Share

Nikmatilah Masa Hukumanmu

Anggita tertunduk lemas ketika ia menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana di perusahaan Radeya yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Wanita berambut kecokelatan itu berjalan diapit oleh dua petugas kepolisian hendak dimasukan ke dalam sel tahanan.

"Dasar wanita rubah! Beraninya kau berniat mencuri uang dari kami. Sedari awal aku memang sudah menaruh curiga, dan ternyata memang benar kau itu seorang wanita matre dan tidak tahu malu!"

Aluna yang sedari tadi sudah menunggu untuk bertemu Anggita langsung mencercanya dengan hinaan. Ia semakin membenarkan prasangka yang selama ini tertanam di hatinya.

Sendu iris mata berwarna hazel itu menatap wajah Aluna sekilas. Lalu dia menundukan pandangannya. Dia tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya akan musibah yang menimpa dirinya.

Petugas langsung membawa Anggita menuju ke ruang tahanan. Mereka tak memedulikan Aluna yang terus berteriak melontarkan kata-kata kasar dan tidak pantas kepada Anggita.

Ragu wanita itu melangkah masuk. Dia melihat empat tahanan yang akan menjadi teman satu ruangan dengannya. Hanya sekilas saja, karena beberapa detik kemudian pandangan Anggita tertunduk.

"Kalian memiliki teman baru. Hiduplah dengan tenang dan rukun, jangan buat keributan!" titah salah satu petugas yang membawa Anggita ke dalam sel.

Keempat wanita berbeda usia yang belum diketahui namanya itu, menatap wajah Anggita dengan tatapan yang tak terbaca. Antara sinis, bingung, dan tak peduli.

"Permisi, saya Anggita. Saya akan tinggal bersama kalian," ujar Anggita lirih.

Ada rasa perih mengiris hatinya kala ia mengingat ucapannya sendiri baru saja. Mengapa dia harus tinggal di tempat itu bersama mereka pelaku kriminal, sedang ia sama sekali tidak melakukan kejahatan apapun.

Tak ada yang merespons perkenalan Anggita. Semuanya bersikap tak acuh dan kembali disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Entah, Anggita pun tak memedulikannya.

Anggita duduk teenung sendiri di pojokan. Dia menekuk kedua lututnya dan membenankan wajahnya di sana. Tak adakah yang mau membantunya terbebas dari fitnah?

"Sudahlah, gak perlu menangis. Gak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi," ujar salah satu dari empat tahanan itu membuka suara.

Merasa risih melihat Anggita yang sedang menangis dalam diam. Ah, dia pun dan semua yang ada di sana, mungkin pada awalnya akan bersikap sama dengan Anggita. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai berdamai dengan keadaan di bawah tekanan hotel predeo.

"Ternyata rupa gak bisa menjadi jaminan seseorang itu baik," ujarnya lagi kepada Anggita. "Kau seperti wanita yang lugu, tapi ternyata perbuatanmu tak selugu parasmu. Kau melakukan kejahatan apa hingga membawamu berada di tempat ini?"

Anggita mengangkat kepalanya. Iris berwarna hazel itu menatap sendu kepada wanita yang sedang mengajaknya berbicara. Kemudian dia menggelengkan pelan kepalanya.

"Saya bukan penjahat. Saya tidak melakukan kejahatan apapun!" tegas Anggi dengan suara lirih.

Wanita tadi menyunggingkan senyum sinis. Kedua bola matanya memutar, malas. "Kalau kau tidak melakukan kejahatan, tidak mungkin sekarang kau ada di sini," ujarnya mengejek.

"Saya bukan penjahat. Bukan!" tegas Anggita membantah tuduhan itu.

"Seseorang memfitnah saya atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan," sambungnya lagi lirih.

Cairan bening itu lolos dari kedua bola matanya. Anggita kembali membenamkan wajahnya pada lipatan kaki yang ditekuk. Terisak menangisi nasib buruknya.

Sementara keempat wanita yang ada di sana sesaat saling beradu pandang satu sama lain. Kemudian mereka kembali bersikap seolah tak peduli.

"Tahanan nomor 2889, ada seseorang yang ingin bertemu," ucap petugas dari luar sel.

Menyadari nomor yang disebutkan petugas adalah nomor tahanan miliknya. Anggita pun beranjak dan langsung menghampiri. Besar harapannya seseorang akan membantu ke luar dari hotel predeo ini.

Hening. Belum ada yang memulai percakapan. Arumi memerhatikan wajah sendu Anggita selama beberapa saat, kemudian dia menghela napasnya.

