Share

Chapter 02

Anggita berjongkok di depan sebuah gundukan tanah merah yang ditaburi bunga-bunga. Dia mengusap lembut batu nisan yang bertuliskan nama suaminya. Sesak rasa hati, tak percaya akan semua yang telah terjadi.

Sendu iris mata itu menatap batu nisan seolah ia sedang menatap wajah suaminya. Lalu sebulir cairan bening menetes ke luar dari matanya.

Dia menghela napas panjang yang terasa menyesakkan. Diusapnya jejak air mata yang sudah membasahi pipi. Dia menggigit bibir bawahnya agar tangis itu tidak semakin keras.

"Bahkan aku masih belum percaya kamu pergi secepat ini, Mas. Aku menyesali kenapa waktu itu aku tidak mencegahmu pergi. Andai kamu menunda keberangkatanmu, kamu tidak akan naik pesawat dan kamu akan selamat," gumamnya lirih.

Beberapa hari yang lalu, Devan meminta izin kepada Anggita untuk pergi ke luar negeri karena ada pekerjaan mendesak yang harus dia selesaikan dengan cepat. Anggita merasa keberatan dengan rencana Devan. Dia merasa takut ditinggalkan sendiri di rumah bersama orang-orang yang sama sekali tidak menganggapnya ada.

Tapi berulangkali Devan meyakinkan Anggi bahwa dia hanya pergi sekitar dua hari saja. Dia harus menemui rekan bisnisnya di luar negeri dan mendapatkan kontrak kerja sama yang menguntungkan untuk perusahaannya.

"Sayang, Mas hanya pergi dua hari saja. Mas janji akan segera pulang setelah pekerjaan Mas selesai. Kamu tahu sendiri kan, Mas gak bisa lama-lama jauh dari kamu," ucap Devan sambil menekan kedua bahu Anggita pelan.

Meski ragu Anggita akhirnya mengizinkan Devan pergi. Dia tak menyangka hari itu adalah terakhir kalinya dia melihat Devan. Juga terakhir kali mendengar suaranya yang selalu membisikkan kata-kata cinta.

"Tunggulah di sini. Mas akan segera kembali. Karena sejauh apapun Mas pergi, kamulah rumah yang akan menjadi tujuan untuk pulang."

Devan memeluk erat tubuh Anggita. Membelai rambut istrinya itu dengan lembut, kemudian mendaratkan kecupan cukup lama pada dahi Anggita.

Pelukan itu adalah pelukan terakhir yang Anggita rasakan. Dia bahkan masih bisa merasakan kecupan bibir Devan di dahinya serta wangi parfum yang selalu Devan pakai.

"Mas Devan bilang, aku adalah rumah yang akan menjadi tujuan Mas untuk pulang. Tapi kenapa Mas gak kembali?" lirih Anggita berucap dalam tangisnya.

Sesak, sungguh sangat menyesakkan. Satu-satunya orang yang sangat berarti dalam hidupnya pergi untuk selama-lama nya.

Anggita mengingat akan perlakuan keluarga Devan yang tak pernah bersikap baik padanya. Juga teringat akan kata-kata dari sang mertua.

"Saya menerimamu di rumah ini karena putra saya. Dan sekarang Devan sudah tidak ada. Jadi, saya ingin kamu segera pergi meninggalkan rumah kami. Saya akan mengubah akta keluarga dan akan membenaskanmu dari akta itu."

Anggita memejamkan matanya hingga cairan bening yang menggenang di pelupuk mata itu luruh.

"Mengapa Mas Devan memberikan saham Mas sama aku? Mas tahu, keluargamu akan semakin membenciku dan menganggap aku seperti wanita yang selama ini mereka pikirkan," gumam Anggita.

Dia masih mengusap batu nisan itu seperti tengah mengusap lembut wajah Devan.

"Apa Mas sangat memercayai ku untuk mengelola perusahaan? Aku akan melakukannya untuk Mas. Aku akan bekerja sebaik mungkin agar kerja keras Mas Devan selama ini tidak sia-sia."

Anggita menghela napas panjang. Dia kembali mengusap jejak air matanya.

"Sudah sore. Aku mau pulang dulu. Aku janji akan sering berkunjung ke sini untuk menemui Mas," ucapnya sambil mengulas senyum tipis.

Anggita beranjak dan pergi dari area pemakaman. Bersamaan dengan kepergiannya seorang laki-laki bersama gadis kecil baru saja datang untuk berkunjung menemui makan seseorang. Anggita tak sengaja menabrak tubuh gadis kecil itu hingga hampir terjatuh.

