Share

5. Drama Pengantin Baru

Bimo hanya mampu tersenyum geli melihat sikap salah tingkah Kia. Setelah Kia menghilang di balik pintu kamar mandi Bimo kembali menyeret koper milik Kia masuk ke dalam kamar mereka. Meletakkan di sisi ranjang, barangkali nanti Kia ingin langsung memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari berpintu 2 yang sudah Bimo siapkan. Bimo sendiri hanya menyisakan beberapa pakaiannya di sana karena khawatir tidak muat. Bimo tahulah bagaimana Kia selama ini. Isi walk in closed di kamar Azka pastilah tak sebanding dengan milik Kia.

Bimo pernah beberapa kali masuk ke dalam kamar Azka. Dan jangan ditanyakan isi walk in closed milik sahabatnya yang kini menjadi kakak iparnya tersebut. Apalagi Kia perempuan yang tentunya memiliki koleksi fashion yang lebih banyak dan beragam. Sebenarnya Bimo sempat ragu saat menerima pernikahan ini. Hanya karena rasa cinta yang dimilikinya untuk Kia, Bimo nekad menerima perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga Alfarizi. Ya, meskipun Kia tak pernah memandangnya selama ini. Tapi melihat kehidupan keluarga Alfarizi yang sederhana, ramah, serta dermawan membuat Bimo yakin bahwa menjadi bagian dari keluarga Alfarizi adalah suatu kebanggan tersendiri.

"Aku janji Kia, akan membahagiakanmu," gumam Bimo dalam hati lalu ke luar dari kamar.

Bimo melangkah menuju dapur. Berniat membuat minuman dan makanan untuk mereka berdua. Bimo telah menyiapkan semuanya sebelum mereka pulang.

Sembari menunggu air mendidih Bimo menyiapkan 2 cangkir untuk menyeduh kopi. Setahu Bimo istrinya itu penyuka kopi seperti dirinya.

"Mas Bimo ngapain?" Tanya Kia yang baru saja ke luar dari kamar mandi.

"Buatin kopi buat istri tercinta dong!" Balas Bimo dengan senyuman terkembang yang sukses membuat Kia menghela napas panjang.

"Sini biar aku yang bikin Mas." Kia mendekat lalu meraih toples berisi gula yang baru saja dibuka oleh Bimo.

"Ok, kopi buatan kamu pasti enak." Dengan senang hati Bimo memberikan toples tersebut. "Oya nggak usah pakai gula ya. Nanti kemanisan," goda Bimo seraya memperhatikan ekspresi kesal wajah Kia. "Soalnya kamu udah manis banget. Khawatir kena diabetes akunya," imbuh Bimo lalu segera menjauh sebelum sesuatu mengenai kepalanya.

Kia menggenggam erat sendok di tangannya. Sendok itu pasti lumayan sakit jika dipukulkan ke kepala sang suami. Belum ada 30 menit mereka hidup bersama di rumah ini tapi rasanya Kia ingin sekali pergi jauh dari laki-laki bermulut manis yang nahasnya sekarang menjadi kunci pintu surganya.

Mencoba bersikap senormal mungkin Kia membawa dua cangkir kopi tersebut ke ruang keluarga. Kia meletakkannya di atas meja sebelah sofa lalu berniat masuk ke kamar.

"Mau kemana Sayang?" ujar Bimo saat melihat Kia hendak pergi.

"Mau ke kamar Mas, mau rapiin lemari besok pagi-pagi kan kita harus bekerja," jawab Kia sembari menatap Bimo datar.

"Ya udah terserah kamu aja. Tapi jangan sampai kecapean ya? Nanti klo butuh apa-apa kamu bilang aja, biar aku carikan," sahut Bimo mempersilahkan kepada Kia untuk melakukan apapun yang perempuan itu inginkan.

"Iya Mas." Setelah mengucapkan itu Kia langsung menuju kamar mereka.

Mulailah Kia membuka koper dan mengeluarkan isinya. Dengan hati-hati Kia meletakkan di atas ranjang agar tidak sampai berantakan. Jangan sampai lipatan yang telah rapi itu rusak dan membuatnya kerepotan sendiri.

