"Apa yang ada di pikiran kamu, Mila Sayaaank? Sampai kaget begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh. Mas cuman mau ciuman lebih dari itu dan lebih mesra lagi, biar berasa. Kalo gitu doank nggak berasa, Mila Cantik ...." Dandy tersenyum simpul."Oh ... trus seperti apa yang Mas mau?" "Harusnya gini dong." Dandy mencium layar ponsel berkali-kali, hingga basah, sambil mengeluarkan kata emuah, emuah, emuah. "Haruskah?" tanya Mila dengan tersipu. Dia geli sendiri membayangkan hal itu. "Harus dong, Mila Sayang. Biar mas bahagia." Dandy mengerling. Mila pun pasrah dan mengikuti kemauan sang kekasih, sesuai arahan. Padahal, dalam hati dia juga senang melakukan itu."Nah, gitu dong. Ini baru pacar Dandy. Kalau gini 'kan aku makin cinta ma Mila Sayang.""Idih, gombal.""Serius, Mila Sayang. Baru kali ini merasa seperti ini. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan hal seperti dengan perempuan lain. Kamulah yang pertama dan satu-satunya. I love you so much, Honey. Muuuah."Mendapat pernyataan itu, M
Dandy mengangguk. "Iya." Dia nyengir kuda."Ya, Allah ... itu 'kan nggak baik. Dosa, Mas, nggak berkah.""Yaaa, mau gimana lagi, itu jalan satu-satunya. Tanpa itu kita nggak bisa masuk kerja di sana tanpa hambatan, apalagi hanya dengan ijazah SMA. Jelas nggak mungkinlah meski kita ajuin lamaran lewat orang penting." Dandy berkata sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.Gadis berhidung bangir itu menghela napas. "Harus, ya, Mas?" Mila masih tidak begitu yakin dengan apa yang didengar."Ya harus, Mila. Wajib. Tanpa itu ya ... nggak bisa.""Kalo gitu, nggak usah aja deh, Mas. Mending–" Dandy menyergah, tak ingin melepaskan kesempatan. "Jangan gitu, Mila. Ini kesempatan langka dan kesempatan emas buat kita. Momen seperti ini jarang sekali ada. Kapan lagi kamu bisa dapat pekerjaan enak dan kita bisa bebas berduaan, jalan-jalan di mana aja. Ayolah, Mila sayang."Mila meremas tangan, hatinya resah memikirkan pilihan yang tepat. Sebenarnya, dia enggan berhubungan dengan hal semacam itu, t
Mila menghentikan langkah seketika lalu berbalik. Dia melihat Dandy bergegas mendekat. "Ada apa, Mas?" tanyanya setelah sang kekasih berdiri tepat di hadapan.Dandy tidak langsung menjawab. Dia mengatur ritme detak jantung yang berdegup kencang. Setelah degupan dirasa stabil, dia memberanikan diri berkata, "Eeehm, anu ... i-itu ... dompet aku ketinggalan." Dandy cengar-cengir kayak kuda nyengir. "Boleh aku pinjam uang?" tanyanya kemudian.Mila yang detak jantungnya tadi bertalu-talu karena menyangka bahwa Dandy akan melakukan hal yang biasa dilakukan sebelum menutup telpon, yaitu memberi kiss, pun terkekeh. Ternyata pemikirannya salah besar.Melihat Mila tertawa geli, Dandy pun menyugar rambut. Dalam hatinya terselip rasa sungkan bercampur jengkel, merasa dirinya diremehkan. Namun, dia telan rasa itu demi meraih misinya. "Oalah, kirain tadi apa ...." Mila merogoh saku celana lalu mengambil beberapa lembar uang warna biru dan menyerahkannya kepada Dandy. "Ini, Mas. Nggak usah minjem.
