Share

4. Kebohongan Sheila

Author: Kristalbee
last update Huling Na-update: 2024-10-15 17:46:47

Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. 

Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"

Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya.

"Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan.

"Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.

Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.

Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.

Sheila merinding, hembusan napas halus Bara terasa menggelitik. "B-bara," panggil Sheila tergagap.

"Iya, Sayang," jawab Bara.

"Aku kira kau melarikan diri," ucap Bara membenamkan wajahnya di ceruk leher Sheila. Sebenarnya Sheila risih, tapi mau bagaimana lagi, Bara suaminya. Bara berhak atas tubuhnya. 

"Apa kamu takut, kalau aku pergi?" tanya Sheila.

"Jelas, karena aku mencintaimu," ungkap Bara mencium pipi Sheila. 

Sheila bisa merasakan ketulusan dari Bara. Namun hatinya masih mendambakan sosok Bryan. 

"Bara, lepas. Aku mau mengambil piring," perintah Sheila melepas tangan Bara bukannya menurut Bara kian mengeratkan pelukannya.

"Aku ikut," rengek Bara.

"Astaga," gumam Sheila menggeleng dengan sikap manja Bara. Alhasil Sheila berjalan mengambil piring dengan Bara yang masih memeluknya dari belakang. 

"Kenapa harus dua? Kurasa satu saja cukup," protes Bara membuat Sheila meletakkan satu piringnya. 

Sheila memindahkan nasi goreng dari teflon ke piring, sedangkan Bara ikut memperhatikannya.

"Aku lapar, aku mau duduk lalu sarapan," keluh Sheila.

Bara melepas pelukannya lalu duduk manis di kursi meja makan.

"Aku ingin kau menyuapiku," pinta Bara membuka mulutnya.

Sheila berdecak. "Memangnya kamu bayi apa?" ejeknya menimbulkan tawa kecil bagi Bara. 

Sheila mulai menyendok nasi goreng kemudian mengangkatnya ke arah mulut Bara. 

"Enak Shei ... selain cantik, ternyata kau pandai memasak. Aku memang tidak salah memilih istri, " ucap Bara bangga pada dirinya sendiri. 

"Hm, iya-iya," jawab Sheila. Bara memberengut ketika raut wajah Sheila terlihat terpaksa.

Bara mencondongkan tubuhnya, dia mengecup bibir Sheila singkat.

Sheila tertegun, matanya terbelalak.

"Ini baru sarapan sesungguhnya," ucap Bara santai lalu melahap nasi goreng itu lagi, seolah tidak terjadi apa-apa.

Sheila menatap Bara lekat saat mengingat bingkai berwarna emas besar berisi foto Bara dan keluarganya.

"Bara, apa keluargamu tau kita sudah menikah?" tanya Sheila.

Bara mengangguk pelan. "Aku sudah memberi mereka kabar, tapi sekarang mereka ada di luar negeri. Hawai," terang Bara membuat Sheila mengerti bila keluarga Bara tengah berlibur.

"Kenapa kamu tidak ikut?"

Senyum jahil muncul di paras Bara. "Jadi kau sedang memberiku kode? Kau ingin bulan madu, Sayang?" goda Bara bersemangat.

Sheila tersedak ludahnya sendiri.

"A-aku hanya bertanya," kilah Sheila meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya.

"Shei, jangan malu. Kita bisa berangkat hari ini juga kalau kau mau. Lagi pula, aku ingin segera memberi cucu untuk, Oma. Dia selalu menagih itu padaku," papar Bara sengaja menekankan kata demi katanya.

"Bara!" pekik Sheila malu, wajahnya merona, tangan Bara terulur mengusapnya membuat rona merah itu makin jelas.

"Blushing! Tapi makin cantik," ledek Bara.

"Ish kamu!" Sheila memukul lengan Bara. 

"Bara, hari ini aku mau pergi ke toko kue. Ada pesanan soalnya, boleh, ya?" Sheila meminta izin meski ia ragu, akankah Bara memperbolehkannya.

