Setelah yakin jika Ariella pingsan, Jack kembali melajukan mobilnya hingga setelah keluar dari area hutan, mobil itu melaju menuju sebuah kastil yang sangat terawat.
Seorang penjaga membuka pintu ketika melihat mobil itu mendekat kearah kastil. Jack mengangguk pada sang penjaga dan mengemudikan mobilnya memasuki area halaman kastil hingga akhirnya berhenti didepan sorang pria yang berada dipintu depan kastil.
“Tuan..” Sapa Jack melihat kehadiran Tuan mudanya yang menunggu didepan kastil. Pria itu mengangguk, dia membuka pintu penumpang dan terdiam sejenak.
“Kenapa dia?! Dimana Faniya?” Tanyanya dengan ekspresi menggelap
“Saya tidak tau Tuan, saat saya berada disana Tuan Darwin mengatakan jika Nona Ariella Darwin yang akan saya bawa” Jelas Jack dengan wajah menunduk
Pria itu tertawa keras membuat suasana hening seketika. Jantung Jack berdegup kencang karena takut dengan ucapan dan ekpresi atasannya yang seperti akan menggila.
“Apalagi yang direncanakan pria belang itu kali ini!” geramnya sambil mengacak rambut hitamnya hingga berantakan yang justru menambakan kesan seksi bagi sang empunya.
“Haruskah saya kembali dan membawa nona Faniya, Tuan?” Tanya Jack
Pria itu diam dan menatap Ariella lekat “Tidak perlu! Kita berangkat sekarang” titahnya tak terbantah dengan membawa Ariella ke dalam gendongannya.
-
Ariella tidak menyangka begitu terbangun, dirinya akan berakhir disebuah kamar mewah. Tidak seperti kamarnya di kediaman Darwin, kamar yang kini ditempatinya seperti sebuah kamar istana dalam cerita disney atau mungkin sebuah kamar didalam istana kerajaan bertema eropa. Intinya kamar ini sangat luas dan diisi dengan peralatan mewah yang Ariella perkirakan berharga fantastis.
Setelah menatap ke berbagai arah akal sehat gadis itu kembali. Ia teringat ketika malam sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan Tuan Muda Winston. Jack, sang asisten tuan muda membiusnya dengan paksa.
“Awas aja kamu Jack!” Geram Ariella
Pintu terbuka menampakkan pria yang membiusnya tengah berdiri dengan senyum lebarnya bersama seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam pelayan, dengan bibir yang mengulas senyum sekedar formalis menurut Ariella.
“Selamat pagi nona, saya rasa anda tidur dengan nyenyak semalam” sapan itu berasal dari Jack. Senyum kelewat lebar itu membuat Ariella semakin geram
“Sangat nyenyak, berkat seseorang” sahut Ariella sarkas yang dibalas dengan senyum yang sama lebarnya.
“Saya minta maaf atas tindakan saya semalam namun itu sebuah langkah pengamanan agar anda tidak masalah saat dibawa dalam pesawat”
“Pesawat?!” Mata coklat Ariella membola “Dimana kita sekarang?"
“Kita sekarang berada di California nona, Tuan muda pertama dirawat di Winston Memorial Hospital.” Jelas Jack. Ariella berdecak, bagaimana bisa dalam semalam dirinya bisa lintas negara ditambah calon suaminya itu berada dirumah sakit? Dia kira pria itu hanya cacat dan duduk dikursi roda, nyatanya justru jauh lebih buruk dan hal itu menyakinkan Ariella daripada menjadi seorang istri, dia seperti menjadi perawat pribadi.
“Lain kali katakan saja jika aku tidak boleh tau, jangan suntik aku secara paksa. Kau bahkan menyuntiknya dengan tangan bergetar hingga aku kesakitan” Ucap Ariella, jujur saja lengannya masih terasa sakit
“Maafkan saya nona” sesal Jack
“Dimaafkan” Ucap Ariella membuat Jack tersenyum tipis, dia sangat amat setuju jika Ariella menjadi pasangan tuannya.
“Anda dapat bersiap untuk sarapan nona. Tuan besar dan Tuan muda pertama sudah menunggu anda sadar sejak 2 hari yang lalu” Ucap Jack. Ariella mengangkat alis nya.
“Dua hari?” ucap Ariella meminta penjelasan
“saya tidak tau jika double bius yang saya berikan memiliki dampak yang cukup lama” Ucap Jack tanpa dosa
“Terkutuk! Kau benar-benar menyebalk-” Ucapan Ariella terpotong
“Anda dapat bersiap sekarang nona, Tuan besar sedang menunggu anda dimeja makan” ucap Jack
“Tuan besar?”
“Benar nona, anda sekarang berada di mansion keluarga Winston di California” Ucap Jack yang membuat Ariella syok.
