Share

Yang Paling Tersakiti

Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.

Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.

Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sakit. Saat tubuh ramping itu dijejali alat penopang hidup di sekujur tubuhnya. Saat mata itu tak terbuka untuk waktu yang lama. Dylan selalu diserang rasa takut setiap harinya. Alexa seolah memasang bom waktu tak kasat mata yang diikatnya di tubuh Dylan. Bom yang membuat Dylan tak pernah bisa tidur dengan nyenyak.

Semua memang kesalahannya. Dylan sadar diri akan hal itu. Ia terlalu sibuk dengan tumpukkan kertas di atas mejanya. Terlalu sibuk mengungkap kasus kematian ayahnya beberapa belas tahun lalu yang hampir menemukan titik terang. Ia terlalu dirasuki keinginan untuk menjebloskan mereka yang memanfaatkan nyawa ayahnya untuk kepentingan pribadi, dan membuat laki-laki itu harus meregang nyawa. Dylan terlalu terbuai untuk mengungkap semua. Hingga membuatnya sering kali menelantarkan waktunya bersama Alexa. 

Seharusnya, ia menemani gadis itu mengatur segala urusan pernikahan mereka. Seharusnya, ia menemaninya fitting baju pengantin. Bukannya malah menyuruh Alexa mengerjakan semuanya sendiri dan menyerahkan seluruh keputusan di tangan Alexa. Bukankah ia yang memintanya untuk bersedia menjadi istrinya? Dan setelah wanita itu setuju untuk menyerahkan sisa hidup dengannya, mempercayakan seluruh jiwa, cinta dan raganya, lantas mengapa ketololan itu tiba-tiba menyelubungi otaknya dan berkabut di sana? Membuatnya seolah tak dapat melihat kedudukan Alexa lagi.

Ia tahu, Alexa sudah terbiasa dengan segala urusan pernikahan. Hampir 8 tahun wanita itu berkutat dengan usaha pribadainya, wedding organizer. Membuatnya Nampak luwes dengan pilihan gedung, catring dan segala macamnya. Tapi, kenapa Dylan bahkan baru tersadar setelah perempuan itu terbujur di rumah sakit kalau Alexa, membutuhkannya untuk teman diskusi. Membantunya memutuskan gedung mana yang akan dipakai atau baju pernikahan seperti apa yang Dylan ingin Alexa kenakan?

Dylan merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamunya. Menutup kedua matanya dengan sebelah lengannya. Sembari mengingat kejadian dua tahun lalu yang telah membuatnya tak pernah bisa tidur tenang lagi. Hari itu tak akan pernah dilupakan oleh Dylan. Satu hari saat perang itu terjadi. Dylan tahu, cepat atau lambat hari itu pasti datang. Karena ia sangat sadar akan sikapnya pada Alexa yang terkesan cuek. Dylan terlalu terlena pada sifat tangguh kekasihnya itu. Tanpa pernah menyadari, Alexa tetaplah sama seperti wanita yang lain. Yang membutuhkan perhatiannya.

Hari itu, Alexa menghampirinya di tempat ia sedang melakukan meeting di salah satu restaurant. Alexa datang dengan napas memburu, langkah cepat dan mata yang menatap begitu nyalang. Dylan dapat membaca ada yang tidak beres saat melihat Lexa dari kejauhan yang tengah berjalan geram menuju mejanya. Sebelum perempuan itu sempat sampai dimejanya, Dylan bangkit dari tempatnya dan mohon pamit sebentar pada clientnya. Ia beranjak dari tempatnya dan berjalan berpapasan dengan Alexa. Dicengkramnya lengan gadis itu dengan lembut dan menggiringnyasedikit menjauh dari kerumunan.

“Aku tahu ini pasti akan terjadi, tapi tolong, Lexa. Tolong mengerti aku. Kasusnya sedikit lgi akan terungkap.”

“Mengerti kamu? Sampai kapan? Sampai kapan aku harus mengerti kamu? Mengerti kamu dengan segala kesibukan kamu sampai harus menelantarkan segala urusan pernikahan kita? Aku capek, Dylan. Aku capek ngurus semuanya sendiri. Aku capek dengar kamu bilang ‘terserah aku,’ ‘aku ikut kamu.’ Yang nikah kita berdua ya.. Bukan aku saja. Dan kamu seolah nggak peduli sama semuanya.”

“Hei, hei, dengerin aku dulu dong.” Dylan mencoba menenangkan Lexa yang mulai meledak-ledak. Ia meraup wajah gadis itu dan menatap matanya yang sudah mulai berkaca-kaca. Rupanya Lexa sudah terlalu lama memendam ini.

“Aku bukannya nggak peduli sama pernikahan kita. Ini cuma secara kebetulan berbarengan dengan kasus Ayah aku yang mulai menemukan titik terang. Kamu tahukan aku sudah sangat lama berjuang untuk mengungkap kematian Ayah aku. Dan, aku bukan gak peduli dengan pernikahan kita, Aku percaya sama kamu. Percaya sama pilihan kamu. Aku percaya kalau kamu bisa bikin semuanya sukses.”

“Tapi aku butuh partner.”

Wajah Lexa yang putih berubah merah karena menahan amarah. Dan rambut pendeknya yang diikat tengah terlihat lepek hari itu. “Pernikahan ini bukan acara main-main ya. Bukan Cuma sekedar syukuran, yang nggak pernah ada artinya. Acara ini berarti banget buat aku Dylan. Nggak tahu buat kamu.”

Satu kalimat terakhir dari Lexa sontak menusuk jantung Dylan. Ia melepaskan kedua tangannya di wajah Lexa dan menatap gadis itu kecewa.

“Kok kamu ngomong gitu sih? Kamu nggak percaya sama aku?”

“Ya gimana aku mau percaya sama keseriusan kamu kalau kamu sendiri nggak pernah nunjukin itu ke aku.”

“Lex, aku kayak gini juga buat kamu. Demi masa depan kita. SUpaya aku bisa hidup tenang dikemudian hari karena kasus ayah aku sudah terungkap.”

“Aku gak pernah bilang ya, aku gak mendukung kamu untuk menyelesaikan kasus ayah kamu. Aku justru sangat mendukung dan mendoakan yang terbaik. Tapi kamu bisa sadar posisi gak sih? Kita mau nikah. Gak bisa apa … sebentar saja kamu kasih waktu kamu yang berharga itu buat aku? Buat pernikahan kita? Aku butuh kamu, Dylan. Sekrang aku seperti ngearasa kita sedang berjalan masing-masing untuk masa depan kita.”

Keduanya terdiam. Hening beberapa saat. Kemudian, tatapan mata Dylan tertuju pada tangan Lexa yang mulai bergerak. Kening Dylan berkerut tajam, saat tangan kiri gadis itu berusaha melepaskan cincin yang melingkar di tangan kanannya.

“Kamu mau ngapain?” tanya Dylan tanpa mengalihkan tatapannya dari tangan Alexa. Sayang, taka da jawaban. Hanya saja air mata merebak di wajah gadis itu.

“Alexa, aku tanya kamu mau ngapain?” dan sekonyong-konyongnya, cincin itu terlepas dari jari manis Lexa. Dylan menatapnya tak percaya. Menatap Alexa yang kini sudah berurai air mata. Dylan mengacak rambutnya frustasi dengan apa yang dilakukan Alexa. Gadis itu lantas meraih tangannya perlahan dan diletakkan cincin itu di sana.

“Aku masih tunggu kamu. Kasih aku cincin ini lagi kalau kamu sudah yakin sama keputusan kamu buat nikahin aku. Aku sudah batalin semua," ucap Lexa dengan suara bergetar. Dylan membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Tapi nyatanya, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia terlalu shock. Terlalu tak menyangka Lexa akan melakukan hal ini padanya. Ia sadar, rupanya ia sudah terlalu lewat batas. Tanpa pernah sadar bahwa apa yang dilakukannya justru membuat Lexa tak pernah merasa bahagia. Lexa melangkah pergi meninggalkannya yang masih tak percaya.

Setelah itu, ia tak pernah lagi fokus pada apa yang ada di depannya hari itu. Dylan tak mengikuti jalannya meeting dengan benar. Ia hanya menjadi seorang pendengar. Bahkan lebih banyak bengong. Hanya sesekali mengangguk dan tersenyum saat sebuah pertanyaan akan keadaannya terlontar dari salah satu rekannya. 

“Apa anda baik-baik saja pak, Dylan?” 

Mungkin siapa pun yang melihat Dylan saat ini akan menanyakan hal yang sama. Tapi sayangnya, Dylan sedang dalam keadaan tidak ingin menjawab pertanyaan. Ia hanya melontarkan senyum.

Dylan mengatur berbagai rencana di kepalanya. Mungkin setelah ini, ia harus menemui Lexa. Ia harus membicarakannya dengan gadis itu pelan-pelan. Ia harus meyakinkan Lexa kembali tentang keseriusannya. Ia harus ….

Ponselnya berbunyi. Dengan cepat, Dylan mengeluarkan benda itu dari sakunya dan menjawab panggilan itu tanpa berfikir dua kali setelah membaca deretan nama yang tertera disana. Dylan menjauh dari tempatnya, kali ini tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ia hanya merasa begitu bergairah saat mendapat telephone dari Lexa. Semoga saja Lexa berubah fikiran.

“Halo, sayang, kamu ....”

Dylan menutup mulutnya kembali saat hendak melanjutkan kalimatnya untuk menjelaskan pada Alexa betapa ia tak menginginkan hubungan mereka berakhir. Nyatanya seseorang di seberang sana mengambil alih pemnbicaraan jauh lebih cepat. Seseorang yang suaranya tak Dylan kenali.

"Benar dengan bapak Dylan?" 

Dylan mengerutkan kening tajam. “Iya ... saya Dylan. Ini siapa ya? Alexa mana? Kenapa ponselnya bisa sama anda? “ tanya Dylan.

“Begini, Pak, tolong jangan panik dulu setelah mendengar kabar ini.” 

Belum saja Dylan mendengar kabar yang ingin disampaikan orang di sebrang sana, perasaannya sudah mulai gusar. Ia diam, hanya menunggu kelanjutan penjelasan lawan bicaranya.

“Jadi, pemilik handphone ini mengalami kecelakaan beruntun. Maaf, tapi polisi sedang mencoba mengeluarkan pemiliknya yang sedang terjepit di dalam mobilnya yang terbalik.” 

Seketika, tubuh Dylan hoyah dan membentur dinding di sampingnya. Dylan seolah merasa sedang terjadi kiamat pada dirinya. Seluruh jiwa dan raganya seolah tak benyawa. Mengawang tak dapat ia gapai. Lututnya lemas, dan begitu saja ia terduduk berlutut di atas lantai. Membayangkan Alexa mengalami kecelakaan, Alexa yang mobilnya terbalik. Alexa yang terjebak di dalamnya dan sulit dikeluarkan. Imajinasi Dylan semakin menjadi-jadi membayangkan Alexa yang bercucuran darah. Sialnya. Disaat seperti itu tubuhnya justru mebatu. Ia ingin berlari. mencari keberadaan Lexa. Menemukan Lexa dan mengeluarkannya dari dalam mobil. Ia ingin membawa Lexa ke rumah sakit secepatnya. Meminta bantuan pada dokter-dokter hebat untuk membantu menyelamatkan nyawa kekasihnya. Kalau perlu mengganti nyawa Lexa dengan nyawanya. Tapi yang terjadi, Dylan justru tak dapat merasa apa-apa. Tak dapat mendengar apa-apa. Tak dapat melakukan apa-apa. Dan dalam detik selanjutnya, tubuhnya roboh begitu saja. Dylan tak sadarkan diri.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status