Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.
Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering.
"Sheila!" erang Bara.
"Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.
Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.
**
Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya.
"Cantik," sapa seorang pria memegang pundak Sheila.
Sheila terpelonjak kaget lalu menepis tangan itu kasar.
"Siapa kamu?!" tanya Sheila mendelik pada pria dengan tato di lengan juga tindik di telinganya.
Pria itu tidak menjawab. Dia justru melayangkan tatapan kurang ajar dengan memandang Sheila dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sheila risih dan segera berbalik, tapi pria itu lebih dulu mencekalnya.
"Jangan harap lo bisa pergi, sebelum gue seneng-seneng sama tubuh lo!" tegas Pria itu.
"Lepasin!" pinta Sheila menghentakkan tangannya.
"Kyaaa!" jerit Sheila ketika Pria itu menghantamkan tubuhnya ke dinding pembatas.
Pria itu menjilat bibir bawahnya seraya menatap lapar ke arah Sheila. Otak Sheila mendadak kosong, Sheila ketakutan untuk kali ini Sheila sangat mengharapkan Bara datang menolongnya meskipun rasanya mustahil.
Bara ... tolong aku.
"Tolong-tolong!" teriak Sheila matanya memanas dan penglihatannya memburam.
Pria itu tersenyum meremehkan.
"Percuma! Gak akan ada yang bakal bantuin lo di gang sempit dan terpencil ini!"
Pria itu merobek baju atas Sheila membuat Sheila memekik dan menyilangkan tangan menutupi dadanya.
"Gue gak sabar buat rasain itu," kata Pria itu mencoba menyingkirkan tangan Sheila.
"Jangan!"
Sheila menangis sesenggukan, andai dia tidak mencoba kabur, ini pasti tidak akan terjadi. Jika saja Sheila bisa memutar waktu. Sheila akan memilih benar-benar pergi ke toko kuenya.
"Singkirkan tanganmu dari istriku bangsat!" kelakar Bara menarik Pria itu dan menghempaskannya.
Sejenak Sheila merasa aman, dia memeluk dirinya sendiri.
Iris mata Bara menggelap menatap Pria itu. Bara menghajar Pria itu brutal.
"Kau harus mati!" desis Bara yang menduduki perut Pria itu dan memukul wajahnya kuat.
Sheila bergegas menghampiri Bara ketika Bara hilang kendali dan terus mengumpat.
"Bara hentikan!" Sheila berusaha menarik Bara dan memeluk Bara dari belakang melihat preman itu terkapar tak berdaya dalam kondisi mengenaskan. Matanya bengkak, hidung serta sudut bibirnya berdarah.
"Kau melindungi si berengsek ini, Shei?!" murka Bara.
Sheila menggeleng dengan air mata yang terus mengalir.
"T-tidak, aku tidak mau k-kamu masuk penjara nanti," kata Sheila bibirnya bergetar.
Emosi Bara mereda, dia berbalik dan memeluk Sheila erat. Mencium puncak kepala Sheila berkali-kali.
Beruntung Sheila membawa tas kecil yang dulu Bara beri penyadap suara sehingga Bara bisa mendengar suara Sheila. Ternyata keberadaan Sheila tidak jauh dari tempat mobilnya berhenti.
Bara menangkup wajah Sheila. "Coba kau pikirkan Shei, jika aku tidak datang tepat waktu. Dia mungkin telah melecehkanmu! Kau bisa bayangkan, betapa hancurnya aku kalau hal itu sampai terjadi?" ungkap Bara sorot matanya begitu cemas.
Sheila terisak kuat, bahunya bergetar. Apa Bara sepeduli itu padanya? Rasa sesal dengan cepat menggeroti hatinya.
Tak lama, Anton dan Angga tiba di tempat kejadian dengan tergesa.
"Urus sampah meresahkan ini!" perintah Bara dingin.
"Kurang ajar!" umpat Bara ketika baju bagian atas Sheila robek, Bara melepas jasnya lalu menggendong Sheila ke dalam mobil. Sikap Bara yang tenang dan perhatian justru menghadirkan kecurigaan di benak Sheila.
Sheila pikir Bara akan marah, membentaknya ataupun melakukan hal kasar, tapi nyatanya Bara tak seburuk yang Sheila kira.
