"Diam lah! Kenapa kau seperti anak kecil?! Sedari tadi kau tak berhenti menangis. Suaramu itu sungguh berisik sekali!"
Anggita yang sedang terisak sendirian di pojok ruangan berukuran sempit itu mendongak melihat wajah teman barunya sekilas. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya, bertopang pada kedua lututnya yang ditekuk.
Dia tak menghiraukan perkataan wanita yang perkiraan seusia dengannya. Anggita melanjutkan tangisnya, melepaskan rasa sesak dan sakit atas penderitaan yang dialaminya.
Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ya, seperti itulah posisi yang sedang Anggita jalani. Sudah sakit atas kehilangan sang suami secara tiba-tiba. Kini ia juga harus mendekam di dalam jeruji besi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
Ingin marah, ingin melampiaskan segenap perasaan sesak dan sakit dalam dada. Tapi ia tak memiliki cukup keberanian untuk melawan. Dia bukanlah siapa-siapa untuk bisa melawan seorang Radeya.
"Ck, kau bisa diam tidak?! Aku gak bisa tidur mendengar suara tangismu itu. Dasar cengeng!" Nelda menggerutu kesal karena tidurnya terusik dengan suara tangis Anggita. Wanita pemilik nomor tahanan 2476 itu beranjak duduk lalu menatap wajah Anggita tajam dan galak.
"Maaf." Anggita berucap lirih. Dia menghapus air mata dan juga ingusnya dengan napas yang masih sesenggukan akibat menangis.
Hal itu membuat Nelda mendecakkan lidah merasa geram sekaligus kesal tapi juga kasihan melihat kondisi Anggita yang seperti itu mengingatkan pada dirinya sendiri saat pertama kali masuk jeruji besi.
"Sudahlah, Nelda, jangan marahi dia. Kau juga menangis seperti itu bahkan lebih berisik dari dia saat pertama kali datang ke sini," ujar wanita paruh baya bernomor tahanan 1982 kepada Nelda.
"Ckk, sial! Kenapa dia membuka rahasiaku?!" gerutu Nelda pelan. "Apa? Aku tak secengeng dia yang terus saja menangis seharian." Nelda berucap ketus menyangkal perkataan Laras wanita paruh baya yang sudah seperti ibunya sendiri selama dia di dalam hotel pradeo itu.
Laras terkekeh pelan. Kemudian dia beranjak mendekati Anggita yang masih terduduk sambil memeluk lututnya yang ditekuk.
"Siapa namamu?" tanya Laras kepada Anggita.
Memang mereka sudah tinggal bersama selama sehari. Tapi belum sempat berkenalan karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Anggita mendongak melihat ke arah Laras, sendu.
"Anggita. Namaku Anggita," ujarnya lirih.
Laras tersenyum lembut. "Kesalahan apa yang membuatmu berada di sini?" tanyanya.
Anggita kembali menangis. Dia memang wanita yang lemah dan cengeng. Selama ini dia bergantung kepada Devan, suaminya. Tapi sekarang suaminya itu sudah tidak ada lagi. Dia tidak punya lagi tempat untuk mengeluh dan bersandar apa lagi bermanja.
Nelda mendecak geram mendengar suara tangis Anggita yang malah semakin pecah sangat mengganggu pendengarannya.
"Hei, kecilkan suaramu itu! Kau mau petugas datang ke sini dan mengira kami sudah menganiayamu?!" tegur Nelda ketus dan galak.
Anggita mengecilkan suaranya karena takut dengan Nelda. Dia juga langsung meminta maaf kepada wanita itu. Sementara Laras melirik Nelda memperingatkan wanita itu agar tidak terlalu keras kepada teman barunya.
Setelah suasananya sudah lebih tenang, Laras dan Nelda mendengarkan Anggita bercerita tentang semua yang sudah terjadi kepadanya. Mulai dari suaminya yang meninggal, keputusan mertuanya menjadikan CEO, serta fitnah yang berujung membawanya ke dalam hotel pradeo.
Laras menghela napas panjang setelah mendengarkan cerita Anggita. Wanita paruh baya itu mengusap pundak Anggita lembut sebagai isyarat menyalurkan kekuatan untuk Anggita.
"Kasihan sekali hidupmu," ujar Nelda sambil menggeleng-gelengkan pelan kepalanya. Dia menatap iba wajah Anggita.
"Kalau begitu kau harus berubah mulai sekarang. Jangan lemah dan cengeng! Tunjukan pada keluarga mantan suamimu itu kalau kau bukan wanita yang lemah seperti kemarin, terutama kepada mantan mertuamu yang kejam itu. Kalau perlu, kau atur siasat untuk membalas dendam," ujar Nelda kepada Anggita.
Wanita itu berucap dengan nada menggebu-gebu menyemangati Anggita untuk berubah mulai dari sekarang. Laras yang mendengar perkataan Nelda langsung menepuk bahu wanita itu. Dia tak setuju dengan kalimat terakhir yang diucapkan Nelda.
Anggita memang harus berubah dan menata kembali hidupnya agar menjadi lebih baik lagi. Tapi Laras tidak setuju jika wanita itu harus membalas dendam. Sebesar apapun kebenciannya, membalas dendam kepada orang yang sudah berlaku jahat pada kita bukanlah hal yang dibenarkan.
"Kenapa kau malah mengajarinya yang tidak baik?" Laras menegur Nelda sambil memelototkan matanya.
Nelda menyeringai polos tak merasa berdosa atas perkataannya. Sementara Anggita dalam hati membenarkan saran yang diucapkan Nelda kepadanya. Dia harus berubah dan harus membalas dendam kepada Radeya.
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m