Share

Bab 7. Akar Kebencian

"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya. 

"Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila. 

Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."

Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.

Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat. 

Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah sakit tidak bertanggung jawab lagi."

"Siap, Bu Dokter." Nadia berucap sambil memberi hormat. "Semua resiko ditanggung penumpang," imbuhnya.

Dokter cantik itu tersenyum simpul. "Jangan lupa kontrol, ya?! Dan saya harap, Anda bisa menjaga diri agar segera bisa program hamil lagi," ujar Bu Dokter pada pasiennya. 

"Baik, Bu," jawab Mila, lirih, lalu tersenyum. 

Dokter itu pun kemudian berlalu menuju ranjang sebelah.

Selepas itu, Nadia mulai berkemas untuk pulang, setelah menyelesaikan administrasi. Sedangkan, Mila memesan taksi online memakai ponselnya yang ada di atas nakas. Nadia sempat membawa benda tersebut saat menolong Mila tadi pagi. Setengah jam kemudian, taksi online itu sudah berada di depan rumah sakit. Mereka pun beranjak meninggalkan rumah sakit. 

Senja kali ini tampak suram di mata Mila, tak lagi indah seperti dulu. Matanya menerawang jauh ke luar jendela kaca mobil. Lagi-lagi pikirannya dipenuhi oleh banyak tanya mengenai suaminya. 

"Ya Allah, ya Rabb ... mengapa semua ini harus terjadi pada hamba? Bahkan calon bayi yang keberadaannya belum aku sadari pun Engkau ambil kembali. Apakah hambaMu ini tidak berhak untuk bahagia?" gumamnya. Mila mengelus perutnya dan kembali menangis meratapi nasib. 

Nadia yang menyadari kepedihan sang teman, mencoba menyalurkan semangat dan kekuatan dengan mengelus lengan Mila. "Mil, sudah, ya? Jangan nangis terus dan jangan disesali. Kita harus ikhlas dan sabar dengan segala kehendakNya. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya dan yang terbaik buat umatNya. Lu harus kuat dan tabah, Mil. Jangan terus meratapi," hiburnya.

Mila bergeming. Dia masih larut dalam pikiran.

Nadia tak bisa lagi berkata-kata. Dia kembali menoleh dan menatap lurus ke depan, lalu menghela napas. 

Saat ini yang dibutuhkan Mila hanyalah ketenangan. Kata-kata hiburan tak mampu menembus hatinya karena kesedihan yang teramat.

Kini, hanya ada keheningan di antara mereka. Sopir taksi hanya melirik mereka dalam diam melalui spion.

Tanpa terasa taksi sudah sampai di depan rumah Mila. Nadia turun duluan lalu berjalan ke sisi pintu yang satunya untuk membantu Mila turun. Pak sopir dengan sigap membantu mengeluarkan barang-barang mereka dari bagasi. Mobil pun berlalu setelah beres semua.

Mila melangkah menuju rumah dengan dipapah Nadia. Sesampainya dalam rumah, mereka kembali menghela napas secara bersamaan. Rumah dalam keadaan sepi dan tak ada tanda-tanda kalau Dandy pulang. 

"Makasih banyak, ya, Nad. Seandainya nggak ada kamu apa jadinya diriku." Mila berkata seraya duduk berselonjor di atas ranjang.

"It's okey, Jamil. Kita 'kan teman, eh, lebih tepatnya sahabat. Iya 'kan." Nadia menaik turunkan alisnya.

"Lebih dari sahabat. Kau adalah saudaraku, Nadia. Malaikat penolongku." Mila merentangkan tangan.

"Tentu saja, Jamil. Untuk itu, kalo ada apa-apa jangan sungkan untuk bercerita dan meminta tolong." Nadia mendekat lalu memeluk sahabatnya.

Mila mengangguk dalam pelukan. "Insyaallah, Nad. Maaf, ya, jika aku selalu merepotkan."