"Akh ... sakit," gumam gadis kecil itu.

Anggita berbalik kemudian menunduk melihat gadis kecil itu untuk meminta maaf.

"Hei, kalau jalan itu lihat-lihat," gerutu seorang laki-laki seusiaan dengan Devan itu kepada Anggita.

"Kamu gak apa-apa, Sayang?" tanyanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh gadis kecil itu.

"Maaf, saya tidak sengaja," ucap Anggita bersungguh-sungguh.

Dia menunduk melihat wajah gadis kecil yang diperkirakan berusian sekitar lima tahunan. "Apa kamu baik-baik saja? Bibi benar-benar tidak sengaja menabrakmu," ujar Anggita dengan suara parau karena habis menangis.

Gadis itu bergeming sambil memerhatikan wajah Anggita selama beberapa detik. Kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Aku gak apa-apa, Bibi," jawabnya menggemaskan. "Kau sangat cantik seperti mamaku."

Laki-laki yang bersama gadis kecil itu langsung menarik tubuh mungilnya. Memperingatkan agar dia tidak bicara yang tidak-tidak kepada orang asing.

Anggita tersenyum tipis. "Sekali lagi, saya minta maaf," ucapnya sambil menunduk hormat.

Setelah itu Anggita pergi tanpa meminta izin dan menunggu sahutan dari dua orang asing yang baru saja ditemuinya itu.

"Pa, Bibi itu cantik mirip sama Mama. Iya, kan?" ucap gadis kecil itu kepada papanya.

"Ish, anak ini. Dari mana kamu tahu mamamu mirip dengannya?" tanyanya sambil menatap wajah gadis kecil itu seraya mengernyitkan alisnya.

"Dari foto di dalam sini," sahut gadis itu sambil memberikan kalung liontin yang dipegangnya.

"Dia sama sekali tidak mirip dengan mamamu. Mamamu itu lebih cantik," ujar laki-laki itu meyakinkan.

"Benarkah?"

"Tentu saja benar. Walaupun Bibi itu mirip dengan mamamu, tapi Papa tidak akan tertarik padanya. Kau mengerti?"

Gadis itu tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. Setelah itu mereka melanjutkan niatnya untuk berziarah ke makam istri dari laki-laki tadi.

"Sayang, aku datang. Maaf aku baru bisa mengunjungimu sekarang," ucapnya di depan gundukan tanah merah istrinya.

"Aku datang bersama putri kita. Dia sudah besar sekarang. Dia juga cantik sama sepertimu," sambungnya lagi sambil mengulas senyum tipis memandang wajah putrinya kemudian kembali menatap batu nisan sang istri.

Gadis kecil itu mendekat. Dia menarik tangan papanya. "Pa, aku juga mau bicara sama Mama. Papa ke sana dulu jangan menguping pembicaraan kami," ucapnya sambil mendorong tubuh kekar sang papa agar menjauh dari tempatnya.

"Hei, kenapa Papa tidak boleh mendengar obrolan kalian? Papa juga ingin mengetahuinya," ucap laki-laki itu kepada putrinya.

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya. "Enggak, ini rahasia perempuan. Papa laki-laki gak boleh dengar. Sudah sana Papa tunggu di sana dan tutup telinga Papa jangan menguping," titahnya kepada sang papa.

Laki-laki berkulit putih itu menggelengkan pelan kepalanya. Dia memundur mengikuti perintah putrinya.

Gadis kecil itu melihat ke arah laki-laki dewasa yang sedang menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Kemudian dia melihat batu nisan yang bertuliskan nama sang mama.

"Ma, Bia datang menjenguk Mama. Bia sudah besar sekarang. Bia sudah bisa mandi sendiri dan makan tanpa harus disuapin lagi."

Gadis kecil yang memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Bia itu melirik kembali ke arah papanya. Memastikan laki-laki dewasa itu tidak menguping pembicaraannya.

"Ma, Bia heran kenapa dulu Mama memilih Papa menjadi suami Mama? Lihatlah, bahkan Papa tidak terlalu tampan. Papa juga sangat cerewet sekali sama Bia. Bia enggak suka sama Papa," ujarnya berbicara dengan batu nisan seolah itu adalah mamanya.

Kedua bola mata lelaki itu mendelik mendengar perkataan putrinya itu. Gadis kecilnya itu memang sangat pintar bercerita.

"Cih, dasar anak nakal. Bisa-bisanya dia menjelek-jelekan papanya sendiri seperti itu," gerutunya menggumam pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status