Seketika raut Bara berubah dingin, dia tampak keberatan. "Kau lupa Sayang? Kau adalah Nyonya di rumah ini. Kau hanya perlu duduk manis dan merasakan kemewahan yang aku berikan padamu. Mencari nafkah itu kewajibanku."

"Iya, aku tau. Tapi aku butuh kegiatan untuk mengisi waktuku. Usaha kue itu sudah aku kelola sejak SMA dan, aku ingin terus mengelolanya. Aku mohon Mas Bara," pinta Sheila dengan wajah menggemaskan. 

Satu alis Bara berjengit. Sheila barusan memanggilnya, Mas? Astaga, Bara menggigit pipi bagian dalamnya. Tersipu, istrinya ini benar-benar pandai merayunya.

"Aku izinkan, asal mereka menemanimu." Bara menunjuk Anton dan Angga yang dia tugasi khusus menjaga Sheila.

"Oke, tidak masalah," jawab Sheila lugas. Dia tersenyum penuh arti.

**

Sheila berada di mobil sambil meremas jemari tangannya. Rencananya sudah tersusun rapi di otak, hanya tinggal mempraktekkannya saja.

"Bisa kita berhenti sebentar? Aku ingin ke toilet," ucap Sheila menekan perutnya. Perlahan laju mobil mulai melambat dan berhenti di tepi jalan.

"Baik, Nyonya. Tapi kami harus mengikuti Nyonya," kata Anton.

"Terserah kalian," ketus Sheila.

Anton keluar kemudian membukakan pintu mobil untuk Sheila. Ketika Sheila keluar, dia langsung mendorong Anton membuat Anton dengan sigap mencekal tangan Sheila.

"Jangan mencoba kabur, Nyonya!'' tegas Anton.

"Aku harus pergi," gumam Sheila terpaksa menendang aset pribadi Anton.

"Akh! N-nyonya Sheila!" pekik Anton meraskan nyeri yang tak tertahan.

"Maafkan aku!" jerit Sheila berlari kencang. 

Angga turun menghampiri. Dia mengeluarkan ponselnya.

"Jangan beritahu Tuan Bara! Dia bisa marah besar," cegah Anton pada Angga. 

Anton bergidik ngeri bila mengingat kemarahan Bara, Pria itu pasti akan mengamuk.

"Apa kau kira dengan kita menyembunyikan ini nyawa kita aman?" tanya Angga.

"Setidaknya, kita cari dulu kemana Sheila pergi. Jika memang tidak bisa ditemukan baru kita lapor," usul Anton.

"Cepat kejar dia!" perintah Anton.

Angga berlari menyusul Sheila meninggalkan Anton yang masih berkutat pada rasa sakitnya.

**

Sheila menoleh ke belakang dengan wajah panik. Dari kejauhan terlihat Angga berlari menuju ke arahnya. Peluh keringat menetes dari dahi Sheila. Dia lelah dan akhirnya Sheila masuk ke dalam toko pakaian dan mengambil jaket, topi juga kacamata hitam menyamar layaknya seorang pembeli.

Jantung Sheila berdebar tak karuan ketika Angga masuk dan menatapnya curiga.

Semoga dia tidak mengenalku! batin Sheila matanya memejam erat.

Sheila menelan ludahnya berat saat derap langkah Angga mendekatinya.

"Maaf, Mbak, saya hanya ingin memberi tahu. Kaca mata anda terbalik," ucap Angga.

"Oh ini," kata Sheila memegang kaca matanya, suara Sheila terdengar serak.

"Saya memang sengaja, karena zaman sekarang hal seperti ini menjadi tren," kata Sheila asal dengan suara dibuat serak.

"Aku baru tahu," kata Angga kebingungan lalu mengedarkan pandangannya. 

Sheila bergegas menuju kasir dan membayar pakaian dan aksesoris yang membalut tubuhnya.

Sheila merogoh ponselnya dan mengetik pesan. 

Sheila.

[Bryan, temui aku di taman Kenangan]

Setelah itu Sheila mematikan ponselnya agar Bara tidak bisa melacak keberadaannya.