Di sofa ruang tengah kini Bimo tengah menyesap kopi buatan istrinya. Seketika senyuman merekah saat cairan hitam pekat itu menyapa kerongkongannya. Racikan tangan Kia pas dengan seleranya. Kopi dengan kadar gula sedikit. Ternyata istrinya tadi mengabaikan permintaannya. Dan Bimo yakin perempuan berpendirian kuat seperti Kia tidak mudah untuk ditaklukkan apalagi diperintah. Padahal tadi Bimo memang sengaja menguji kemampuan Kia.

Rasa kantuk tiba-tiba menyerang Bimo. Kedua matanya terasa perih dan berat diterpa semilir kipas angin yang sejak tadi berputar-putar. Hampir seminggu Bimo tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan hanya gelisah karena harus tidur satu ranjang bersama Kia. Tapi tinggal bersama keluarga kaya raya membuat Bimo merasa sungkan dan tidak nyaman. Ia bahkan tidak bisa melakukan apapun selama di sana karena semua pekerjaan rumah sudah ada petugasnya. Andai Bimo disuruh tinggal di sana lebih lama tentu tidak akan bisa. Ia biasa hidup bebas dan mandiri.

Tak berselang lama Bimo akhirnya merebahkan kepala di bahu sofa. Dan hanya dalam hitungan detik saja laki-laki itu sudah terlelap.

Di kamar, Kia merasa puas dengan semua pekerjaannya. Kini lemari pakaian telah rapi. Pun dengan meja rias baru yang menurut Kia berukuran mungil di hadapannya. Dua koper yang telah kosong itu lalu Kia letakkan di sudut kamar agar Bimo sendiri yang menyimpan.

"Akhirnya kelar semua," gumam Kia seraya duduk di tepian ranjang. Tiba-tiba Kia menguap saat kedua tangannya menyapu seprei yang terasa lembut, seolah memangil-manggil ingin segera ditempatinya.

Karena waktu telah menjalang salat magrib Kia segera beranjak. Melakukan pekerjaan lain untuk mengusir rasa kantuk. Ke luar dari kamar Kia lantas mencari keberadaan Bimo. Melihat suaminya tertidur pulas di sofa Kia lalu berjalan menuju dapur. Membuat camilan seperti yang biasa ia lakukan bersama bundanya. Mulailah Kia memeriksa isi kulkas. Seketika Kia tertegun saat melihat isi kulkas yang penuh dengan berbagai sayuran, bumbu dapur, dan beberapa jenis buah di sana. Semua tersusun dan tertata rapi sesuatu jenisnya. Lalu dibukalah pintu kulkas atas. Tebakan Kia benar, di dalam freezer sudah tersedia ikan laut, ayam, serta daging sapi segar yang telah membeku dalam bungkus plastik berukuran 1/2 kg.

Kia menyunggingkan senyuman lebar, tak menyangka jika ada laki-laki seperti Bimo. Selama ini Kia belum pernah mengenal laki-laki yang memahami urusan dapur secara detail seperti Bimo. Bahkan kamar mereka yang berukuran 1/4 dari kamarnya di rumah saja Bimo mampu menata furniture-nya dengan rapi sehingga terkesan lebih luas.

Sejenak Kia terdiam. Berpikir untuk membuat menu makan malam yang enak untuk mereka berdua. Terpilihlah ayam, tempe, brokoli hijau, dan wortel yang akan dieksekusi oleh Kia. Tentu saja Kia memilih bahan makanan yang mudah dan cepat untuk disajikan.

Gegas Kia memasukkan ayam yang masih membeku itu ke dalam wadah untuk mencairkannya dengan air. Melihat peralatan dapur Bimo yang lengkap hati Kia merasa senang. Sejak kecil Kia paling senang membantu bundanya di dapur. Semua pekerjaan rumah Kia hampir tidak pernah mengerjakannya. Tapi urusan memasak Kia tak pernah ingin ketinggalan. Kata bundanya, nenek Kia dulunya adalah pengusaha catering yang terkenal di Yogyakarta. Nenek Kia dan nenek Nafla bekerja sama mengembangkan catering tersebut.