Gadis berbaju pink dengan rambut tergerai itu ragu untuk melangkah mendekat. Dia bergeming di samping tembok kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari tempat Dandy dan seseorang itu sedang berdiri. Mila mengamati mereka berdua, yang sedang asyik mengobrol di bawah daun rindang pohon beringin dan tidak mengetahui keberadaannya.Dia pindai dari bawah hingga atas sosok yang sedang bersama kekasihnya. Wajah orang itu tampan dan rupawan, tak kalah tampan dengan wajah sang kekasih, mata agak sipit dengan alis tebal simetris, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus dengan potongan curtain cut (kata anak zaman now). Ada tahi lalat kecil di atas bibir yang tidak terlalu tipis itu, membuat wajahnya tak jemu untuk dipandang. Pakaian casual serba hitam yang digunakan oleh lelaki bermata elang itu sangat cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis serta kontras dengan kulitnya yang putih."Mungkinkah ini teman yang dimaksud Mas Dandy kemarin?" batinnya, "kalo dilihat dengan seksama, orang
Lalu, gadis itu mecubit lengannya dengan keras. "Auw!" Seketika orang yang ada di sekitar mereka langsung menoleh karena mendengar pekikan Mila."Kamu, ngapain, sih?!" Dandy menarik tangan Mila agar kembali duduk. Lelaki itu lalu menoleh ke kiri kanan sambil berkata, "Lihat! Semua orang pada ngeliatin kita. Mereka kira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Bisa-bisa aku dipukuli massa di sini.""Maaaf. Habisnya, Mas, becandanya nggak lucu, sih. Jadinya, ya ... aku kira mimpi." Mila pun cengar-cengir mengingat tingkahnya.Dandy menggenggam tangan Mila lalu menatap lekat mata sang kekasih. "Aku serius, Mila. Aku ingin kita segera menikah. Secepatnya!" tegasnya."Secepatnya?" tanya Mila tak percaya. Meskipun begitu, binar matanya memancarkan rasa bahagia.Pasalnya, itu adalah impian Mila, untuk bisa bersanding dengan Dandy, sejak lelaki itu mengatakan ingin berakhir di pelaminan bulan lalu, ketika Mila memberikan uang pelicin. Namun, gadis itu tidak menyangka sama sekali bahwa sang kekasih akan m
"Buuuu ...," rengek Mila. Dia menggoyang-goyang lengan Mak Inah. "Ikin ... sudah. Buruan berangkat ke bengkel. Ndak enak ditungguin orang, Leee," bujuk Mak Inah.Janda beranak tiga itu mencoba melerai kedua anaknya. Jika tidak, akan ada perdebatan panjang yang tidak usai-usai karena watak ke dua anaknya yang keras kepala. "Tapi, Mak–""Sudah. Biar Mak yang ngomong sama Mila." Mak Inah menghampiri Ikin yang masih berdiri di ambang pintu, lalu mengelus punggung anak laki-lakinya itu untuk meredam emosi.Ikin yang notabennya anak paling penurut di antara dua saudaranya, akhirnya mengalah. Dia tidak mau membuat malaikat tanpa sayapnya itu menjadi sedih."Baiklah. Ikin berangkat, ya, Mak?" Pria berbadan kekar itu mencium punggung tangan wanita yang dikasihinya, lalu beranjak ke luar rumah."Mila ... sini, Nduk, kita ngobrol sambil duduk." Mak Inah melambaikan tangan mengajak putrinya untuk berbicara di ruang tamu.Mila melangkah pelan menghampiri dan duduk di samping perempuan yang melah
"Sah?""Sah!" jawab serentak seluruh orang yang ada dalam ruangan itu.Senyum bahagia menghiasi wajah ke dua mempelai. Mila mencium punggung tangan suaminya. Lalu, Dandy mencium kening gadis itu dengan penuh khidmat.Setelah dua bulan lamanya, mempersiapkan segala keperluan pernikahan, akhirnya akad nikah itu terlaksana juga meskipun hanya diselenggarakan dengan sederhana. Mila mempercayakan seluruh persiapan kepada Dandy dan keluarga besarnya. Acara itu dilaksanakan di kantor KUA setempat dan hanya dihadiri oleh mamanya Dandy dan kedua saksi. Sedangkan, Mila menggunakan wali hakim.Majikan dan juga rekan kerja Mila tidak ada yang tahu bahwa dia akan melangsungkan pernikahan. Dia hanya meminta izin cuti satu hari kepada sang majikan dengan alasan ingin mengunjungi saudaranya yang tinggal di kota itu. Mamanya Kelvin pun memberi izin kepadanya mengingat dia tidak pernah libur selama dua bulan terakhir ini.Sebelum persiapan pernikahan berlangsung, calon mertua Mila mengatakan padanya ba
Mila beranjak sambil mengusap air mata. Dia hendak keluar untuk mencari angin segar. Saat tangannya hendak menggapai kenop, pintu telah sedikit terbuka dari luar. Dandy muncul di balik pintu.Mila menghela napas lega. "Akhirnya kamu balik, Mas."Dandy menatap istrinya yang tampak rapi dan memakai jaket. "Kamu mau ke mana?""Tadinya aku mau cari angin segar. Bosan di kamar sendirian," jawab Mila, "Mas, dari mana, sih, kok lama banget baliknya?" tanyanya kemudian."Nongkrong ma temen-temen wat ngilangin stres gegara kagak bisa belah duren," ucap Dandy seraya melepas jaket dan menaruhnya di sofa."Ooh ... kok nggak ngajak Mila?""Yang ada makin stres, Mila, kalo durennya ikut mulu dan terlihat mata." Dandy berjalan menuju troli. "Loh, kok makanannya utuh? Kamu nggak makan?""Nggak nafsu, Mas, kalo makan tanpa Mas Dandy," jawab Mila. "Astaga, Mila ... 'kan mas dah bilang tadi. Kalo dingin gini 'kan jadi nggak enak," ucap Dandy. Dia menyentuh satu per satu makanan yang ada di atas troli.