Share

Bab 6. Berita Tak Terduga

Dalam deringan yang ke tiga, barulah panggilan Mila tersambung, lekas dia melontarkan suara. 

"As-Assala-mualaikum, Nad." Mila berkata sambil menahan rasa sakit

"Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa, Mila? Kenapa suaramu seperti itu?"

"To-Tolong aku, Nad. A-Aku–"

Belum selesai berkata Mila jatuh pingsan.

***

Aroma obat yang menyengat menyeruak memenuhi seluruh rongga hidung Mila. Matanya mengerjap karena sinar lampu yang menyilaukan. Kemudian, dia menatap sekeliling dan tampak ruangan serba putih.

Mila meraba kepala yang terasa pusing, tetapi tangannya tidak bisa bergerak bebas. Dilihatnya ada jarum yang menancap di tangan kanan. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. 

Kembali, dia mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada suara dengkuran yang berasal dari sebelahnya. Dia tidak tahu itu siapa karena terhalang gorden yang memisahkan. "Pasti pasien lain," terkanya dalam hati.

Mila meraba perut yang masih menyisakan rasa sakit.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa perutku masih terasa kram dan sakit?" Tanya itu kembali melintas dalam benak, tetapi Mila tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Tidak ingin kepalanya semakin pusing, dia kembali memejamkan mata. Namun, adegan demi adegan yang terjadi semalam kembali memenuhi seluruh ruang di kepala Mila. Bulir bening itu kembali bergulir membasahi pipinya. Mila tidak ingin menangis, tetapi sesak yang dirasakannya dalam hati membuat cairan itu keluar secara otomatis. Sekeras apa pun Mila mencoba untuk menahannya, tetapi air mata itu bersikeras mendobrak mata.

Mila terisak menahan tangis. "Ya Allah, kenapa jadi begini? Kenapa suamiku jadi berubah jahat seperti itu? Inikah karma darimu karena menentang orang tua? Salahkah aku yang mencintai dan percaya sepenuh hati?" Wanita manis itu bergumam di sela isaknya.

Gorden tersingkap setengah lalu seseorang, yang berada di ranjang sebelah, yang mendengar isakan lirih Mila, bertanya, "Neng kenapa atuh nangis? Apa ada yang sakit sekali? Eteh panggilin perawat, ya, biar diperiksa?" tawar perempuan di seberang. 

Mila menoleh menatap perempuan itu, lalu tersenyum dan menggeleng. "Tidak usah, Mbak, terima kasih banyak. Saya hanya teringat sesuatu yang membuat saya sedih. Terima kasih atas tawaran Embak."

"Oalah ... aya naon atuh? Neng boleh cerita ama Eteh." Perempuan berkulit kuning langsat itu kembali menawarkan jasa.

Saat itu, dalam ruangan, hanya ada Mila dan pasien wanita yang berlogat Sunda. 

Mila hanya menggeleng menolak tawaran itu. Dia tidak mampu berkata banyak karena rasa sakit yang masih mendera dan juga pusing di kepala.

"Bagaimana mungkin aku bercerita pada orang asing? Pada sahabatku sendiri aja harus mikir beberapa kali." Mila bermonolog dalam hati. 

"Ya udah, atuh, Neng. Semoga semuanya baik-baik saja. Kalau butuh temen ngobrol, Eteh siap atuh," ucapnya tulus, sebelum melepas gorden yang dipegangnya saat menyingkap. Perempuan itu kini tak nampak lagi dalam pandangan Mila.

Pintu berdecit dan terbuka, lalu masuklah seseorang yang berjalan mendekat ke ranjang Mila.

"Alhamdulillah, lu dah sadar, Jamil." Orang itu yang tak lain adalah Nadia berucap seraya mengelus bahu temannya. Dia berdiri di samping ranjang. "Apa perutmu masih sakit?" tanya Nadia penuh khawatir.

"Iya, masih, tapi tidak sesakit kemarin. Apa sebenarnya yang terjadi padaku, Nad? Bagaimana aku bisa sampai ke rumah sakit? Trus apa Mas Dandy tahu aku ada di sini?" Mila memegang lengan Nadia dan menatap wajah temannya dengan penuh harap. Berharap mendapat jawaban atas segala tanya yang ada dalam benaknya.

