Share

Chapter 03

'Halo, apa benar ini kontak Nona Anggita?'

"Ya, saya sendiri. Maaf saya bicara dengan siapa ini?"

Ketika hendak pulang dari pemakaman, ponselnya berdering menerima sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Tanpa pikir panjang dia langsung menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan telepon tersebut.

'Saya dari rumah sakit, ingin memberitahu Nona pasien bernama Ibu Dewi ingin bertemu dengan anda sekarang. Kondisinya sudah sangat tidak baik,'

"Saya akan segera ke sana sekarang."

Anggita langsung mematikan ponselnya secara sepihak. Dia mengurungkan niatnya untuk pulang. Anggita akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menemui wanita yang sudah mengurusnya selama ia tinggal di panti asuhan.

Ya, Anggita adalah seorang yatim piatu sejak kecil dan tinggal di panti asuhan. Mungkin karena alasan itulah yang membuat keluarga Devan tidak menyukainya. Terlebih mereka menganggap sikap Devan berubah menjadi pembangkang setelah menikah dengannya.

Setelah melelui perjalanan selama kurang lebih sekitar tiga puluh menit Anggita tiba di rumah sakit. Dia langsung bergegas masuk untuk menemui resepsionis untuk menanyakan Ibu Dewi.

"Maaf, tapi Ibu Dewi baru saja meninggal dunia," ujar petugas resepsionis itu kepada Anggita.

Seketika seluruh tubuhnya melemas mendengar kabar duka itu. "Ibu Dewi sangat ingin sekali bertemu dengan Nona. Katanya ada banyak yang ingin beliau sampaikan. Tapi sayangnya, Tuhan lebih dulu memanggilnya sebelum beliau bertemu dengan Nona," jelas petugas resepsionis itu kembali.

Dia menghela napas panjang, kemudian memejamkan matanya selama beberapa detik. Kabar duka itu begitu bertubi-tubi ia dapatkan, dan itu sangat menyesakkan hatinya. Anggita memijit pelan pangkal hidungnya yang mendadak berdenyut sakit.

Sejak dari kemarin dia tiodak melakukan istirahat dengan benar. Anggita berpamitan untuk pergi setelah berbincang dengan suster yang menjaga Ibu Dewi selama beliau dirawat di rumah sakit itu.

Anggita melenggangkan langkah gontai ke luar dari rumah sakit. Tanpa dia sadari laki-laki yang tadi ditemui di pemakaman baru saja masuk ke rumah sakit saling berpapasn tapi tidak saling menyadari.

"Saya ingin bertemu dengan Ibu Dewi. Menurut kabar yang saya dengar, dia sedang dirawat di rumah sakit ini," ucap laki-laki itu kepada salah satu suster yang ada di sana.

"Maaf, kalau boleh saya tahu, anda ini siapanya Ibu Dewi?" tanya suster itu menyelidik.

"Saya Mahesa. Dulu saya anak didik Ibu Dewi. Sudah lama sekali saya tidak bertemu beliau dan sekarang saya ingin menemuinya," jelas laki-laki yang menyebutkan dirinya bernama Mahesa.

Suster itu mengangguk paham. "Ibu Dewi baru saja meninggal dunia, dan sekarang sudah dibawa oleh keluarganya."

Mahesa terkejut mendengar berita duka itu. Dia tertunduk sendu. Ya, namanya Mahesa Sadewa. Dia seorang duda beranak satu juga pemilik sebuah toko roti ternama di ibu kota. Mahesa berpamitan untuk pergi setelah mendengar informasi terkait orang yang ingin ia temui.

***

Anggita berdiri terpaku di pantai melihat ombak yang silih berganti menghantam karang di lautan. Matahari mulai tenggelam memerlihatkan pemandangan langit berwarna jingga.

Dia berkali-kali menghela napas panjangnya yang sangat menyesakkan. Anggita melihat cincin yang melingkar di jari manisnya, kemudian melepaskan benda itu dari jarinya. Menatap lamat dan sendu satu-satunya peninggalan Devan yang ia miliki.

"Hanya cincin ini yang aku miliki. Satu-satunya benda yang kamu tinggalkan untukku," gumamnya sendu.

Anggita kembali menghela napas dan menghembuskannya perlahan melalui mulut. "Aku merasa hidup ini akan sulit tanpa kehadiran kamu, Mas Devan."

