"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya.
"Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila.
Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."
Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.
Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat.
Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah sakit tidak bertanggung jawab lagi."
"Siap, Bu Dokter." Nadia berucap sambil memberi hormat. "Semua resiko ditanggung penumpang," imbuhnya.
Dokter cantik itu tersenyum simpul. "Jangan lupa kontrol, ya?! Dan saya harap, Anda bisa menjaga diri agar segera bisa program hamil lagi," ujar Bu Dokter pada pasiennya.
"Baik, Bu," jawab Mila, lirih, lalu tersenyum.
Dokter itu pun kemudian berlalu menuju ranjang sebelah.
Selepas itu, Nadia mulai berkemas untuk pulang, setelah menyelesaikan administrasi. Sedangkan, Mila memesan taksi online memakai ponselnya yang ada di atas nakas. Nadia sempat membawa benda tersebut saat menolong Mila tadi pagi. Setengah jam kemudian, taksi online itu sudah berada di depan rumah sakit. Mereka pun beranjak meninggalkan rumah sakit.
Senja kali ini tampak suram di mata Mila, tak lagi indah seperti dulu. Matanya menerawang jauh ke luar jendela kaca mobil. Lagi-lagi pikirannya dipenuhi oleh banyak tanya mengenai suaminya.
"Ya Allah, ya Rabb ... mengapa semua ini harus terjadi pada hamba? Bahkan calon bayi yang keberadaannya belum aku sadari pun Engkau ambil kembali. Apakah hambaMu ini tidak berhak untuk bahagia?" gumamnya. Mila mengelus perutnya dan kembali menangis meratapi nasib.
Nadia yang menyadari kepedihan sang teman, mencoba menyalurkan semangat dan kekuatan dengan mengelus lengan Mila. "Mil, sudah, ya? Jangan nangis terus dan jangan disesali. Kita harus ikhlas dan sabar dengan segala kehendakNya. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya dan yang terbaik buat umatNya. Lu harus kuat dan tabah, Mil. Jangan terus meratapi," hiburnya.
Mila bergeming. Dia masih larut dalam pikiran.
Nadia tak bisa lagi berkata-kata. Dia kembali menoleh dan menatap lurus ke depan, lalu menghela napas.
Saat ini yang dibutuhkan Mila hanyalah ketenangan. Kata-kata hiburan tak mampu menembus hatinya karena kesedihan yang teramat.
Kini, hanya ada keheningan di antara mereka. Sopir taksi hanya melirik mereka dalam diam melalui spion.
Tanpa terasa taksi sudah sampai di depan rumah Mila. Nadia turun duluan lalu berjalan ke sisi pintu yang satunya untuk membantu Mila turun. Pak sopir dengan sigap membantu mengeluarkan barang-barang mereka dari bagasi. Mobil pun berlalu setelah beres semua.
Mila melangkah menuju rumah dengan dipapah Nadia. Sesampainya dalam rumah, mereka kembali menghela napas secara bersamaan. Rumah dalam keadaan sepi dan tak ada tanda-tanda kalau Dandy pulang.
"Makasih banyak, ya, Nad. Seandainya nggak ada kamu apa jadinya diriku." Mila berkata seraya duduk berselonjor di atas ranjang.
"It's okey, Jamil. Kita 'kan teman, eh, lebih tepatnya sahabat. Iya 'kan." Nadia menaik turunkan alisnya.
"Lebih dari sahabat. Kau adalah saudaraku, Nadia. Malaikat penolongku." Mila merentangkan tangan.
"Tentu saja, Jamil. Untuk itu, kalo ada apa-apa jangan sungkan untuk bercerita dan meminta tolong." Nadia mendekat lalu memeluk sahabatnya.
Mila mengangguk dalam pelukan. "Insyaallah, Nad. Maaf, ya, jika aku selalu merepotkan."
"Ah, elu, Mil. Kayak ma siapa aja. Jangan sungkan begitu. Kita saudara, kan?"
Mila takbisa berkata-kata, hanya mengangguk sambil berurai air mata.
"Cup, cup, cup, Jamil ... jangan nangis teruuus. Ntar, makin jelek, lo."
Mila terkikik sambil melepas pelukan. "Idich, berarti aku jelek duonk?"
"Lah, baru nyadar, ya? Pan dah dari dulu kalo cantikan gue." Nadia memainkan alis, naik turun.
"Iya, iya. Dasar ratu narsis."
"Oh ... ya, jelas. Ini namanya bukan narsis, tapi pede abis. Namanya juga Kim Nad."
Mila terkekeh mendengar pengakuan konyol Nadia, hingga lupa jika perutnya belum pulih. "Aduch, perutku!"
"Tuhkan. Makanya, kalo ketawa kira-kira." Nadia mengelus perlahan samping perut Mila."
"Kamu juga, sih, Nad. Ngelawak mulu." Mila kembali merengkuh Nadia. "Terima kasih banyak, ya, Nad, untuk semuanya. Aku nggak tau gimana membalasnya."