“Aku ingin langsung menemuinya” Jack menatap Ariella seolah menilai pada tampilan Ariella. Pakaian dan rambut gadis itu agak berantakan, seolah mengerti arah tatapan Jack, Ariella bangkit berdiri ia menatap kearah cermin yang menampakan bayangan dirinya.
Tangan gadis itu menata rambut dan bajunya lalu kembali menatap ke arah Jack. “Bukankah sudah lebih baik?” Jack hanya mengangguk lalu menuntun gadis itu ke ruang makan.
Begitu tiba diruang makan Ariella hanya menemukan satu kursi yang terisi, Ariella tau pria itu Dominic Axelis Winston. Tuan besar yang Jack maksud, singkatnya calon ayah mertua Ariella
“Selamat datang Ariella” Sapa pria paruh baya itu, nadanya penuh dengan wibawa.
“Terimakasih Tuan” Balas Ariella sopan
“Tidak perlu terlalu formal, Ella. Panggil saja aku Papa, kau calon menantuku” Ucap Dom dengan senyum ramah. Ariella cukup kagum dengan bahasa Indonesia yang pria itu ucapkan, terdengar sangat fasih.
“Baik papa”
“Duduklah, kita sarapan bersama” Ucap Dom
Ariella menarik sebuah kursi disisi kanan, meja itu cukup panjang, layaknya meja jamuan sebuah istana dengan Dom yang menempati kursi kepala keluarga, berbagai hidangan tersedia dimeja itu mulai dari makanan dari negara Ariella seperti bubur ayam maupun makanan western seperti chimichanga, dan Cuban sandwich.
Ariella mengambil waffle yang berada paling dekat dengan tempat duduknya, lalu memakannya. Waffle yang lembut dan renyah bercampur manisnya madu membuat mata Ariella berbinar, ini waffle terenak yang pernah dimakannya.
Dom tersenyum tipis memperhatikan Ariella sampai tiba-tiba ponsel Dom berbunyi, pria itu membukanya dan menghela nafas pelan. Dia hampir lupa dengan pejalanan bisnis yang menunggunya setelah ini.
“Aku harus pergi sekarang Ella, nikmati waktumu ditempat ini, kita akan berbicara tentang perjodohanmu saat aku pulang nanti. Kuharap kau tidak keberatan menunggu seminggu lagi” ucap Dom
“it’s oke papa, lagipula keluarga Darwinlah yang membutuhkan perjodohan ini, tentu saja aku akan menunggu” Ucap Ariella karena memang benar jika Andrew sangat ingin menjual putrinya agar perusahaan pria itu bisa bertahan.
“Tenang saja perusahaan ayahmu sudah mulai stabil sekarang”
“Terima kasih papa”
“Jack.” Panggil Dom membuat Jack mendekat menuju meja makan
“Ya” Jawabnya
“Setelah Ariella selesai makan antarkan dia menemui Mederick di ruang kerjanya setelah itu antar dia ke rumah sakit untuk bertemu Malkin” Ucap Dom yang membuat Ariella nyaris tersedak, dia akan langsung bertemu dengan kedua tuan muda Winston hari ini?
“Baik” Jawa Jack, setelahnya Dom meninggalkan ruang makan, menyisakan Ariella yang menusukan garpunya pada Waffle yang tersisa setengah.
Pikiran Ariella menerawang, dia harus memiliki hubungan yang bagus dengan Mederick Winston, karena secara tidak langsung pria yang dijuluki player itu akan menjadi kakak iparnya.
Ariella meminum air dalam gelas lalu beranjak, dia menatap Jack sejenak sebelum berucap “Antarkan aku menemui tuan muda pertama Winston”
Jack tersenyum tipis “Baik nona”. Jack menuntun Ariella, mansion keluarga Mederick hanya terdiri dari dua lantai namun bagian dalamnya sangat luas dan tertata namun menyerupai labirin, ada banyak sekali koridor di mansion itu.
Ariella mengikuti Jack yang menuntunnya menaiki tangga, naik menuju lantai dua dan berhenti disebuah pintu kaca yang memiliki motif mawar hitam di tengahnya.
Jack menekan intercom yang menempel di pintu kaca itu “Saya membawa nona Ariella, Tuan” Ucap Jack.
Terdengar suara ‘klik’ dan setelahnya pintu yang terbuka secara otomatis “Silahkan masuk nona, tuan berada di dalam” Ariella melangkah masuk tangannya mendadak dingin karena kegugupan yang mulai mendera.
“Ingat tujuanmu” Ariella memotivasi dirinya sendiri lalu menghembuskan napas pelan. Ariella melangkah masuk bersamaan dengan pintu yang tertutup secara otomatis.
Sepertinya suhu Ac diruangan itu sangat rendah, karena Ariella merasakan udara dingin menusuk kulitnya ditambah penerangan yang cukup remang karena hanya cahaya matahari pagi yang meneranginya. Ariellla menatap seorang pria yang menggunakan kemeja hitam berdiri membelakanginya. Pria itu menatap kearah jendela kaca yang menampakan pepohonan yang menjulang.