Bara baru saja duduk di mobil dan membuat degup jantung Sheila berdetak kencang. Sheila menunduk melihat jas hitam yang dia pakai. Wangi maskulin menyeruak ke dalam hidungnya. Aroma yang membuat Sheila selalu teringat dengan Bara.
Sheila menoleh saat Bara belum juga melajukan mobilnya. Bara meremat kuat setiran dengan napas memburu.
Sheila baru menyadari ada luka di tangan Bara. Bahkan bercak merah terlihat kontras di lengan kemeja putih Bara. Sheila menyentuhnya membawa tangan Bara ke arahnya.
"I-ini kenapa?" tanya Sheila cemas.
Bara menyentak tangan Sheila.
"Apa pedulimu!" bentak Bara.
Sheila menelan ludahnya berat.
"Maaf," lirih Sheila.
Bara mencengkeram dagu Sheila memaksa Sheila menatapnya.
"Maafmu tidak berguna!"
Bara mendekatkan wajahnya, Sheila bahkan sampai menahan napas ketika jarak Bara begitu dekat. Bara menatap bibir Sheila yang seolah menggodanya. Namun, Bara dengan cepat menjauhkan wajahnya dan duduk dengan posisi semula.
"Tepis jauh pikiranmu untuk pergi dariku, karena aku jamin, kau tidak akan bisa!" tukas Bara.
"Bersiaplah, aku akan menghukummu di rumah," peringat Bara dingin berhasil membuat Sheila membeku.
**
"Mau kemana?" protes Bara ketika Sheila membuka pintu mobil sendiri dan berlari masuk rumah mendahuluinya.
"Mengambil kotak P3K," jawab Sheila membuat Bara mempercepat langkah untuk menyusulnya.
Sheila membawa kotak P3K dan menggandeng tangan Bara untuk masuk ke dalam kamar.
"Ini harus diobati, takut infeksi," kata Sheila mengambil kapas yang sudah ia beri alkohol untuk membersikan luka itu. Lalu Sheila mengoleskan kapas yang sudah dia beri obat merah.
Bara menatap Sheila, rasa senang mengisi rongga hatinya. Sheila tampak khawatir dan hati-hati dalam mengobatinya. Bara tersenyum tipis.
"Sudah selesai," kata Sheila tersenyum manis namun Bara justru memasang raut datar. Bara menarik tangannya kasar dari Sheila, walau sempat terkejut tapi Sheila bisa memakluminya.
Bara keluar dari kamar sementara Sheila masuk ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu. Sheila baru selesai mandi. Pandangan Sheila langsung mendapati Bara yang berdiri seraya membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Makan! Aku tidak ingin kau lemas nanti!" kata Bara ambigu.
Nanti? Apanya yang nanti? tanya Sheila dalam hati.
"Shei, kau tidak dengar? Makan sekarang!" titah Bara melihat Sheila melamun.
Sheila menerimanya lalu duduk, dia mulai menyendok nasi tapi hanya seujung sendok. Sheila tidak selera makan dan atensinya tertuju pada Bara, Pria itu duduk di pinggir ranjang, memunggunginya.
Aneh, Sheila jadi memikirkan, katanya Bara akan menghukumnya. Tapi Pria itu masih terdiam. Bukan begitu, Sheila sebenarnya tidak mengharapkan itu. Ia hanya was-was saja.
Sheila meletakkan piring cukup kasar di nakas, menimbulkan dentingan bunyi sendok dan piring cukup keras.
"Seharusnya aku tidak pernah bertemu denganmu, Bara!" sungut Sheila.
Mungkin ini saatnya menanamkan kebencian pada Bara.
Bara berdiri, jantung Sheila berdebar kencang. Tuhan, sepertinya Sheila salah langkah! Tatapan mata Bara menguliti keberaniannya.
"Kau benar-benar membuatku marah, Shei!" gertak Bara, rahangnya mengeras. Sheila harus diberi pelajaran. Sudah cukup Bara bersabar. Percuma Bara berusaha menahan amarahnya, karena Sheila justru memancingnya.
Bara melepas satu per satu kancing kemejanya seraya berjalan mendekati Sheila.