Nadia membelai punggung Mila. "Janganlah lu berpikiran seperti itu. Apa yang gue lakuin tulus dan nggak ada pikiran apa-apa. Yang terpenting sekarang, segera pulihkan kesehatan dan jaga diri baik-baik. Lu jangan mau dibuat begini oleh Dandy. Ku harus bisa melawan, atau setidaknya menjaga diri agar tidak ditindas olehnya."
"Insyaallah, Nad," jawab Mila singkat, akan tetapi dalam hatinya tidak yakin jika dirinya bisa melakukan itu. "Oh iya, Nad, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ayah dan Ibu pasti sangat cemas kalau kamu nggak segera balik."
Nadia merenggangkan pelukan dan sedikit bergeser. "Iya juga, sih, meskipun gue udah izin sebelumnya tapi gue belum ngasih kabar lagi. Lu yakin nggak papa kalo gue tinggal? Atau, gue bisa nginap sini aja setelah menghubungi ortu?"
"Nggak usah, Nad. Insyaallah, aku baik-baik aja dan bisa menjaga diri." Mila berkata dengan mantap, padahal dia tidak begitu yakin. Hanya saja, dia tidak mau membuat sahabatnya resah.
"Yakin, nih?" Nadia kembali memastikan.
Mila hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah kalo gitu. Jangan lupa minum obat, semua ada di dalam tas. Ntar kalo mau kontrol hubungi aku, ya? Aku anterin, jangan berangkat sendiri!" Nadia memberi peringatan pada sahabatnya sebelum melenggang ke luar kamar.
"Kunci cadangannya aku taruh di bawah keset ya, Jamil!" seru Nadia sebelum ke luar rumah dan mengunci pintu utama.
Suasana rumah kembali hening sepeninggalan Nadia. Kawasan rumah kontrakan Mila memang sepi jika sudah petang. Sebagian besar penghuninya berprofesi sebagai penjual di pasar malam yang tempatnya berada lumayan jauh dari komplek perumahan.
Dalam keheningan, Mila mengingat kembali semua sikap buruk Dandy. "Kamu jahat, Mas, jahat! Aku benci kamu, Mas! Kamu harus tanggung jawab atas semua yang menimpaku!" jeritnya seraya memukul-mukul kasur. Dia meluapkan semua amarah yang merongrong hati. Segumpal daging di dadanya terasa sangat perih, bagai disayat-sayat sembilu.
Sesaat kemudian, Mila memejamkan mata mencoba untuk tidur. Namun, baru saja terbuai di alam mimpi, tiba-tiba suara teriakan sang suami membangunkannya.
.
.
.
To be continue ....
"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy."Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit."Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke bela
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Ketika lelaki beralis tebal itu menoleh ke belakang, dia melihat gadis yang ditunggunya berjalan mendekat, kemudian menyapa dan meminta maaf kepada Dandy karena sudah membuatnya menunggu."Maaf banget, ya, kamu jadi bosan gara-gara menungguku?" Mila kembali minta maaf setelah menurunkan Kelvin dari gendongan dan bocah tampan itu berlari ke kolam pasir. Itu adalah tempat favorit Kelvin."Sudah gue bilang nggak papa, Mila cantik. Itu sih, belum apa-apa. Gue rela kok nglakuin apa aja demi gadis cantik seperti lu. Apalagi ...." Dandy menjeda perkataannya. Dia meraih tangan Mila dan gadis itu langsung menoleh karena kaget. Lelaki berbibir tipis itu menatap lekat kedua mata Mila.Badan Mila bergetar mendapat perlakuan mendadak itu. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya mulai memanas, dan pipi pun memerah. Dia salah tingkah ditatap sendu oleh Dandy, lalu tertunduk memandang tangan yang ada dalam genggaman. "Apalagi ... apa?" tanyanya lirih."Apalagi buat orang yang gue cintai," ucap D
"Apa yang ada di pikiran kamu, Mila Sayaaank? Sampai kaget begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh. Mas cuman mau ciuman lebih dari itu dan lebih mesra lagi, biar berasa. Kalo gitu doank nggak berasa, Mila Cantik ...." Dandy tersenyum simpul."Oh ... trus seperti apa yang Mas mau?" "Harusnya gini dong." Dandy mencium layar ponsel berkali-kali, hingga basah, sambil mengeluarkan kata emuah, emuah, emuah. "Haruskah?" tanya Mila dengan tersipu. Dia geli sendiri membayangkan hal itu. "Harus dong, Mila Sayang. Biar mas bahagia." Dandy mengerling. Mila pun pasrah dan mengikuti kemauan sang kekasih, sesuai arahan. Padahal, dalam hati dia juga senang melakukan itu."Nah, gitu dong. Ini baru pacar Dandy. Kalau gini 'kan aku makin cinta ma Mila Sayang.""Idih, gombal.""Serius, Mila Sayang. Baru kali ini merasa seperti ini. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan hal seperti dengan perempuan lain. Kamulah yang pertama dan satu-satunya. I love you so much, Honey. Muuuah."Mendapat pernyataan itu, M
