Sesuai harapan mereka, lalu lintas hari ini aman terkendali. Tak ada macet yang mengular. Meski bukan berarti jalanan lancar tanpa hambatan. Mereka sempat menemui macet di beberapa ruas jalan, hanya saja tak butuh waktu lama untuk keluar dari jebakan mobil-mobil yang berbaris. Raynald masih terus melajukan mobilnya memasuki sebuah kawasan berpenduduk. Sudah setengah jam yang lalu mereka keluar dari tol. Laura menikmati pemandangan yang dihadirkan di jalanan, meski pikirannya saat ini sedang kacau. Laura hanya berusaha fokus atas apa yang akan dilakukannya nanti ketika bertemu Dylan. Apa yang akan dikatakannya pada laki-laki itu. Beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam. Berharap hal itu dapat membantunya menenangkan diri.
Mobil Raynald akhirnya mulai melambat ketika berbelok di sebuah tikungan. Beberapa orang terlihat berjualan di samping kiri dan kanan jalan. Laura bahkan melihat sebuah taman bermain anak yang ramai pengunjung. Ia tak tahu, Dylan akan memilih tempat ramai
Satu Tahun Kemudian Sebuah pesta pernikahan di salah satu gedung mewah sedang berlangsung hari ini. Nuansa putih terlihat ketika memasuki area gedung. Dekorasi kuade yang terlihat anggun dengan beberapa bunga kertas berwarna putih, biru muda dan peach menjadi background dua sejoli yang sedang menyambut para tamu undangan untuk bersalaman pada mereka. Dua orang yang pernah menghadapi berbagai rintangan demi sampai pada hari ini. Gaun putih yang dikenakan mempelai wanita serta polesan make up tak menor membuatnya semakin terlihat cantik, tapi tak membuatnya nampak berbeda. Dan laki-laki yang menjulang di sampingnya, memamerkan senyum bahagia pada seluruh tamu yang hadir, membuat siapa saja yang melihatnya akan iri. Dari kejauhan Angel mengamati dua orang yang pernah dekat dengannya begitu nampak bahagia. Ia bahkan tak kuasa untuk tak ikut tersenyum atas apa yang disaksikannya hari ini. Sama sekali tak pernah disangka ia akan menghadiri acara pernikahan sakral ini. Ia pikir semua sudah
“Lexa ... Alexa kamu dengar, Ibu? Lexa?”Alexa merasa kepalanya berdenyut seakan mau pecah. Mual. Perutnya seperti diaduk dan seolah ingin memuntahkan isinya. Dengan hati-hati dan berusaha menahan rasa sakit yang mendera kepalanya, Alexa mengerjapkan matanya dengan lemah. Seluruhnya masih Nampak samar. Atap dan dinding yang putih menyergap matanya. Lantas, wajah seorang wanita tiba-tiba berada di atasnya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan mata memicing menahan sinar lampu yang menusuk matanya, berusaha agar wajahnya terlihat jelas. Lama kelamaan, ketika pandangannya mulai menajam, Alexa tahu, bahwa perempuan itu adalah ibunya.Perempuan itu tersenyum, menatapnya penuh haru. “Dokter!” serunya seraya tergopoh-keluar dari ruang tempat Alexa terbaring.Alexa mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling. Ia bukannya tak tahu saat ini sedang berada di rumah sakit. Tapi yang ia benar-benar
Raynald menatap kotak cincin berwarna merah di tangannya dengan gelisah. Entah kemana keberaniannya menguap. Bukankah ia begitu yakin kejutan ini akan berhasil? Bukankah kemarin ia begitu percaya diri dan penuh semangat? Lalu mengapa saat ini keberanian dan semangatnya justru menghilang begitu saja? terlahap rakus oleh momok keraguannya. Hilang tak berjejak. Ia menutup kotak cincin itu dengan kesal. Mencengkramnya erat seraya bangkit dari duduknya. Dikantungi kembali kotak cincin itu di saku celananya. Lalu saat itu, pandangannya menatap seisi ruang rumahnya. Jujur saja, ia memang bukan tipe pria romantis seperti dalam film atau novel yang pernah dibacanya. Ia hanya seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita, dan kini ia merasa terlalu bodoh karena tak tahu harus melakukan apa untuk menawan hati wanitanya. Yang ia tahu, wanitanya itu begitu menyukai bunga. Dan ia hanya bisa menghias ruangan ini dengan ratusan bunga beraneka warna. Hanya disisakan sedikit saja celah dirua
Raynald menutup pintu mobilnya dengan kencang dan segera melesat memasuki rumah sakit. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling rumah sakit yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Bangsal VIP 2. Ia harus menayakan tempat itu berada di mana untuk dapat menemukan seseorang yang ia cari. Dan ketika itu, tatapannya tertuju pada seorang dokter yang dilehernya tegantung stetoskop. Dokter itu tengah berbicara dengan seorang perawat yang tak dapat Raynald dengar. Dan seolah tak peduli, Raynald berlari menghampiri mereka.“VIP 2?” tanya Raynald begitu tiba-tiba. Menimbulkan keterkejutan dari kedua orang yang dihampirinya.“VIP 2?” tanya Raynald sekali lagi saat kedua orang di depannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menjawab pertanyaannya. Dan seolah tersadarkan, dokter dan perawat tersebut menunjukkan Raynald jalan menuju bangsal ruang VIP 2. Segera Raynald kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan kedua orang tadi. Ia b
Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana.“kamu sudah t
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sa
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini. Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny