Share

Teman Lama

“Dok, waktunya visit,” Arunika yang sedang menatap layar ponselnya langsung menatap Gina, asistennya.

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, Arunika segera memasukkan ponselnya ke dalam jas yang ia gunakan. Mengambil beberapa susu kotak yang biasa dia simpan untuk pasien kecilnya sebelum keluar dari ruangan. Gina mengekori dokter spesialis anak itu menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang anak.

Seperti kebanyakan rumah sakit, ruangan anak-anak adalah ruang yang paling ramai. Tentu saja, tangisan anak-anak lebih mendominasi di ruangan tersebut. Sampai di ruang Anggrek, suara tangis menyambutnya. Arunika tersenyum. Melirik ke arah papan nama yang terpasang di bagian depan ranjang, lalu menghampiri pasien yang tengah menangis.

“Halo anak pintar, kenapa menangis?” sapa Arunika lembut pada pasien yang tengah di gendong Ibunya.

“Minta pulang, Dok,”

“Intan,” Gina membisikkan pada Arunika nama pasien itu.

“Intan, kalau mau pulang, Intan harus sembuh dulu ya, sayang. Intan harus kuat dulu. Yuk Dokter lihat dulu, nanti dokter kasih hadiah.”

Arunika menunjukkan susu kotak yang tadi ia bawa dari ruang praktiknya kepada Intan, membuat gadis kecil itu berhenti menangis.

“Dokter! Aku mau juga.”

Arunika menatap Samuel, lalu tersenyum. Anak itu sudah di rawat 2 Minggu karena leukositnya yang tinggi.

“Boleh, tapi bergantian, ya. Nanti dokter datangi kalian satu-satu. Oke?”

Anak-anak mengangguk. Ada sekitar 4 anak yang di rawat di ruang ini dengan beberapa macam penyakit yang dia derita.

“Intan, Dokter periksa dulu, ya?!” Gadis berusia sekitar 5 tahunan itu mengangguk malu-malu.

“Wah bagus sekali, hari ini Intan makan banyak, ya? Semoga besok sudah bisa pulang dan bisa main lagi sama teman-teman di rumah. Ini hadiahnya buat Intan karena sudah pandai hari ini.” Arunika menyerahkan satu kotak susu untuk Intan dan di sambut riang oleh gadis itu.

“Bilang apa sama Bu dokter?” ibu intan bertanya pada gadis itu.

“Terima kasih, Dokter cantik.”

Arunika dan Gina tersenyum melihat tingkah anak itu, lalu mereka beralih lagi ke pasien berikutnya. Ada Samuel yang berusia 7 tahun, Fara berusia 3 tahun dan satu orang balita bernama Baim. Arunika merasa senang ketika berinteraksi dengan anak-anak. Itulah yang membuatnya mengambil spesialis anak.

“Setelah ini apa lagi, Gin?” Tanya Arunika setelah jam visitnya selesai.

“Setelah jam istirahat ada pertemuan dengan pasien, Dok.”

Arunika mengangguk, “bagaimana kalau kita makan dulu? Saya lapar, mumpung belum azan.”

“Siap, Dok! Mau saya pesankan sekalian?”

“Tidak perlu! Saya ingin makan di kantin.”

Gina mengikuti Arunika yang berjalan lebih dulu. Arunika tersenyum ketika beberapa perawat menyapanya.

Kantin terlihat lenggang. Arunika memesan beberapa makanan untuk makan siangnya, begitu pula Gina. Mereka duduk di bangku panjang yang tersedia disana sembari menunggu pesanan mereka datang.

“Berapa pasien lagi kira-kira, Gin?” tanya Arunika membuka obrolan.

“Tadi sih, masih ada sekitar 5 lagi, Dok.”

Arunika mengangguk. “Ada visit ke ruang bayi juga nanti, Dok.”

“Ibumu sudah sehat, Gin?”

“Alhamdulillah, Dok. Berkat bantuan dokter kemarin, Ibu saya sudah mendapat pengobatan yang lebih baik. Sekarang tinggal rawat jalan saja.”

Ibu Gina sakit kanker payudara. Memang belum begitu parah, namun jika terlambat akan berakibat fatal. Awalnya Bu Yanti, yang merupakan ibu Gina menolak berobat dikarenakan tidak mempunyai BPJS. Biaya berobat sangat tinggi membuat wanita itu enggan ke dokter spesialis dan memilih untuk berobat secara herbal.

Akhirnya, Gina yang sempat putus asa menceritakan keadaannya kepada Arunika. Dokter muda itu berhasil membujuk sang ibu untuk berobat ke medis dibantu biaya dan menyuruh Gina untuk mengurus BPJS untuk ibunya.

“Boleh saya bergabung?”

Arunika dan Gina menoleh ke arah sumber suara. Gina sempat kaget dengan kedatangan Dokter yang terkenal pendiam itu, padahal bangku lain masih banyak kosong, tapi tumben sekali lelaki itu mau bergabung dengan dokter lainnya.

“Silakan, Dok.” Arunika tampak biasa saja. Berbeda dengan Gina yang lebih salah tingkah.

Kalandra. Dokter muda yang sering menjadi topik hangat di kalangan para perawat wanita. Pasalnya dokter tampan itu sangat pendiam dan penyendiri. Jarang bergabung dengan rekan kerjanya.

“Terima Kasih.”

Mereka saling diam. Menikmati makan siang yang tadi mereka pesan. Kalandra memperhatikan Arunika yang tengah menikmati makan siangnya. Soto babat dengan seporsi nasi hangat.

“Apa kabar Aksara? Sehat?”

“Alhamdulillah sehat, Dok.” Arunika menatap Kalandra, lalu kembali menunduk mendapati lelaki itu masih menatapnya intens.

“Kita sedang di luar tugas. Kamu bisa memanggil saya seperti biasanya.”

“Iya, Mas.”

Gina tersedak mendengar percakapan dua orang berbeda kelamin itu. Arunika menyodorkan air mineral kepada Gina.

“Minum, Gin.”

Buru-buru Gina minum, lalu memandang Arunika dan Kalandra bergantian. Penasaran. Isi kepalanya begitu banyak pertanyaan apa hubungan keduanya. Gina menggeleng, bukan urusannya.

“Mas Kala,” Arunika menatap laki-laki yang usianya lima tahun di atasnya itu. “Terima kasih. Berkat Mas rekomendasi Mas Kala, aku bisa bekerja di sini. Padahal Mas tahu, kalau kota ini penuh kenangan buruk buatku.”

“Run, masa lalu itu bukan untuk di jauhi, tapi untuk di hadapi. Ku harap, kamu sudah move on tentang masa yang dulu.”

Gina masih tak mengerti tentang obrolan mereka. Gina juga baru paham kalau Arunika dan Kalandra saling mengenal. Sebenarnya, Gina ingin sekali pergi dari sana. Bagaimana tidak? Dua orang itu seperti tak menganggapnya ada. Gina tak merasa kesal. Sungguh. Hanya sepertinya mereka sedang membahas soal pribadi. Gina merasa tak enak hati.

Gina merapikan bekas makannya dan berniat ingin pergi. Akan tetapi tangan Arunika mencegahnya.

“Duduk, Gin!” perintah Arunika membuatnya mengurungkan niat. “Tetap di sini agar tidak menjadi fitnah.”

Gina mengangguk patuh. Kalandra tersenyum. Wanita itu masih sama. Didikan Imam ternyata berhasil membuat Arunika menjadi pribadi yang lebih berhati-hati. Terutama ketika berinteraksi dengan lawan jenis, walaupun mereka telah lama mengenal.

“Insya Allah, sudah, Mas.”

“Baguslah. Beri kesempatan kepada orang lain untuk lebih dekat dengan kamu.”

Arunika menaikkan sebelah alisnya, menatap Kalandra penuh tanya, sementara Gina berusaha pura-pura tak mendengar.

Mereka teman bermain saat kecil dulu. Kalandra, Aksara dan Arunika. Hidup bertetangga membuat mereka akrab, sama seperti kedua orang tuanya yang sudah menganggap seperti saudara sendiri.

Sejak ketiganya menempuh pendidikan di pesantren, Kalandra lebih menjaga jarak dengan Arunika, begitu pula ketika Arunika beranjak balig memilih untuk tidak terlalu dekat dengan pria itu. Keduanya sudah paham jika mereka bukan mahram, tak lagi bisa seperti dulu. Akan tetapi, Kalandra dan Aksara tetap berteman dekat karena mereka juga menempuh pendidikan di pesantren yang sama. Begitu pula ketika masuk ke perguruan tinggi, mereka seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Arunika hanya sesekali saja ikut bergabung dengan mereka karena ada Aksara, kakak lelakinya.

“Dulu, aku pernah kehilangan satu kesempatan. Tapi, tidak dengan kali ini.” Kalandra menatap Arunika Tajam.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
fight for runi ya kalandra
goodnovel comment avatar
Senja
kok pandangan tajam??harusnya kan cinta ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status