Tepat saat azan magrib berkumandang Kia menyelesaikan pekerjaannya. Semua bahan tadi Kia olah menjadi satu menu yaitu ayam kecap pedas. Dengan senyuman puas Kia menuang masakan tersebut ke dalam mangkuk.

"Hemmm sedapnya masakan istriku?" puji Bimo yang tanpa Kia sadari sudah bersandar di ambang pintu dapur.

Kia yang baru saja berbalik badan dengan membawa mangkuk berisi makanan masakannya seketika tersentak.

"Mas Bimo bikin kaget aja, untung aku nggak punya sakit jantung!" kesal Kia lalu melanjutkan langkah dengan melewati Bimo yang segera memberikannya jalan.

"Sholat dulu yuk, aku udah laper ini. Pengen segera cicipin masakan istriku tercinta," ucap Bimo mengekor di belakang Kia.

Kia acuh. Tak menggubris ajakan Bimo. Setelah meletakkan makanan tersebut di atas meja makan Kia menutupnya dengan tudung nasi. Kia kembali ke dapur untuk mengambil dua piring beserta sendok. Meletakkan di sisi meja lalu pergi lagi. Sembari menggaruk kepalanya Bimo mengikuti langkah kaki Kia yang menuju dapur hingga berhenti di depan pintu kamar mandi. Kesal karena Bimo masih saja mengekor di belakangnya Kia lantas berbalik badan. Menghadap ke arah Bimo yang kini mengulas senyuman tanpa dosa.

"Mas bisa nggak sih nggak bikin aku kesal?" Protes Kia sembari menahan lidahnya agar tidak sampai berkata kasar.

"Nggak!" Jawab Bimo singkat.

Kia menghela napas panjang lalu kembali berkata-kata, "Aku mau wudhu Mas, katanya ngajak sholat? Lagian kamar mandinya nggak cukup klo kita barengan!"

Setelah mengucapkan itu Kia segera masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu dengan cukup keras hingga membuat Bimo terkejut.

*****

Esoknya.... Drama pengantin baru dimulai lagi. Kia dan Bimo kembali berdebat masalah kendaraan yang akan mereka gunakan pergi ke kantor. Kia ngotot menaiki mobilnya sedangkan Bimo lebih memilih menaiki motor bermodel retro klasik kesayangannya. Kia akhirnya mengalah saat Bimo mengenakan helm di kepalanya. Helm baru itu tentu sudah Bimo persiapan sebelumnya.

Sepanjang perjalanan Kia memilih membisu. Kedua tangannya pun hanya memegangi jaket yang dikenakan Bimo hingga sampai di depan gedung bertingkat bertuliskan Alfarizi Corporation. Kia segera turun dari atas motor lalu menyalami tangan Bimo.

"Mas lepasin tanganku. Malu dilihatin orang banyak!" Protes Kia saat Bimo tak melepaskan tangannya.

"Kamu mau masuk kantor pakai helm?" Kekeh Bimo yang seketika membuat Kia tersadar jika ia belum melepaskan helm di kepalanya.

Tanpa menolak Kia pasrah saja saat Bimo membantu melepaskan helmnya. Para karyawan yang kebetulan berada di sana bergegas pergi. Tak berani menyaksikan adegan romantis pasangan pengantin baru tersebut. Bukan karena mereka enggan melainkan mereka takut ditegur karena datang terlambat. Kia juga pasrah saat sang suami merapikan rambutnya yang tentu saja berantakan.

"Udah. Nanti telepon aja klo udah selesai," ucap Bimo lalu mengucapkan salam.

Gegas Kia masuk ke dalam gedung setelah memastikan suaminya pergi. Kia membalas sapaan para karyawan yang kebetulan berpapasan sebelum masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan.

Masuk ke dalam ruangannya Kia langsung disapa oleh aroma kopi favoritnya yang menguar. Baru saja Kia mendaratkan tubuhnya di kursi saat netranya menangkap sebuah kertas merah muda berbentuk hati di atas mejanya. Penasaran Kia lantas meraih dan membukanya.

"Selamat menempuh hidup baru Azkia. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu."

From : Pengagum rahasiamu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status