Dandy mengangguk. "Iya." Dia nyengir kuda."Ya, Allah ... itu 'kan nggak baik. Dosa, Mas, nggak berkah.""Yaaa, mau gimana lagi, itu jalan satu-satunya. Tanpa itu kita nggak bisa masuk kerja di sana tanpa hambatan, apalagi hanya dengan ijazah SMA. Jelas nggak mungkinlah meski kita ajuin lamaran lewat orang penting." Dandy berkata sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.Gadis berhidung bangir itu menghela napas. "Harus, ya, Mas?" Mila masih tidak begitu yakin dengan apa yang didengar."Ya harus, Mila. Wajib. Tanpa itu ya ... nggak bisa.""Kalo gitu, nggak usah aja deh, Mas. Mending–" Dandy menyergah, tak ingin melepaskan kesempatan. "Jangan gitu, Mila. Ini kesempatan langka dan kesempatan emas buat kita. Momen seperti ini jarang sekali ada. Kapan lagi kamu bisa dapat pekerjaan enak dan kita bisa bebas berduaan, jalan-jalan di mana aja. Ayolah, Mila sayang."Mila meremas tangan, hatinya resah memikirkan pilihan yang tepat. Sebenarnya, dia enggan berhubungan dengan hal semacam itu, t
Mila menghentikan langkah seketika lalu berbalik. Dia melihat Dandy bergegas mendekat. "Ada apa, Mas?" tanyanya setelah sang kekasih berdiri tepat di hadapan.Dandy tidak langsung menjawab. Dia mengatur ritme detak jantung yang berdegup kencang. Setelah degupan dirasa stabil, dia memberanikan diri berkata, "Eeehm, anu ... i-itu ... dompet aku ketinggalan." Dandy cengar-cengir kayak kuda nyengir. "Boleh aku pinjam uang?" tanyanya kemudian.Mila yang detak jantungnya tadi bertalu-talu karena menyangka bahwa Dandy akan melakukan hal yang biasa dilakukan sebelum menutup telpon, yaitu memberi kiss, pun terkekeh. Ternyata pemikirannya salah besar.Melihat Mila tertawa geli, Dandy pun menyugar rambut. Dalam hatinya terselip rasa sungkan bercampur jengkel, merasa dirinya diremehkan. Namun, dia telan rasa itu demi meraih misinya. "Oalah, kirain tadi apa ...." Mila merogoh saku celana lalu mengambil beberapa lembar uang warna biru dan menyerahkannya kepada Dandy. "Ini, Mas. Nggak usah minjem.
Gadis berbaju pink dengan rambut tergerai itu ragu untuk melangkah mendekat. Dia bergeming di samping tembok kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari tempat Dandy dan seseorang itu sedang berdiri. Mila mengamati mereka berdua, yang sedang asyik mengobrol di bawah daun rindang pohon beringin dan tidak mengetahui keberadaannya.Dia pindai dari bawah hingga atas sosok yang sedang bersama kekasihnya. Wajah orang itu tampan dan rupawan, tak kalah tampan dengan wajah sang kekasih, mata agak sipit dengan alis tebal simetris, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus dengan potongan curtain cut (kata anak zaman now). Ada tahi lalat kecil di atas bibir yang tidak terlalu tipis itu, membuat wajahnya tak jemu untuk dipandang. Pakaian casual serba hitam yang digunakan oleh lelaki bermata elang itu sangat cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis serta kontras dengan kulitnya yang putih."Mungkinkah ini teman yang dimaksud Mas Dandy kemarin?" batinnya, "kalo dilihat dengan seksama, orang
Lalu, gadis itu mecubit lengannya dengan keras. "Auw!" Seketika orang yang ada di sekitar mereka langsung menoleh karena mendengar pekikan Mila."Kamu, ngapain, sih?!" Dandy menarik tangan Mila agar kembali duduk. Lelaki itu lalu menoleh ke kiri kanan sambil berkata, "Lihat! Semua orang pada ngeliatin kita. Mereka kira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Bisa-bisa aku dipukuli massa di sini.""Maaaf. Habisnya, Mas, becandanya nggak lucu, sih. Jadinya, ya ... aku kira mimpi." Mila pun cengar-cengir mengingat tingkahnya.Dandy menggenggam tangan Mila lalu menatap lekat mata sang kekasih. "Aku serius, Mila. Aku ingin kita segera menikah. Secepatnya!" tegasnya."Secepatnya?" tanya Mila tak percaya. Meskipun begitu, binar matanya memancarkan rasa bahagia.Pasalnya, itu adalah impian Mila, untuk bisa bersanding dengan Dandy, sejak lelaki itu mengatakan ingin berakhir di pelaminan bulan lalu, ketika Mila memberikan uang pelicin. Namun, gadis itu tidak menyangka sama sekali bahwa sang kekasih akan m