Share

4. Kehidupan Baru

Seminggu bukan waktu yang sebentar bagi Kia. Selama itu pula ia harus berpura-pura bahagia di hadapan seluruh keluarga besarnya. Bersikap munafik pada dirinya sendiri. Bersembunyi di balik senyuman merekah yang selalu ditebar kepada semua orang yang ditemuinya. Terutama ayah dan bundanya. Semua ini ia lakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Tidak ada yang paling berharga kecuali senyuman dari kedua orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak dirinya dalam kandungan hingga sedewasa ini.

"Kamu yakin mau tinggal bersamaku di rumah kontrakan?" Untuk kesekian kalinya Bimo menanyakan hal itu. Memastikan tidak ada keterpaksaan bagi Kia untuk mengikutinya.

Bimo tak habis pikir jika Kia yang selama ini hidup bak seorang putri raja bersedia ikut pulang ke rumah kontrakan yang sejak setahun lalu disewanya. Kia menghentikan aktivasinya yang tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Lalu dengan ekspresi datar Kia menatap Bimo.

"Apa Mas Bimo nggak yakin dengan pernikahan kita?" Kia melayangkan pertanyaan menohok yang sukses membuat Bimo tertegun.

"Kenapa kamu nanya gitu?" tanya Bimo lalu duduk di tepi ranjang dekat dengan koper yang sedang diisi pakaian oleh Kia.

"Mas Bimo sendiri kenapa nanya gitu?" Setelah berhasil membungkam bibir Bimo, Kia kembali melanjutkan kegiatannya.

Hari ini adalah hari terakhir mereka cuti dan mulai besok mereka harus kembali bekerja. Maka di hari ini pula Kia dan Bimo harus segera bersiap pergi. Sebenarnya kedua orang Kia sudah menawari sebuah rumah mewah untuk mereka berdua tinggali setelah menikah. Tapi Bimo menolak. Meskipun dirinya tidak akan mampu membeli rumah mewah seperti yang mampu dibeli oleh keluarga Alfarizi hanya dengan sekali ucap. Sebagai seorang laki-laki tentu Bimo tidak ingin menerima semua pemberian orang tua sang istri dengan cuma-cuma. Bimo yakin dirinya pasti mampu membahagiakan Kia dengan cara dan kerja kerasnya sendiri.

Gerak-gerik Kia menjadi satu-satunya perhatian Bimo saat ini. Seperti biasanya Kia akan selalu terlihat cantik meskipun hanya berpenampilan sederhana. Gadis itu hanya mengenakan celana jeans berpadu kaos yang sedikit longgar. Setahun memperhatikan Kia tentu Bimo sudah hapal dan mengetahui cara berbusana dan berdandan Kia. Gadis itu tidak pernah mengenakan pakaian terbuka ataupun memoles wajahnya dengan make up tebal. Namun bukan berarti tubuh Kia tidak seksi. Justru di balik penampilannya yang tertutup, Kia selalu terlihat seksi dan menawan di mata Bimo.

Mungkin jika perempuan lain yang mendapatkan perhatian dari Bimo seintens ini akan merasa canggung dan salah tingkah, Kia tentu saja sebaliknya. Perempuan itu dengan santai melanjutkan aktivitasnya hingga selesai.

Sreeet... Suara resleting koper menjadi satu-satunya suara yang menemani dengung mesin pendingin kamar. Kia hanya menatap Bimo sekilas sebelum kembali masuk ke arah walk in closed untuk mengecek ulang barang-barang penting miliknya yang mungkin saja tertinggal. Jadi Kia sudah membawa 2 koper besar untuk mengangkut barang-barang pribadi yang menurutnya paling dibutuhkan nantinya. Di ruangan berukuran 3x3 meter tersebut Kia memindai seluruh isinya.

"Mana mungkin aku bawa semua ini," gerutu Kia saat melihat koleksi tas dan sepatunya yang masih utuh di sana. Tadi Kia hanya mengeluarkan 3 pasang sepatu vantovel dan beberapa high heels berwarna netral serta sandal untuk dibawanya. Menyadari keadaan Bimo tentu Kia tidak akan melakukannya. Ia harus bisa mengimbangi Bimo. Jangan sampai suaminya merasa minder atau pun merasa berada di bawahnya.

Akhirnya Kia meraih dua sepatu sport untuk acara santai di luar kantor atau lebih tepatnya saat sedang ke luar bersama Bimo nantinya. Kia terkejut saat ke luar dari walk in closed melihat Bimo yang sedang bertelanjang dada.

"Udah siap?" Ujar Bimo sembari mengenakan kaos berwarna hitam bertuliskan remember me di bagian tengahnya.

"Su sudah Mas," sahut Kia terbata karena tanpa sadar ia justru mengagumi tubuh atletis Bimo yang terpampang nyata di depan mata.

Kia segera mengalihkan pandangan saat merasakan wajahnya yang mulai memanas. Bahkan Kia bisa merasakan kerja jantungnya yang mulai memompa dengan keras. Gegas Kia meraih tas selempang yang sudah diisinya dengan dompet dan ponsel. Pun dengan Bimo segera mengenakan tas ransel miliknya.

