Share

5. Belenggu Emosi

Penulis: Kristalbee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-15 17:48:46

Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.

Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering.

"Sheila!" erang Bara.

"Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.

Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.

**

Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya.

"Cantik," sapa seorang pria memegang pundak Sheila.

Sheila terpelonjak kaget lalu menepis tangan itu kasar.

"Siapa kamu?!" tanya Sheila mendelik pada pria dengan tato di lengan juga tindik di telinganya.

Pria itu tidak menjawab. Dia justru melayangkan tatapan kurang ajar dengan memandang Sheila dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sheila risih dan segera berbalik, tapi pria itu lebih dulu mencekalnya.

"Jangan harap lo bisa pergi, sebelum gue seneng-seneng sama tubuh lo!" tegas Pria itu.

"Lepasin!" pinta Sheila menghentakkan tangannya.

"Kyaaa!" jerit Sheila ketika Pria itu menghantamkan tubuhnya ke dinding pembatas.

Pria itu menjilat bibir bawahnya seraya menatap lapar ke arah Sheila. Otak Sheila mendadak kosong, Sheila ketakutan untuk kali ini Sheila sangat mengharapkan Bara datang menolongnya meskipun rasanya mustahil.

Bara ... tolong aku. 

"Tolong-tolong!" teriak Sheila matanya memanas dan penglihatannya memburam.

Pria itu tersenyum meremehkan.

"Percuma! Gak akan ada yang bakal bantuin lo di gang sempit dan terpencil ini!"

Pria itu merobek baju atas Sheila membuat Sheila memekik dan menyilangkan tangan menutupi dadanya.

"Gue gak sabar buat rasain itu," kata Pria itu mencoba menyingkirkan tangan Sheila. 

"Jangan!"

Sheila menangis sesenggukan, andai dia tidak mencoba kabur, ini pasti tidak akan terjadi. Jika saja Sheila bisa memutar waktu. Sheila akan memilih benar-benar pergi ke toko kuenya.

"Singkirkan tanganmu dari istriku bangsat!" kelakar Bara menarik Pria itu dan menghempaskannya. 

Sejenak Sheila merasa aman, dia memeluk dirinya sendiri.

Iris mata Bara menggelap menatap Pria itu. Bara menghajar Pria itu brutal.

"Kau harus mati!" desis Bara yang menduduki perut Pria itu dan memukul wajahnya kuat.

Sheila bergegas menghampiri Bara ketika Bara hilang kendali dan terus mengumpat.

"Bara hentikan!" Sheila berusaha menarik Bara dan memeluk Bara dari belakang melihat preman itu terkapar tak berdaya dalam kondisi mengenaskan. Matanya bengkak, hidung serta sudut bibirnya berdarah. 

"Kau melindungi si berengsek ini, Shei?!" murka Bara.

Sheila menggeleng dengan air mata yang terus mengalir.

"T-tidak, aku tidak mau k-kamu masuk penjara nanti," kata Sheila bibirnya bergetar.

Emosi Bara mereda, dia berbalik dan memeluk Sheila erat. Mencium puncak kepala Sheila berkali-kali.

Beruntung Sheila membawa tas kecil yang dulu Bara beri penyadap suara sehingga Bara bisa mendengar suara Sheila. Ternyata keberadaan Sheila tidak jauh dari tempat mobilnya berhenti.

Bara menangkup wajah Sheila. "Coba kau pikirkan Shei, jika aku tidak datang tepat waktu. Dia mungkin telah melecehkanmu! Kau bisa bayangkan, betapa hancurnya aku kalau hal itu sampai terjadi?" ungkap Bara sorot matanya begitu cemas.

Sheila terisak kuat, bahunya bergetar. Apa Bara sepeduli itu padanya? Rasa sesal dengan cepat menggeroti hatinya.

Tak lama, Anton dan Angga tiba di tempat kejadian dengan tergesa.

"Urus sampah meresahkan ini!" perintah Bara dingin.

"Kurang ajar!" umpat Bara ketika baju bagian atas Sheila robek, Bara melepas jasnya lalu menggendong Sheila ke dalam mobil. Sikap Bara yang tenang dan perhatian justru menghadirkan kecurigaan di benak Sheila. 

Sheila pikir Bara akan marah, membentaknya ataupun melakukan hal kasar, tapi nyatanya Bara tak seburuk yang Sheila kira. 

Bara baru saja duduk di mobil dan membuat degup jantung Sheila berdetak kencang. Sheila menunduk melihat jas hitam yang dia pakai. Wangi maskulin menyeruak ke dalam hidungnya. Aroma yang membuat Sheila selalu teringat dengan Bara.