"Maafkan aku Bara, aku tidak bisa hidup denganmu," ungkap Sheila merasa bersalah.

Sheila telah menunggu Bryan sekitar tiga puluh menit. Namun Bryan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Taman Kenangan terasa sunyi jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tapi tetap saja Sheila khawatir.

"Ada apa She?" tanya Bryan, seketika Sheila berdiri. Dia menatap prihatin penampilan Bryan yang terlihat kacau, mata sayu serta lebam biru keunguan di wajahnya.

"Aku mau kita pergi dari sini Bryan." Sheila memegang erat lengan Bryan.

"Sejauh apapun kita pergi, Bara akan mampu mengetahui keberadaan kita, She." Bryan menatap kosong ke depan.

"Jadi ... kamu benar-benar merelakanku, Yan?" tanya Sheila tidak menyangka.

"Kamu tidak mau memperjuangkan aku? Aku kecewa sama kamu, Yan!" seru Sheila. 

"Sekarang, aku paham maksud ucapan kamu di rumah sakit itu. Kamu sendiri yang membuat aku pergi darimu!"

"She, cukup!" Bryan tidak tahan mendengar kalimat Sheila yang menusuk dalam relung hatinya.

"Keadaan yang membuatku begini," lirih Bryan.

"Kembalilah ke rumah, sebelum Bara menyadarinya," perintah Bryan membuat Sheila menatapnya tidak percaya.

"Semudah itu kamu melupakanku Bryan?" Rasa sesak kian menghimpit dada Sheila.

"Bryan, aku kira kamu rela melakukan apapun untukku, tapi aku salah besar! Kamu tidak lebih dari pengecut yang hanya memanfaatkanku!" jerit Sheila menangis.

"She, berhenti menyalahkanku! Aku benar-benar terdesak! Aku begini demi ibuku, She. Cuma dia orang tuaku sekarang. Aku tidak mau kejadian tiga tahun terulang lagi, ayahku meninggal karena terlambat ditangani. Karena apa? Karena aku tidak memiliki uang!" bentak Bryan menggoyangkan kedua bahu Sheila.

Sheila terisak. Gadis itu berlari, tidak ada yang bisa diharapkan dari Bryan. Pria itu menyerah.

"Aku berjanji akan melepaskanmu dari belenggu Bara. Tapi tidak sekarang. Maaf mungkin tidak bisa menebus kesalahanku, She. Karena aku, kamu terperangkap dengan lelaki kasar dan tidak berhati seperti Bara," sesal Bryan.

**

Bara menghubungi Sheila, namun ponsel istrinya tidak aktif.

"Kenapa tidak mengangkat telfonku? Dimana kau sekarang, Shei?" panik Bara.

Mata Bara memicing tidak suka melihat kedatangan Anton dan Angga yang menunduk.

"Ada apa kalian ke sini? Bukankah saya menyuruh kalian untuk mengawasi Sheila? Sekarang mana dia?" tanya Bara curiga pada dua pengawalnya.

"Nyonya kabur, Tuan," ungkap Anton.

"Dasar tidak becus!" murka Bara, dia meraup wajahnya kasar.

"Hal sekecil ini pun tidak bisa kalian atasi?!"

Bara membanting apapun benda yang ada di hadapannya. 

"Dasar tidak berguna!" rutuk Bara meninju meja kaca hingga pecah membuat darah segar menetes deras dari buku-buku jarinya. 

"Sheila, kau membuatku gila!" 

"Jadi sikap manismu tadi pagi hanyalah tipu dayamu?" Bara tertawa miris, cinta membuatnya mudah dibodohi.

"Setelah ini tidak ada lagi kebebasan untukmu! Tidak ada! Hahaha!" Pria itu tertawa sumbang. 

Kehilangan Sheila adalah hal menakutkan. Dia terlanjur jatuh hati dan terobsesi. 

"Aku tidak akan pernah melepasmu, Sheila!"

"Tuan, kami akan mencari Nyonya sampai ketemu," ucap Angga.