"Biar aku aja!" Bimo segera mengambil alih koper yang hendak dipegang oleh Kia.

Melihat Bimo dengan ransel di pundak dan menyeret dua koper tentu saja membuat Kia tak enak hati.

"Yang ini biar Kia aja yang bawa Mas," Kia merebut paksa salah satu koper lalu segera menyeretnya ke arah pintu. Mulai sekarang Kia harus terbiasa menyebut aku dan kamu. Tapi karena Kia sudah terbiasa memanggil Mas Bimo sejak mereka kenal setahun yang lalu maka Kia memutuskan akan tetap memanggil Bimo dengan sebutan Mas.

Di ujung tangga ternyata sudah ada supir dan satu pembantu laki-laki keluarga Alfarizi yang sudah menunggu mereka berdua di sana. Mereka bersiap untuk membawakan barang-barang milik kedua majikannya. Awalnya Bimo menolak karena merasa tak nyaman dengan perlakuan dua karyawan laki-laki keluarga Alfarizi yang menurutnya sangat berlebihan. Apalagi sejak kecil Bimo sudah terbiasa melakukan apapun sendirian.

"Ayo Mas!" Ajak Kia lalu berjalan lebih dulu. Bimo menatap mereka berdua sejenak lalu menyusul langkah Kia.

Sesampainya di bawah ternyata seluruh keluarga Kia sudah menunggu di sana. Termasuk Azka dan Arletta, abang dan kakak iparnya.

"Kenapa sih kalian nggak tinggal bareng kita aja di sini?" ujar Azka yang memang sejak awal kurang setuju dengan keputusan pasangan pengantin baru tersebut pindah rumah.

"Jangan lebay deh Bang. Kia nggak ke mana-mana juga. Kan kita tetap berdekatan. Entar tiap hari kita maen sini deh. Iya kan Mas?" balas Kia seraya meminta dukungan dari sang suami.

"Iya, lagian kita setiap hari kan juga ketemu di klinik," sahut Bimo membenarkan ucapan Kia.

"Bukan lo Bim. Tapi berpisah dengan adik gue ini yang bikin gue sedih," tukas Azka lalu memeluk Bimo. "Jagain adik gue dengan baik ya. Awas aja klo lo berani macem-macem!" bisik Azka yang tentu saja bisa di dengar oleh semua orang yang ada di sana.

"Tentu saja," balas Bimo dengan singkat.

Tiba-tiba kedua mata Kia berembun kala netranya berhenti pada dua sosok paling penting dalam hidupnya menatap dirinya dengan sendu.

"Bunda!" Kia menghambur ke dalam pelukan Aisyah dengan menangis. Pun dengan Aisyah yang turut meneteskan air mata. Ini adalah kali pertama Aisyah akan berpisah dengan putrinya.

Selama ini Kia memang tidak pernah berjauhan dengan kedua orang tuanya. Tidak seperti Azka yang memang sudah terbiasa berada jauh dengan keluarga sejak melanjutkan pendidikan di Jakarta.

"Udahlah Bun, jangan menangis! Harusnya kita bahagia karena akhirnya sudah ada seseorang yang akan menjaga Kia dengan baik. Yah.. Meski Ayah juga cemburu dengan anak menantu kita ini," sahut Ardan seraya mengusap bahu Aisyah untuk menenangkan.

"Tapi Mas, rasanya aku nggak tega..." Aisyah tercekat. Tak mampu lagi mengungkapkan perasaannya kecuali dengan air mata.

"Bunda nggak perlu khawatir, insyaallah saya akan membahagiakan Kia. Kalau memang Bunda kangen atau ingin bertemu Kia, Bunda tinggal telpon. Nanti saya akan langsung membawa Kia ke hadapan Bunda," sambung Bimo turut terbawa merasakan keharuan.

Bimo teringat saat mengantarkan seluruh keluarganya ke stasiun tiga hari lalu. Perpisahan yang kesekian kali. Tapi perpisahan ini terasa paling menyakitkan karena Bimo akan dipastikan menetap di Yogyakarta. Dulu dirinya merantau demi menempuh pendidik dan mengejar cita-cita. Sekarang ia justru menemukan tambatan hati sekaligus keluarga baru di Yogyakarta. Meski begitu Bimo sudah berjanji akan rutin pulang saat memiliki waktu luang.

"Dengerin Bun, anak menantu kita manis banget!" Ardan menyahut dengan tergelak.

"Jadi penasaran, kira-kira manis mana antara Mas Ardan dan Bimo?" Aisyah mengurai pelukannya bersama Kia sembari mengusap jejak basah di kedua pipinya.

"Jelas manis Bang Azka dong!" Letta tak ingin ketinggalan untuk membanggakan sang suami yang memang faktanya selalu bersikap manis padanya.

Setelah puas bercanda mereka pun mengantarkan pasangan pengantin baru tersebut hingga sampai di depan rumah.