Dia menangis sambil menggenggam erat cincin itu dengan kedua tangan yang ia benamkan di bibirnya cukup lama. Anggita membenamkan kedua mata merasakan seolah Devannya ada di sana. Ada di hadapannya sedang tersenyum.

Tangis itu pecah ketika tersadar yang terlihat hanyalah bayangannya saja. Lalu tanpa disengaja, Anggita menjatuhkan cincinnya tepat saat ombak itu datang menerpa kakinya.

"Ah, tidak. Cincinnya, di mana cincin itu?"

Anggita mengikuti air ombak yang menggulung kembali ke lautan demi mencari cincin yang terjatuh. Dia menangis kebingungan ingin cincinnya kembali. "Tuhan, hanya cincin itu yang kumiliki dari Mas Devan. Jangan biarkan cincin itu hilang," gumamnya lirih.

Dia tidak menyadari sudah berada jauh dari pantai. Anggita tak memedulikan keadaannya, karena yang terlintas dalam otaknya adalah ia harus menemukan cincin itu.

Tak jauh dari tempat Anggita berada, seoarang laki-laki yang juga sedang mencoba menenangkan diri atas permasalahan-permasalahan yang sedang ia hadapi. Kedua bola mata lelaki itu membulat sempurna ketika melihat tubuh Anggita hampir tenggelam di lautan.

"Haisss, orang itu. Kenapa dia akan melakukan bunuh diri di hadapanku?" gerutunya kesal.

Dia tidak ingin membantu, tidak ingin terlibat dengan Anggita yang ia anggap akan melakukan bunuh diri. Tapi naluri rasa kemanusiaannya mendorong laki-laki itu untuk membantu Anggita.

Dia berlari menghampiri Anggita yang masih tidak sadar tubuhnya akan benar-benar tenggelam. "Hei, tunggu. Jangan melakukan bunuh diri di sana. Kemarilah! Kau bisa mati tenggelam!"

Anggita tidak mendengar teriakan itu. Ah, lebih tepatnya tidak peduli. Dia terus mencari cincin yang sudah jelas menghilang dan takkan pernah ia temukan lagi.

"Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau kau mati tenggelam?!" sungut Mahesa geram. Dia memeluk tubuh Anggita dari belakan, memebawanya menuju ke pantai.

Anggita meronta agar Mahesa melepaskannya. Ia hendak kembali ke tengah lautan tapi, lelaki itu mencegah dengan menarik tangannya dengan kuat.

"Lepaskan aku! Kau membuatku kehilangan benda yang sangat berarti dalam hidupku!" gerutu Anggita berusaha melepaskan cekalan tangan Mahesa.

"Lepaskan! Aku akan kembali mencari cincin itu di sana," ucap Anggita lirih. Matanya sudah sembab akibat menangis.

Mahesa menghempaskan tangan kurus Anggita kasar. "Seperti itu kah caramu berterima kasih kepada orang yang ingin menolongmu? Kau akan mengorbankan nyawamu hanya demi sebuah cincin? Dan kau menyalahkanku bukannya mengucapkan terima kasih?"

Mahesa merasa geram dengan tindakan Anggita yang bodoh itu. Dia menatap lamat dan tajam wajah Anggita dan baru menyadari bahwa dia adalah wanita yang ditemuinya di pemakaman siang tadi.

"Kau-"

"Aku tidak pernah memintamu untuk menolongku. Jadi jangan harap aku akan mengucapkan terima kasih padamu!" gerutu Anggita ketus.

Dia hendak kembali untuk mencari cincinya tetapi urung setelah mendengar perkataan Mahesa.

"Silahkan pergi cari cincinmu itu. Kau tidak akan pernah menemukannya bahkan walau nyawamu ikut tenggelam di sana. Apa seperti itu yang kamu inginkan?!" teriak Mahesa.

"Kau hanya kehilangan cincinnya, bukan kenangannya!" ujar Mahesa lagi.

Anggita menghela napas panjang. Dia mengepalkan kedua tangannya erat, kemudian membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Mahesa. Tajam iris berwarna hitam itu menatap wajah laki-laki yang tidak ia kenali tapi malah ikut campur urusannya.

Anggita berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya dan ia pun sempat menabrakkan tubuhnya dengan bahu Mahesa cukup keras. Dia pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Tak menghiraukan teriakan Mahesa yang terus menuntut ingin mendengar ucapan terima kasih darinya.

"Dasar wanita aneh! Ditolong malah marah-marah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status