Bara menyeringai. "Aku tarik ucapanku kemarin. Rasanya terlalu lama menunggumu untuk menyerahkan dirimu padaku. Jadi aku percepat saja," kata Bara melepas bajunya memperlihatkan tubuh berototnya.
Sheila terpaku melihat pemandangan itu, Bara memang memikat. Tapi, ayolah, ia tidak boleh tergoda. Sheila berlari menuju pintu.
Bara menutup pintu itu cepat, memutar kunci dan membuang kuncinya ke atas lemari.
"Mau kemana istriku?" suara bariton Bara membuat tubuh Sheila gemetar saat Bara lengan kokoh Bara mengurungnya di sisi pintu.
Ditambah manik mata hitam Bara yang menyiratkan Pria itu sangat menginginkannya sekarang. Wajah Sheila memucat.
Baru begini saja kamu sudah menciut takut! Sok-sok'an mau menantangku!
Bara tersenyum puas ketika buliran keringat menetes dari dahi Sheila.
"Aku akan mengambil hakku sekarang!" tekan Bara membuat napas Sheila memburu ketika tubuh mereka saling bersentuhan. Sheila tidak bisa membayangkan betapa perkasanya Bara nanti.
"S-sakit," rintih Sheila saat Bara meremas lengannya, Bara juga menancapkan kukunya di kulit Sheila.
"Ini tidak sebanding dengan rasa kecewa saya!" seru Bara.
"Saya bersikap baik, tapi kau malah memilih pergi!" kesal Bara suaranya meninggi.
"Itu salahmu, karena merebut aku dari Bryan!" balas Sheila menatap nyalang Bara.
Bara geram, giginya saling bergemelutuk rapat bahkan dalam keadaan tersudut Sheila masih saja terus menantangnya.
"Tidak ada yang salah Sheila! Karena saya akan membuatnya benar!" pungkas Bara.
"Dasar keras kepala!" rutuk Sheila sementara Bara terus menatap dalam manik mata Sheila. Bara mendengus kasar.
"Ceraikan aku!" desak Sheila.
Kedua mata Bara membelalak, kalimat itu menyulut emosinya. Tangan Bara sudah terangkat, tetapi detik berikutnya, tangan itu terhenti dan mengepal di udara. Bara hampir saja kelepasan ingin menampar Sheila.
"Argh!" erang Bara mengacak rambutnya.
"Kenapa? Kamu takut? Dimana Bara yang tidak takut apapun itu?"
Merasa tertantang Bara mencium bibir Sheila ganas. Bahkan hingga mengeluarkan setitik darah di bibir pucat itu.
Perih, batin Sheila.
Bara tersenyum sinis melihat bibir Sheila yang membengkak. Sementara air mata Sheila terus mengalir membasahi pipi.
Bara mengangkat tubuh Sheila tanpa beban, lebih tepatnya Bara memanggul Sheila di pundaknya
"Turunkan aku!" pekik Sheila memukul punggung Bara.
Bara kemudian menghempas tubuh Sheila ke ranjang dan merangkak naik menindih Sheila.
"Tidak ada kata ampun untuk malam ini! Kau akan menjadi istriku seutuhnya!" seru Bara matanya berkilat penuh gairah.
Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp
“Shei?” panggil Bara pelan sambil membuka pintu kamar mereka.Sheila membalikkan badan. Gaun warna silver yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Bara terdiam sejenak—terpukau oleh pesona wanita yang telah mengisi ruang hatinya dengan begitu dalam. Dia merasa seperti pria paling beruntung di dunia karena memiliki Sheila seutuhnya.Tanpa banyak kata, Bara melangkah mendekat. Tangannya menyentuh lembut pinggang Sheila dan menariknya pelan hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.“Kau selalu berhasil membuatku terkesan dengan penampilanmu, Shei,” bisiknya seraya menatap mata Sheila dalam-dalam, seolah ingin merekam setiap detiknya.Sheila hanya tersenyum tipis, lalu membenarkan kerah kemeja Bara yang terlipat tidak rapi. Sentuhannya begitu lembut selembut angin malam.“Itu karena cintamu yang besar padaku,” balas Sheila dengan suara rendah namun sarat makna.Bara menunduk dan mencium kening Sheila dengan penuh kasih. Lama, hangat, dan tulus.“Aku sudah berjanj
"Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m
Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar
Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak
Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m