"Ah, elu, Mil. Kayak ma siapa aja. Jangan sungkan begitu. Kita saudara, kan?"

Mila takbisa berkata-kata, hanya mengangguk sambil berurai air mata. 

"Cup, cup, cup, Jamil ... jangan nangis teruuus. Ntar, makin jelek, lo."

Mila terkikik sambil melepas pelukan. "Idich, berarti aku jelek duonk?" 

"Lah, baru nyadar, ya? Pan dah dari dulu kalo cantikan gue." Nadia memainkan alis, naik turun.

"Iya, iya. Dasar ratu narsis."

"Oh ... ya, jelas. Ini namanya bukan narsis, tapi pede abis. Namanya juga Kim Nad."

Mila terkekeh mendengar pengakuan konyol Nadia, hingga lupa jika perutnya belum pulih. "Aduch, perutku!"

"Tuhkan. Makanya, kalo ketawa kira-kira." Nadia mengelus perlahan samping perut Mila."

"Kamu juga, sih, Nad. Ngelawak mulu." Mila kembali merengkuh Nadia. "Terima kasih banyak, ya, Nad, untuk semuanya. Aku nggak tau gimana membalasnya."

Nadia membelai punggung Mila. "Janganlah lu berpikiran seperti itu. Apa yang gue lakuin tulus dan nggak ada pikiran apa-apa. Yang terpenting sekarang, segera pulihkan kesehatan dan jaga diri baik-baik. Lu jangan mau dibuat begini oleh Dandy. Ku harus bisa melawan, atau setidaknya menjaga diri agar tidak ditindas olehnya."

"Insyaallah, Nad," jawab Mila singkat, akan tetapi dalam hatinya tidak yakin jika dirinya bisa melakukan itu. "Oh iya, Nad, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ayah dan Ibu pasti sangat cemas kalau kamu nggak segera balik."

Nadia merenggangkan pelukan dan sedikit bergeser. "Iya juga, sih, meskipun gue udah izin sebelumnya tapi gue belum ngasih kabar lagi. Lu yakin nggak papa kalo gue tinggal? Atau, gue bisa nginap sini aja setelah menghubungi ortu?"

"Nggak usah, Nad. Insyaallah, aku baik-baik aja dan bisa menjaga diri." Mila berkata dengan mantap, padahal dia tidak begitu yakin. Hanya saja, dia tidak mau membuat sahabatnya resah.

"Yakin, nih?" Nadia kembali memastikan. 

Mila hanya mengangguk sambil tersenyum. 

"Baiklah kalo gitu. Jangan lupa minum obat, semua ada di dalam tas. Ntar kalo mau kontrol hubungi aku, ya? Aku anterin, jangan berangkat sendiri!" Nadia memberi peringatan pada sahabatnya sebelum melenggang ke luar kamar.

"Kunci cadangannya aku taruh di bawah keset ya, Jamil!" seru Nadia sebelum ke luar rumah dan mengunci pintu utama. 

Suasana rumah kembali hening sepeninggalan Nadia. Kawasan rumah kontrakan Mila memang sepi jika sudah petang. Sebagian besar penghuninya berprofesi sebagai penjual di pasar malam yang tempatnya berada lumayan jauh dari komplek perumahan.

Dalam keheningan, Mila mengingat kembali semua sikap buruk Dandy. "Kamu jahat, Mas, jahat! Aku benci kamu, Mas! Kamu harus tanggung jawab atas semua yang menimpaku!" jeritnya seraya memukul-mukul kasur. Dia meluapkan semua amarah yang merongrong hati. Segumpal daging di dadanya terasa sangat perih, bagai disayat-sayat sembilu. 

Sesaat kemudian, Mila memejamkan mata mencoba untuk tidur. Namun, baru saja terbuai di alam mimpi, tiba-tiba suara teriakan sang suami membangunkannya.

To be continue .... 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
miris banget nasib si Mila. punya suami kebangetan gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status