Esoknya setelah salat subuh Kia kembali bergelung dalam selimut. Demamnya memang sudah reda tapi efek dari flu yang dideritanya masih menyisakan sakit kepala dan hidung tersumbat. Semalam Kia tidak bisa tidur nyenyak karena kesulitan bernapas. Bimo sendiri selalu berada di sampingnya sepanjang malam. Semua itu juga karena permintaan Kia sendiri. Sejak kecil ia tidak akan bisa tidur sendirian ketika sedang sakit. Kia memang begitu dimanjakan oleh keluargnya. Apalagi semenjak Azka abangnya berkuliah di Jakarta. Perhatian kedua orang tuanya tercurah hanya kepadanya.
Sejak kecil Kia memang sedikit pendiam dibandingkan dengan para saudara sepupunya. Kia tumbuh menjadi gadis yang lembut, cerdas, dan tegas seperti bundanya. Jadi tak heran jika Ardan memilih Kia untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Bukan karena Azka putra pertama Ardan tidak layak menjadi pemimpin di perusahaan. Tapi dari segi kemauan, pendidikan, dan kemampuan Kia lah yang lebih mumpuni. Azka sendiri menolak dKia merasakan bagaimana pegangan tangan Bimo di pinggangnya mulai mengendur. Bimo juga mulai memberikan jarak wajah mereka yang hampir saja menempel. “Tentu saja aku akan menunggu sampai kamu siap!” jawab Bimo lalu segera pergi. Namun belum sampai kaki Bimo melangkah sebuah suara menginterupsinya.“Maafkan aku Mas,” ucap Kia seraya mendekat. “Maafkan aku Mas,” ulang Kia dengan kedua tangan menyusup di antara lengan Bimo. “Aku bukan bermaksud menolak kamu Mas. Aku hanya takut untuk jatuh cinta. Aku takut mengecewkanmu,” jujur Kia mengungkapkan isi hatinya. Gegas Bimo mengurai pelukan Kia lalu berbalik badan. Ditatapnya wajah sendu sang istri. Seketika Bimo tertegun. Tersirat luka yang cukup dalam di sana. Netra sebening madu itu menggambarkan sebuah keraguan yang nyata. “Apa kamu masih meragukan cintaku padamu?” Bimo melayangkan pertanyaan itu seraya memaku netra itu tanpa jeda. “Apa kamu tidak pernah peka jika aku mencintaimu dengan tulus? Bahkan cintaku padamu telah l
“Apa kedatangan kamu ingin mengembalikan Kia pada kami?” ucap laki-laki paruh baya di hadapan Bimo dengan tatapan dingin. Laki-laki yang biasanya selalu ramah dan murah senyum itu berubah dingin dan datar. Tatapan elang itu menghunus ke dalam netra Bimo. Mencoba melumpuhkan keberanian Bimo yang telah dipersiapkan sejak tadi. Tapi Bimo tak akan menyerah begitu saja. Bimo ingin mengetahui semua rahasia Kia saat ini juga.“Maksud Ayah apa?” Bimo balik bertanya sembari mencoba mencerna pertanyaan yang langsung ditodongkan kepadanya. Padahal sepatah katapun Bimo belum membicarakan tentang Kia.Bimo memberanikan diri mendekati Ardan ayah mertuanya yang saat ini berdiri dengan bersandar pada meja kerjanya. Tadi sesampainya di kediaman Alfarizi Bimo langsung diajak Ardan masuk ke dalam ruangan favorit laki-laki itu. Ruang kerja sekaligus merangkap menjadi perpustakaan pribadi. Melihat koleksi buku Ardan tentu saja membuat Bimo terkesima. Rak buku bersusun itu berisi buku-buku dengan
Sebelum terjadi sesuatu yang lebih jauh Bimo segera menghentikan aksinya. Ia harus meminta izin kepada Kia terlebih dahulu. Ia tidak ingin menyakiti perempuan yang sangat dicintainya tersebut. “Katanya padaku! Apa aku menyakitimu Sayang?” tanya Bimo sembari menatap ke dalam netra sebening madu di hadapannya. Namun Kia bergeming. Bibirnya tak mampu berucap. Demi membuktikannya Bimo kembali meraup bibir Kia. Kali ini Bimo memagutnya dengan sedikit liar. Sengaja memancing emosi Kia. Bimo ingin tahu sejauh mana pelecehan seksual yang pernah dialami oleh perempuan itu. Lalu dengan sengaja tangan Bimo mulai menggerayangi tubuh Kia dan berhenti di dadanya. Bimo bisa merasakan tubuh Kia yang mulai bergerak gelisah. Mulai menolak setiap sentuhan yang diberikannya. Napas Kia mulai tersengal-sengal. Tapi Bimo tak ingin berhenti. Terus menggoda sang istri agar menunjukkan reaksinya.“Kamu adalah milikku Kia. Hanya milikku! Hanya aku yang berhak atas tubuh dan hatimu!” ucap laki-laki yang te