Sheila menoleh saat Bara belum juga melajukan mobilnya. Bara meremat kuat setiran dengan napas memburu.

Sheila baru menyadari ada luka di tangan Bara. Bahkan bercak merah terlihat kontras di lengan kemeja putih Bara. Sheila menyentuhnya membawa tangan Bara ke arahnya.

"I-ini kenapa?" tanya Sheila cemas.

Bara menyentak tangan Sheila.

"Apa pedulimu!" bentak Bara.

Sheila menelan ludahnya berat.

"Maaf," lirih Sheila.

Bara mencengkeram dagu Sheila memaksa Sheila menatapnya.

"Maafmu tidak berguna!" 

Bara mendekatkan wajahnya, Sheila bahkan sampai menahan napas ketika jarak Bara begitu dekat. Bara menatap bibir Sheila yang seolah menggodanya. Namun, Bara dengan cepat menjauhkan wajahnya dan duduk dengan posisi semula.

"Tepis jauh pikiranmu untuk pergi dariku, karena aku jamin, kau tidak akan bisa!" tukas Bara.

"Bersiaplah, aku akan menghukummu di rumah," peringat Bara dingin berhasil membuat Sheila membeku.

**

"Mau kemana?" protes Bara ketika Sheila membuka pintu mobil sendiri dan berlari masuk rumah mendahuluinya.

"Mengambil kotak P3K," jawab Sheila membuat Bara mempercepat langkah untuk menyusulnya.

Sheila membawa kotak P3K dan menggandeng tangan Bara untuk masuk ke dalam kamar.

"Ini harus diobati, takut infeksi," kata Sheila mengambil kapas yang sudah ia beri alkohol untuk membersikan luka itu. Lalu Sheila mengoleskan kapas yang sudah dia beri obat merah.

Bara menatap Sheila, rasa senang mengisi rongga hatinya. Sheila tampak khawatir dan hati-hati dalam mengobatinya. Bara tersenyum tipis.

"Sudah selesai," kata Sheila tersenyum manis namun Bara justru memasang raut datar. Bara menarik tangannya kasar dari Sheila, walau sempat terkejut tapi Sheila bisa memakluminya.

Bara keluar dari kamar sementara Sheila masuk ke kamar mandi.

Beberapa menit berlalu. Sheila baru selesai mandi. Pandangan Sheila langsung mendapati Bara yang berdiri seraya membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Makan! Aku tidak ingin kau lemas nanti!" kata Bara ambigu.

Nanti? Apanya yang nanti? tanya Sheila dalam hati.

"Shei, kau tidak dengar? Makan sekarang!" titah Bara melihat Sheila melamun.

Sheila menerimanya lalu duduk, dia mulai menyendok nasi tapi hanya seujung sendok. Sheila tidak selera makan dan atensinya tertuju pada Bara, Pria itu duduk di pinggir ranjang, memunggunginya.

Aneh, Sheila jadi memikirkan, katanya Bara akan menghukumnya. Tapi Pria itu masih terdiam. Bukan begitu, Sheila sebenarnya tidak mengharapkan itu. Ia hanya was-was saja.

Sheila meletakkan piring cukup kasar di nakas, menimbulkan dentingan bunyi sendok dan piring cukup keras.

"Seharusnya aku tidak pernah bertemu denganmu, Bara!" sungut Sheila. 

Mungkin ini saatnya menanamkan kebencian pada Bara. 

Bara berdiri, jantung Sheila berdebar kencang. Tuhan, sepertinya Sheila salah langkah! Tatapan mata Bara menguliti keberaniannya. 

"Kau benar-benar membuatku marah, Shei!" gertak Bara, rahangnya mengeras. Sheila harus diberi pelajaran. Sudah cukup Bara bersabar. Percuma Bara berusaha menahan amarahnya, karena Sheila justru memancingnya.

Bara melepas satu per satu kancing kemejanya seraya berjalan mendekati Sheila.

Bara menyeringai. "Aku tarik ucapanku kemarin. Rasanya terlalu lama menunggumu untuk menyerahkan dirimu padaku. Jadi aku percepat saja," kata Bara melepas bajunya memperlihatkan tubuh berototnya. 

Sheila terpaku melihat pemandangan itu, Bara memang memikat. Tapi, ayolah, ia tidak boleh tergoda. Sheila berlari menuju pintu.

Bara menutup pintu itu cepat, memutar kunci dan membuang kuncinya ke atas lemari.

"Mau kemana istriku?" suara bariton Bara membuat tubuh Sheila gemetar saat Bara lengan kokoh Bara mengurungnya di sisi pintu. 