"Tidak perlu! Saya yang akan mencarinya sendiri!" murka Bara.

"Begitu aku menemukanmu, aku akan memberimu hukuman Sheila! Kau bermain-main dengan orang yang salah! Membangunkan singa yang tidur adalah bencana bagimu!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jerat Cinta CEO Posesif   58. Harap-Harap Cemas

    Lampu tidur berwarna kuning temaram menyorot wajah Sheila yang pucat.Perlahan, matanya terbuka. Napasnya berat, perutnya masih terasa mual, tapi yang membuat dadanya sesak bukan lagi rasa sakit itu.Tempat di sampingnya ternyata kosong.Selimut yang biasanya hangat masih terlipat rapi, tak ada jejak Bara di sana.Dia berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak. “Mas Bara?”Sheila duduk pelan, menahan diri agar tidak pusing. Tapi hatinya justru makin berdebar. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 01.11 dini hari.Bara selalu pulang sebelum tengah malam, bahkan ketika sedang sibuk sekalipun.Dengan langkah goyah, Sheila berdiri lalu membuka pintu kamar, berjalan menyusuri koridor yang panjang dan senyap. Hanya terdengar suara jam antik berdetak pelan di ruang tamu.Sheila menghampiri salah satu penjaga yang berjaga di depan pintu kaca.“Pak, Mas Bara di mana?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.Penjaga itu menatapnya bingung. “Tadi pas tengah malam saya lihat beliau keluar, B

  • Jerat Cinta CEO Posesif   57. Janji dan Luka

    Kayla duduk di kafe tempat biasa mereka bertemu. Matanya menerawang jauh, sendok di tangannya sudah dingin sejak tadi, sementara Bryan di hadapannya memperhatikannya dengan cemas.“Kamu masih kepikiran Sheila, ya?” tanya Bryan akhirnya.Kayla menghela napas panjang. “Aku cuma… merasa bersalah. Dia sampai dirawat di rumah sakit setelah makan kue yang aku bawa. Padahal aku cuma pengin nyenengin dia.”Bryan menatapnya lama. “Sheila bukan tipe orang yang gampang salah paham. Tapi Bara…” dia berhenti sejenak, rahangnya mengeras, “Bara itu terlalu protektif. Kadang buta karena rasa sayang.”Kayla menatap Bryan pelan. “Kamu… masih peduli sama dia, ya?”Pertanyaan itu membuat Bryan terdiam. Hujan rintik-rintik mulai turun, dan di antara suara rintiknya, suaranya terdengar pelan namun jujur, “Aku cuma… gak pernah benar-benar berhenti khawatir tentang dia. Dulu aku gagal jagain dia, Kay.”Kayla menunduk. Ada perih yang tak bisa dia jelaskan di dadanya. Tapi sebelum dia sempat menanggapi, ponsel

  • Jerat Cinta CEO Posesif   56. Penyusup

    Hujan turun lembut malam itu menimpa jendela kamar dengan suara yang menenangkan. Sheila terbaring di ranjang besar, wajahnya pucat tapi damai. Di sampingnya, Bara duduk tenang, menggenggam tangan istrinya seolah takut kehilangan sentuhan itu lagi.Selimut hangat menutupi tubuh Sheila hingga dadanya. Bara menatapnya lama — setiap tarikan napas Sheila terasa seperti doa yang diam-diam dia panjatkan. Sesekali, jari-jarinya membenarkan helaian rambut yang jatuh di dahi istrinya.“Shei…” bisiknya pelan, “Aku janji, gak akan ada lagi yang bisa nyakitin kamu.”Sheila membuka mata, menatapnya samar di bawah cahaya lampu.“Mas belum tidur?” suaranya lirih.Bara menggeleng, tersenyum tipis. “Gak bisa. Aku mau pastiin kamu nyaman dulu.”Dia membantu Sheila duduk pelan, menyandarkannya ke bantal besar. Lalu mengambil mangkuk kecil berisi bubur hangat yang tadi dia buat sendiri — sederhana, tapi penuh perhatian.“Ayo makan sedikit. Kamu belum makan dari sore.”Sheila menatap mangkuk itu, lalu men

  • Jerat Cinta CEO Posesif   55. Siapa Dalangnya?

