruh kekuatannya."Sialan! Kamu bodyguardnya, hah! Dasar perempuan pengecut, licik!" maki Putri sambil menyorot tajam ke arah Sera."Memang benar dia bodyguardku! Sayangnya, kamu perempuan! Jadi, dia gak akan memukulmu!" Sera tak mau kalah dengan tatapan mengintimidasi dari Putri. Keduanya tampak saling beradu tatapan tajam. "Kurang ajar! Dasar wanita murahan, kamu memang pantas punya jodoh om-om tua yang jelek! Jangan pernah gan