Ditambah manik mata hitam Bara yang menyiratkan Pria itu sangat menginginkannya sekarang. Wajah Sheila memucat.

Baru begini saja kamu sudah menciut takut! Sok-sok'an mau menantangku! 

Bara tersenyum puas ketika buliran keringat menetes dari dahi Sheila.

"Aku akan mengambil hakku sekarang!" tekan Bara membuat napas Sheila memburu ketika tubuh mereka saling bersentuhan. Sheila tidak bisa membayangkan betapa perkasanya Bara nanti.

"S-sakit," rintih Sheila saat Bara meremas lengannya, Bara juga menancapkan kukunya di kulit Sheila.

"Ini tidak sebanding dengan rasa kecewa saya!" seru Bara.

"Saya bersikap baik, tapi kau malah memilih pergi!" kesal Bara suaranya meninggi.

"Itu salahmu, karena merebut aku dari Bryan!" balas Sheila menatap nyalang Bara.

Bara geram, giginya saling bergemelutuk rapat bahkan dalam keadaan tersudut Sheila masih saja terus menantangnya.

"Tidak ada yang salah Sheila! Karena saya akan membuatnya benar!" pungkas Bara.

"Dasar keras kepala!" rutuk Sheila sementara Bara terus menatap dalam manik mata Sheila. Bara mendengus kasar.

"Ceraikan aku!" desak Sheila.

Kedua mata Bara membelalak, kalimat itu menyulut emosinya. Tangan Bara sudah terangkat, tetapi detik berikutnya, tangan itu terhenti dan mengepal di udara. Bara hampir saja kelepasan ingin menampar Sheila.

"Argh!" erang Bara mengacak rambutnya.

"Kenapa? Kamu takut? Dimana Bara yang tidak takut apapun itu?"

Merasa tertantang Bara mencium bibir Sheila ganas. Bahkan hingga mengeluarkan setitik darah di bibir pucat itu.

Perih, batin Sheila.

Bara tersenyum sinis melihat bibir Sheila yang membengkak. Sementara air mata Sheila terus mengalir membasahi pipi.

Bara mengangkat tubuh Sheila tanpa beban, lebih tepatnya Bara memanggul Sheila di pundaknya

"Turunkan aku!" pekik Sheila memukul punggung Bara.

Bara kemudian menghempas tubuh Sheila ke ranjang dan merangkak naik menindih Sheila.

"Tidak ada kata ampun untuk malam ini! Kau akan menjadi istriku seutuhnya!" seru Bara matanya berkilat penuh gairah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta CEO Posesif   58. Harap-Harap Cemas

    Lampu tidur berwarna kuning temaram menyorot wajah Sheila yang pucat.Perlahan, matanya terbuka. Napasnya berat, perutnya masih terasa mual, tapi yang membuat dadanya sesak bukan lagi rasa sakit itu.Tempat di sampingnya ternyata kosong.Selimut yang biasanya hangat masih terlipat rapi, tak ada jejak Bara di sana.Dia berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak. “Mas Bara?”Sheila duduk pelan, menahan diri agar tidak pusing. Tapi hatinya justru makin berdebar. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 01.11 dini hari.Bara selalu pulang sebelum tengah malam, bahkan ketika sedang sibuk sekalipun.Dengan langkah goyah, Sheila berdiri lalu membuka pintu kamar, berjalan menyusuri koridor yang panjang dan senyap. Hanya terdengar suara jam antik berdetak pelan di ruang tamu.Sheila menghampiri salah satu penjaga yang berjaga di depan pintu kaca.“Pak, Mas Bara di mana?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Penjaga itu menatapnya bingung. “Tadi pas tengah malam saya lihat beliau keluar, B

  • Jerat Cinta CEO Posesif   57. Janji dan Luka

    Kayla duduk di kafe tempat biasa mereka bertemu. Matanya menerawang jauh, sendok di tangannya sudah dingin sejak tadi, sementara Bryan di hadapannya memperhatikannya dengan cemas.“Kamu masih kepikiran Sheila, ya?” tanya Bryan akhirnya.Kayla menghela napas panjang. “Aku cuma… merasa bersalah. Dia sampai dirawat di rumah sakit setelah makan kue yang aku bawa. Padahal aku cuma pengin nyenengin dia.”Bryan menatapnya lama. “Sheila bukan tipe orang yang gampang salah paham. Tapi Bara…” dia berhenti sejenak, rahangnya mengeras, “Bara itu terlalu protektif. Kadang buta karena rasa sayang.”Kayla menatap Bryan pelan. “Kamu… masih peduli sama dia, ya?”Pertanyaan itu membuat Bryan terdiam. Hujan rintik-rintik mulai turun, dan di antara suara rintiknya, suaranya terdengar pelan namun jujur, “Aku cuma… gak pernah benar-benar berhenti khawatir tentang dia. Dulu aku gagal jagain dia, Kay.”Kayla menunduk. Ada perih yang tak bisa dia jelaskan di dadanya. Tapi sebelum dia sempat menanggapi, ponsel