*****

Kia tertegun, menatap rumah minimalis bercat putih di hadapannya. Menghela napas panjang lalu secara perlahan mendekat. Inilah tempat tinggalnya yang baru. Tinggal beberapa langkah lagi dirinya akan menjadi bagian dari rumah tersebut. Kehidupan barunya akan dimulai dari sini. Tak ada lagi Kia yang manja. Tak ada lagi pembantu yang selalu mengurus semua kebutuhannya sehari-hari. Semuanya harus ia lakukan sendiri demi bakti kepada sang suami.

"Maaf istriku, aku belum mampu memberikan rumah mewah untukmu," bisik Bimo yang tanpa disadari Kia sudah berdiri di sampingnya.

"Bu... Bukan itu maksud aku Mas." Mendadak Kia merasa tak enak hati karena khawatir membuat Bimo tersinggung.

"Ayo kita masuk! Tadi pagi aku udah nyuruh orang untuk membersihkan rumah kita," lanjut Bimo lalu segera menuju pintu dan membuka kuncinya.

Kia menurut. Masuk lebih dulu ke dalam rumah saat Bimo mempersilakan.

"Masuk aja. Aku ambil barang-barang kita dulu." Bimo bergegas kembali untuk mengambil barang-barang mereka di dalam mobil.

Kia mulai melangkah masuk. Seperti dugaannya, rumah ini sangat kecil baginya. Menuruti rasa penasarannya Kia mulai melangkah. Dimulai dengan ruang tamu yang lebih didominasi dengan warna putih. Ruang kedua, Kia mendapati ruang keluarga yang hanya diisi dengan satu sofa tunggal berwarna creame dan satu bufet berbahan kaca yang berfungi sebagai wadah TV sekaligus tempat menyimpan buku. Kia mendekat, merasa penasaran buku apa saja yang biasa dibaca oleh sang suami. Kia tersenyum simpul saat mengetahui koleksi buku Bimo yang ternyata tak hanya buku-buku tentang ilmu kesehatan. Di antara rak buku itu ada satu saf yang berisi buku-buku fiksi. Di lain kesempatan Kia pasti akan membaca buku-buku tersebut.

Berikutnya Kia memasuki kamar berukuran 3x2 meter. Ruangan itu hanya berisi satu set meja kerja dan 1 lemari kaca berisi pakaian dinas milik Bimo yang tergantung rapi di sana. Lalu beralih ke ruangan tertutup yang tersisa. Kia yakin itu adalah kamar tidur mereka berdua nantinya. Bukannya menuju kamar utama Kia justru kembali ke ruang keluarga.

"Kenapa nggak langsung masuk ke kamar?" ujar Bimo yang membuat Kia terkejut seketika.

"Aku nunggu Mas Bimo aja," balas Kia merasa sungkan. Biar bagaimana pun Bimo lah sang pemilik rumah. Jadi tak selayaknya Kia bertingkah lancang dengan memasuki kamar pribadi milik laki-laki tersebut.

Bimo mengulas senyuman lalu mengajak Kia untuk melihat kamar mereka. Jantung Kia mulai berlonjatan saat mengikuti langkah Bimo.

"Ini kamar kita," terang Bimo sembari membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Kia untuk masuk.

Tatapan Kia tertuju pada Bimo sejenak lalu memasuki kamar tersebut. Kembali Kia tertegun saat melihat suasana kamar bernuansa serba putih di hadapannya. Sangat bersih, rapi, wangi, dan terasa nyaman.

"Ya di sinilah nanti kita akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama," goda Bimo dengan berbisik tepat di telinga Kia.

"Ma maksudnya?" Kia terbata tanpa berani bergerak sedikit pun saat hembusan napas hangat Bimo menerpa belakang kepalanya. "Kita cuma tidur Mas, nggak ngapa-ngapain!" Tegas Kia yang justru membuat Bimo merasa geli.

"Ya emang tidur. Trus mau ngapain lagi." Bimo semakin gencar menggoda, Bimo yakin saat ini wajah sang istri pasti sudah memerah karena ulahnya.

"Klo kamu keberatan aku akan tidur di sofa."

"Bu.. Bukan gitu Mas!" tukas Kia dengan spontan berbalik badan. Pun dengan kepala Kia yang juga mendongak demi menatap wajah Bimo.

Pergerakan spontan Kia berhasil mempertemukan ujung hidung mereka berdua.

"Lalu?" Senyuman di bibir Bimo seketika berubah kala bibir merah muda milik Kia berada tepat di hadapannya.

Jakun Bimo tampak bergerak naik turun melihat wajah Kia yang hampir tak berjarak dengannya. Ingin rasanya Bimo membekap bibir itu dengan bibirnya saat ini juga. Tapi akal sehatnya masih berfungsi dengan baik sehingga semuanya masih aman terkendali.

Menyadari posisi mereka yang terlalu intim, Kia segera mengambil langkah mundur lalu kembali berkata, "Mas, kamar mandinya di mana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status