“Bang aku ingin tanya satu hal kepadamu,” ucap Bimo yang kini tengah bersama Azka di ruang keluarga.“Klo kamu ingin tahu kenapa Kia bisa seperti itu jawabanku cuma satu,” balas Azka seraya menatap Bimo dengan sorot tak terbaca. “Aku juga baru tahu kondisi psikis Kia semenjak di rumah. Semua orang merahasiakannya dariku. Kamu tahu Bim?” Azka menghela napas dalam-dalam merasakan perih di hatinya setiap kali mengingatnya. “Aku gagal menjaga Kia. Satu-satunya adik perempuanku. Andai dulu aku tahu akan terjadi seperti ini tidak mungkin kubiarkan laki-laki itu bernapas lagi di dunia ini,” geram Azka seraya menitikkan air mata. “Hampir 10 tahun aku di Jakarta bersamamu. Aku pulang hanya sesekali dalam setahun. Aku pun tidak tahu tragedi yang menimpa adikku.”Bimo terdiam. Tak tahu lagi harus berkata apa. Di sini orang paling menderita adalah istrinya. Di balik keindahan yang selama ini ia kagumi ternyata Kia menyimpan sebuah luka yang teramat dalam. Bimo pun rasanya sudah tak sang
Esok paginya, setelah memastikan kondisi Kia baik-baik saja Bimo berniat berangkat bekerja. Meskipun klinik tersebut milik keluarga istrinya Bimo tidak ingin lalai dalam tugas. Justru kini ia harus rajin bekerja demi membahagiakan Kia. Demi janjinya kepada keluarga Kia yang rela menyerahkan putri kesayangan mereka kepada laki-laki biasa sepertinya."Mas Bimo mau kerja?" Tanya Kia yang baru saja ke luar dari kamar mandi."Iya, di rumah udah ada Bunda dan Mbak Letta yang akan menemani kamu," jawab Bimo seraya menatap Kia dari balik cermin di hadapannya.Kia yang hanya mengenakan bathrob mendekat dengan ragu-ragu. Berdiri tepat di belakang Bimo dengan jantung berdebar. Perasaan bersalah menguasai hatinya. Setelah pengakuannya kemarin tentu saja membuat hubungan mereka yang sebelumnya mulai dekat kini terasa menjauh kembali. Kia kembali merasa asing saat bersama laki-laki itu."Kenapa? Apa kamu ingin aku di rumah menemanimu?" ucap Bimo yang sudah beralih posisi menjadi m
"Aku tidak akan melakukannya sebelum kamu menjawab pertanyaan ku Sayang."Bimo mengambil langkah mundur. Memberi jarak di antara mereka demi menghindari kekhilafan. Dirinya memang menginginkan Kia menjadi miliknya. Tapi bukan dengan keadaan terpaksa. Bimo ingin Kia menyerahkan dirinya atas keinginan sendiri. Bukan karena paksaan orang lain atau hanya untuk memenuhi sebuah kewajiban. Bimo ingin pengalaman pertama mereka menjadi sesuatu yang mengesankan dan berharga, bukan menyisakan sebuah penyesalan nantinya.Kia tertegun. Tak percaya dengan kata-kata Bimo yang dengan terang-terangan menolak dirinya. Padahal apa yang ia lakukan bukanlah hal yang mudah. Kia sudah mati-matian menekan ego dan harga dirinya di hadapan laki-laki itu. Kia ingin menjalankan kewajiban sebagai seorang istri yang sesungguhnya. Tapi tanggapan Bimo meluruhkan segala usaha yang telah dilakukannya. Netra Kia mulai tampak berkaca-kaca. Hatinya terluka atas penolakan Bimo.Mendapatkan tatapan Kia yang m
Mendengar perintah sang suami Kia memberanikan diri membuka mata. Kia menghela napas panjang. Mencoba menetralisir rasa panas sekaligus gerah yang hadir dalam dirinya dalam waktu bersamaan. Belum sempat Kia membuka kata bibir itu kembali dibungkam oleh Bimo dengan ciuman dalam. Kia tak mau kalah. Ia pun kembali menyambut Bimo."Teruslah menatapku. Jangan sekali pun memejamkan mata!" Perintah Bimo dengan tegas. Tentu Bimo tidak ingin kejadian kemarin terulang. Jangan sampai bayangan Zyan turut andil dalam permainan cinta mereka.Kia patuh dengan semua perkataan Bimo. Menyaksikan sendiri bagaimana Bimo menggoda dan memuja setiap inci tubuhnya. Debar jantung Kia semakin menggila kala tangan kekar itu meraih tali kecil lingerie di bahunya. Menariknya turun hingga memamerkan dua buah gundukan padat miliknya. Bimo menyeringai lalu kembali membelai pipi Kia. "Tenang dan nikmatilah Sayang!" Setelah mengatakan dua kata itu Bimo segera melahap salah satu bagian tubuh Kia yang tampak m
Karena merasa khawatir maka setelah merebahkan tubuh Kia di atas ranjang Bimo tak langsung mandi. Bimo hanya melepaskan bokser basah yang dikenakannya lalu membalut tubuhnya dengan handuk. Gegas Bimo ke luar dari kamar mandi."Sayang jangan menangis lagi please.." mohon Bimo yang kini duduk di tepian ranjang sembari membelai rambut Kia yang masih basah."Maafkan aku Mas, pasti Mas Bimo marah dan kecewa sama aku kan?" ucap Kia dengan memeluk kedua lututnya. Bahkan Kia tak peduli lagi dengan penampilannya yang tak bisa dibilang berantakan lagi. Kia tampak kacau dan frustasi padahal baru beberapa menit yang lalu ia begitu terlena dengan perlakuan Bimo kepadanya. Kia benar-benar takut saat dalam benaknya terus berdengung, "Kamu perempuan kotor. Perempuan hina!""Cukup Kia! Jangan ucapkan kata-kata itu lagi! Sudah ku katakan padamu jika aku menerima dirimu apa adanya," tukas Bimo sembari memeluk tubuh Kia dengan erat. "Apa yang selama ini aku yakini kini telah terbukti Sayang