"Tenang, Jamil, Satu-satu nanyanya. Gue 'kan jadi bingung mau jawab yang mana dulu." Nadia menyeret kursi yang ada di bawah ranjang lalu mendudukinya. "Gue jawab pertanyaan pertama lu. Elu ... lu mengalami pendarahan, Jamil."

Bagai tersambar petir Mila mendengar jawaban Nadia.

"Apa?! Pendarahan?! Maksud kamu aku–" Mila tidak bisa meneruskan kata-kata. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. 

Nadia menggangguk. Gadis cantik itu menatap sendu temannya dan bulir bening pun menetes menbasahi pipi. "Iya, Jamil, lu hamil. Tapi ... janin itu tak terselamatkan. Lu mengalami keguguran. Sabar, ya, Mil?" Nadia memeluk Mila yang sedang menangis tersedu. 

"Keguguran? Nggak mungkin, Nad. Itu nggak mungkin terjadi. Bagaimana bisa keguguran kalau aku nggak hamil?" tanya Mila setelah mampu menguasai emosi.

Nadia merenggangkan pelukan. "Lu nggak tau kalo lu hamil? Apa tidak ada tanda-tanda kehamilan selama ini sampai lu nggak tau kalo lagi hamil?" tanyanya penuh keheranan. 

Mila menggeleng. Selama ini dia tidak merasakan apa-apa. Tanda-tanda kehamilan di saat hamil muda pada umumnya–seperti mual, muntah-muntah, kepala pusing, tidak nafsu makan, lemah seperti orang yang mengalami anemia–tidak didapatinya. Hanya saja, dia terlambat datang bulan selama tiga minggu dan tak pernah terpikirkan olehnya kalau sedang hamil. Wanita berpakaian putih itu menganggap jika hal itu akibat stres karena banyak pikiran.

"Trus, apa Mas Dandy sudah tau? Maksudku ... apa Mas Dandy sudah kamu hubungi?" Mila berkata dengan suara parau. 

"Sudah, tersambung tapi tidak terangkat. Berkali-kali gue coba tetap saja tidak diangkat. Gue sampai makai ponsel lu karena gue kira dia tidak mengenal nomer gue makanya nggak diangkat" papar Nadia. 

"Ya Allah .... Kenapa kamu tega banget ma aku, Mas?" guman Mila. "Dia nyimpen nomermu, Nad. Sejak pertama bertemu," tuturnya sedih.

Hati Mila sangat perih mengetahui kenyataan bahwa suaminya sudah tidak memedulikannya lagi.

"Bener-bener tega, tuh, orang!" Nadia geram mengetahui kenyataan yang ada."Lu yang sabar, yaaa, Mil. Kagak usah mikirin manusia macam itu. Lu harus mikirin kesehatan lu dulu saat ini." Gadis itu mencoba menghibur dan menguatkan hati Mila.

"Jadi ... Mas Dandy tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku?" Mila masih saja mempertanyakan hal yang jelas-jelas sudah diketahuinya.

Nadia menghela napas. "Lebih tepatnya dia tidak mau tau!" Dia menekan kata-katanya. 

Mila menunduk, menatap tangannya yang berada di atas paha yang tertutup selimut. Pikirannya berkecamuk. Wanita berwajah pucat itu tidak pernah habis pikir bahwa suaminya akan setega itu.

"Nad, aku harus pulang sekarang," pintanya. 

"Nggak bisa, Jamil Sayang. Kita tunggu komando dari dokter. Lagian juga infus lu belum abis," tolak Nadia seraya menunjuk botol infus yang tergantung di tiang yang ada di sisi kanan Mila.

"Cuma tinggal separuh. Kamu harus nolong aku, Nad. Aku harus pulang secepatnya," rengek Mila. Dia menggoyang-goyang tangan Nadia dan menatap lekat penuh harap wajah temannya.

"Memangnya kenapa, sih, Jamil? Baiknya di sini dulu, biar lu bisa istirahat dengan tenang." 

"Tidak bisa, Nad. Pokoknya aku harus pulang hari ini juga." Raut wajah Mila tersirat kecemasan yang teramat.

Nadia menatap lekat sahabatnya sambil membatin, "Ada apa, sih, sebenarnya? Kenapa Mila cemas sekali? Apa ... ada hal buruk yang bakal menimpanya jika dia tidak segera pulang?"

To be continue .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status