"Saya tahu kamu tidak melakukannya," ucap Arumi membuka pembicaraan.

Anggita mengangkat kepalanya menatap wanita paruh baya yang duduk di hadapannya hanya terhalang meja dan kaca. Mereka berbicara melalui sambungan telepon yang tersedia di sana.

"Benarkah? Lalu, apa Anda akan membantu saya terbebas dari fitnah ini?" tanya Anggita antusias.

Dia sangat berharap Arumi akan membantunya bebas dari tuduhan. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang sebelum menyahuti perkataan Anggita.

"Maaf, tapi saya tidak bisa membantumu."

Kedua bola mata Anggita membulat, beberapa detik kemudian dia mengerjap sekali. "Ke-kenapa tidak bisa?" tanyanya lirih dengan suara tercekat di kerongkongan.

Arumi kembali menghela napasnya. Dia memiliki tujuan dan harus segera mencapai tujuan itu. Dia ingin membantu Anggita. Namun jika ia melakukannya, maka perjuangannya selama 23 tahun akan berakhir sia-sia.

Anggita kembali ke dalam sel dengan wajah yang semakin murung. Sedikit harapannya untuk bisa lepas dari masalahnya saat ini surut. Perkataan Arumi terngiang di telinganya.

"Saya tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari suami saya. Maafkan saya, Anggi. Saya tidak bisa berbuat banyak untukmu, meski saya mengetahui kebenarannya."

Sesak. Anggita kembali menangisi nasib buruknya. Ditinggal pergi suami tercinta kemudian difitnah hingga mendekam di dalam sel tahanan bersama pelaku kejahatan lainnya.

'Mas Devan, kenapa ini semua harus terjadi padaku? Aku takut berada di sini, aku ingin ke luar dari sini, Mas.'

***

Gontai kaki itu melangkah mengikuti petugas yang akan mempertemukannya dengan seseorang yang ingin bertemu dengannya. Wajah wanita berambut kecokelatan itu sembab dengan lingkar hitam di bawah matanya. Dia menghabiskan malam pertama di dalam sel dengan menangis.

Seorang laki-laki paruh baya sedang menunggunya di ruangan khusus. Dia duduk tenang tanpa merasa bersalah ataupun iba. Menatap datar wajah Anggita dengan sorot tak terbaca.

"Bagaimana rasanya bermalam di sini?"

Sebelah sudut bibir tua itu terangkat ke atas membentuk senyum sinis. Tajam tatapannya melihat wajah menyedihkan dari mantan menantunya. Ah, tidak. Dia sama sekali tidak pernah mengakui wanita itu sebagai istri dari putra kesayangannya.

"Pa, tolong bebaskan aku dari sini. Papa pasti tahu kebenarannya. Aku selalu bekerja dengan jujur selama ini," ucap Anggi penuh harap.

Dia memilih tidak menjawab pertanyaan Radeya. Karena tanpa ia jawab pun, laki-laki paruh baya itu pasti sudah tahu jawabannya. Tak ada kenyamanan, tak ada rasa aman, yang ada hanya suasana menakutkan.

"Papa?" tanyanya penuh penekanan. Dia tidak suka Anggita memanggilnya seperti itu.

"Saya bukan papamu. Jadi jangan pernah memanggilku seperti itu!" tegasnya tak terbantahkan.

Anggita menggigit bibir bawahnya. Dia meremas ujung pakaian yang dikenakannya. Kedua bola mata hazel itu berkilat seperti kaca.

"Tolong bebaskan saya dari sini, Pak!" Anggita memohon dengan sangat.

"Saya tidak bersalah. Saya tidak pernah menggelapkan uang perusahaan," sambungnya lagi. Lirih dan penuh harap.

Radeya terkekeh pelan. Dia menggelengkan pelan kepalanya. "Nikmatilah hukumanmu. Sudah untung saya tidak menuntutmu untuk membayar denda. Kau hanya akan mendekam di tempat ini selama beberapa tahun saja," ujarnya.

Anggita mengerjapkan matanya. Dia masih berusaha mencerna perkataan laki-laki paruh baya di hadapannya. Mungkinkah dia sengaja melakukan semua kepadanya?

Radeya beranjak dari tempat duduknya. Dia membenarkan letak jas yang dikenakannya. "Itulah akibat kau berani mengusik ketentraman hidupku. Kau sudah merebut Devan dan kau berani mengambil semua yang dimilikinya dariku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status