  • Jerat Cinta CEO Posesif   56. Penyusup

    Hujan turun lembut malam itu menimpa jendela kamar dengan suara yang menenangkan. Sheila terbaring di ranjang besar, wajahnya pucat tapi damai. Di sampingnya, Bara duduk tenang, menggenggam tangan istrinya seolah takut kehilangan sentuhan itu lagi.Selimut hangat menutupi tubuh Sheila hingga dadanya. Bara menatapnya lama — setiap tarikan napas Sheila terasa seperti doa yang diam-diam dia panjatkan. Sesekali, jari-jarinya membenarkan helaian rambut yang jatuh di dahi istrinya.“Shei…” bisiknya pelan, “Aku janji, gak akan ada lagi yang bisa nyakitin kamu.”Sheila membuka mata, menatapnya samar di bawah cahaya lampu.“Mas belum tidur?” suaranya lirih.Bara menggeleng, tersenyum tipis. “Gak bisa. Aku mau pastiin kamu nyaman dulu.”Dia membantu Sheila duduk pelan, menyandarkannya ke bantal besar. Lalu mengambil mangkuk kecil berisi bubur hangat yang tadi dia buat sendiri — sederhana, tapi penuh perhatian.“Ayo makan sedikit. Kamu belum makan dari sore.”Sheila menatap mangkuk itu, lalu men

  • Jerat Cinta CEO Posesif   55. Siapa Dalangnya?

    Suasana koridor rumah sakit hening. Beberapa perawat berhenti berjalan, menatap dari kejauhan. Kayla mulai menangis, tapi Bara tetap berdiri tegak, suaranya rendah tapi penuh luka.Kayla menatapnya dengan mata berair. “Bara, dengar aku dulu… aku nggak—aku nggak tahu ada apa dengan kue itu. Tapi aku bikin sendiri dan bisa aku pastiin gak ada bahan berbahaya karena sebelum aku kasih ke Sheila aku udah nyicipin dan aku baik-baik aja," jelas Kayla jujur. Bara diam, dadanya naik turun cepat. Dalam hatinya, setengah bagian ingin percaya — tapi sisi lain sudah tertelan ketakutan dan marah."Lagi pula mana ada penjahat yang mau ngaku Kayla?! Jelas-jelas kue itu beracun. Kayla hanya terisak, mencoba bicara di sela tangisnya.“Aku akan bantu cari tau siapa pelakunya.”Bara menatapnya sekali lagi — kali ini dengan tatapan yang bukan hanya marah, tapi juga hancur.“Jangan pura-pura peduli, Kayla. Orang yang benar-benar peduli… tidak akan mebawa bahaya ke pintu rumah kami.”"Sumpah demi apa pun

  • Jerat Cinta CEO Posesif   54. Racun

    Sheila sedang menata sarapan di meja makan. Gerakannya pelan, tapi senyum kecil sempat muncul di sudut bibirnya—hari ini dia ingin Bara berangkat kerja dengan hati tenang.Namun baru saja dia hendak mengambil piring di rak atas, sebuah tangan besar langsung menahan pergelangan tangannya.“Shei, duduk aja. Aku yang ambil,” suara Bara lembut, tapi tegas.Sheila terkesiap kecil. “Mas, aku cuma mau—”“Nggak usah. Kamu kan lagi hamil.”Bara mengambil piring itu dengan cepat lalu menaruhnya di meja. Seolah benda seberat itu bisa menjatuhkan dunia kalau Sheila yang menyentuh.“Mas… aku nggak selemah itu,” ucap Sheila setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana.Bara menatapnya lama. Tatapan yang dulu selalu menenangkan, kini terasa penuh kekhawatiran. “Aku cuma nggak mau ambil risiko. Sekecil apa pun, Sayang." Dia mengecup lembut kening Sheila. Sheila menunduk, jari-jarinya mengusap meja tanpa arah. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku juga ingin tetap merasa berguna, Mas. Aku pengen bantu h

  • Jerat Cinta CEO Posesif   53. Hampir Terluka

    Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status