    Suasana koridor rumah sakit hening. Beberapa perawat berhenti berjalan, menatap dari kejauhan. Kayla mulai menangis, tapi Bara tetap berdiri tegak, suaranya rendah tapi penuh luka.Kayla menatapnya dengan mata berair. “Bara, dengar aku dulu… aku nggak—aku nggak tahu ada apa dengan kue itu. Tapi aku bikin sendiri dan bisa aku pastiin gak ada bahan berbahaya karena sebelum aku kasih ke Sheila aku udah nyicipin dan aku baik-baik aja," jelas Kayla jujur. Bara diam, dadanya naik turun cepat. Dalam hatinya, setengah bagian ingin percaya — tapi sisi lain sudah tertelan ketakutan dan marah."Lagi pula mana ada penjahat yang mau ngaku Kayla?! Jelas-jelas kue itu beracun. Kayla hanya terisak, mencoba bicara di sela tangisnya.“Aku akan bantu cari tau siapa pelakunya.”Bara menatapnya sekali lagi — kali ini dengan tatapan yang bukan hanya marah, tapi juga hancur.“Jangan pura-pura peduli, Kayla. Orang yang benar-benar peduli… tidak akan mebawa bahaya ke pintu rumah kami.”"Sumpah demi apa pun

  • Jerat Cinta CEO Posesif   54. Racun

    Sheila sedang menata sarapan di meja makan. Gerakannya pelan, tapi senyum kecil sempat muncul di sudut bibirnya—hari ini dia ingin Bara berangkat kerja dengan hati tenang.Namun baru saja dia hendak mengambil piring di rak atas, sebuah tangan besar langsung menahan pergelangan tangannya.“Shei, duduk aja. Aku yang ambil,” suara Bara lembut, tapi tegas.Sheila terkesiap kecil. “Mas, aku cuma mau—”“Nggak usah. Kamu kan lagi hamil.”Bara mengambil piring itu dengan cepat lalu menaruhnya di meja. Seolah benda seberat itu bisa menjatuhkan dunia kalau Sheila yang menyentuh.“Mas… aku nggak selemah itu,” ucap Sheila setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana.Bara menatapnya lama. Tatapan yang dulu selalu menenangkan, kini terasa penuh kekhawatiran. “Aku cuma nggak mau ambil risiko. Sekecil apa pun, Sayang." Dia mengecup lembut kening Sheila. Sheila menunduk, jari-jarinya mengusap meja tanpa arah. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku juga ingin tetap merasa berguna, Mas. Aku pengen bantu h

  • Jerat Cinta CEO Posesif   53. Hampir Terluka

    Sheila memandangi kotak makan siang yang dia siapkan sepenuh hati. Hari ini dia ingin memberi kejutan kecil untuk Bara. Sheila merasa harus menghangatkan suasana. Dia tahu Bara suka dengan masakannya—terutama udang keju buatan Sheila sendiri.Saat sampai di gedung kantor, beberapa pegawai menunduk sopan. Sheila hanya tersenyum tipis, masih gugup setiap kali masuk ke ruang lingkup dunia suaminya. Dia melangkah pasti ke lantai tujuh, tempat Bara biasa menghabiskan waktu di balik meja kerja dan layar laptopnya.Pintu ruang kerja Bara terbuka sedikit. Sheila hendak mengetuk, namun langkahnya terhenti saat melihat sesuatu dari celah pintu. Seorang wanita—sekretaris Bara sedang membungkuk, membantu Bara mengambil map yang jatuh dari meja. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu lama. Dan ekspresi wanita itu… bukan profesional. Lebih ke… lembut. Menggoda.Sheila mengetuk pintu dua kali—pelan tapi cukup terdengar. Bara menoleh cepat. Sekretaris itu buru-buru berdiri tegak. Sheila membeku di temp

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status