Ariella maju mendekat kearah meja kerja pria itu. Mengetukkan tangannya pada meja untuk mendapatkan atensi pria itu dan berhasil, Pria itu kini membalikkan tubuhnya menghadap Ariella.
GLEK
Ariella mamatung. Perawakan pria itu sungguh sempurna. Fitur wajah khas orang barat dengan mata hitam keabuan. Pria itu berdiri tegap dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku membuat otot lengannya terlihat jelas memancarkan aura kedewasaan dan kebebasan yang sangat ketara.
“Maaf menganggu, aku Ariella dan sepertinya akan menjadi adik iparmu” ucap Ariella dalam bahasa inggris, pria itu terlihat menahan senyumnya yang nyaris terbit.
“Adik ipar heh..” Serunya dengan suara berat yang terdengar menggelitik ditelinga Ariella.
Mederick menyerahkan sebuah kertas pada Ariella. Surat pengalihan seluruh aset milik atas nama Mederick pribadi. Mulai dari property hotel, restoran bintang 5 miliknya hingga asset lain seperti mansion dan gendung-gedung atas nama Mederick ditambah lagi pulau pribadi milik Mederick“Kau mau menjual ini semua?” Tanya Ella penasaran karena Mederick menyerahkan dokumen itu ke arahnya. Mederick menggeleng. Pria itu menyerahkan sebuah surat yang berbeda dari surat-surat lainnya.“Surat pernyataan?” Gumam Ariella membaca selembar surat yang Mederick serahkan“Semua aset milikku sudah menjadi milikmu termasuk aku. Jadi tandatangani surat yang menyatakan bahwa kau adalah milikku untuk selamanya” Jelas Medrick cepat. Ariella melotot terkejut.“Apa-apaan ini, kau tidak takut jika aku pergi darimu lagi, Der?” Tanya Ariella tanpa menghilangkan raut terkejutnya. Ariella terkesiap saat Mederick bergerak cepat meraih pinggangnya dan mendekapnya lebih eratAriella merasakan hatinya berdebar kencang k
Dalam sebuah kamar rumah sakit yang tenang, Mederick terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan lesu. Tidak jauh darinya, Ariella duduk di kursi, pandangannya terpaku pada wajah Mederick yang lelah. Pikirannya berkecamuk dengan beragam emosi, dari kemarahan hingga belas kasihan."Dia selalu saja menyebalkan" gumam Ariella pelan. "Tapi, aku tidak bisa membantah bahwa dia peduli padaku." Dia merenung sejenak, mengingat momen-momen mereka bersama, bahkan di antara pertengkaran dan konflik yang tak kunjung usai.Ariella menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan dirinya menyakitiku" gumamnya dengan suara penuh ketegasan. "Dia harus belajar mengendalikan emosinya, seperti yang selalu dia katakan kepadaku."Saat itu, Mederick mulai bergerak, matanya terbuka perlahan. Ariella segera berdiri, tatapannya bertemu dengan Mederick yang masih lemah. "Kau sadar" ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan pria itu
Sementara itu, di pulau terpencil yang jauh dari kekacauan di villa mewah Mederick, Ariella Dfretes duduk di sebuah teras dengan pemandangan pantai yang tenang. Bersama dengannya adalah Faniya dan Mason, dua orang yang telah memberikan perlindungan dan kedamaian setelah ia melarikan diri dari kekacauan yang diciptakan oleh Mederick."kak, aku masih tidak percaya bahwa kau berhasil melarikan diri dari Mederick" ujar Faniya dengan nada prihatin. "Kakak tahu bahwa dia tidak akan pernah berhenti mencarimu."Ariella mengangguk dengan penuh ketegasan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa lagi tinggal di bawah pengaruhnya. Aku butuh kebebasan, dan aku tidak akan kembali padanya. Tenang saja aku gak ganggu kalian kok"Mason menatap Ariella dengan penuh kekhawatiran. "Tapi, bagaimana dengan ancamannya? Apakah kau yakin kau aman di sini?""Aku tahu risikonya" jawab Ariella mantap. "Tapi aku lebih baik berisiko hidup di sini daripada hidup di bawah bayang-bayang ketakutan bersama Mederick. Tapi aku ju
Dalam gelapnya malam yang menyelimuti villa mewah itu, Mederick Winston berdiri di tengah-tengah ruangan yang kini tergenang oleh lautan darah dan mayat-mayat yang tergeletak tanpa bentuk. Kekacauan yang terjadi adalah gambaran nyata dari kegilaan yang merajalela di dalam dirinya."SIALAN, KALIAN SEMUA TIDAK BERGUNA!" teriak Mederick dengan suara yang penuh kemarahan, membuat udara menjadi terasa lebih berat di dalam ruangan itu. Tangannya bergetar saat ia memandang ke sekeliling, melihat kehancuran yang ia sebabkan dengan tangannya sendiri.Tak peduli siapa yang berada di depannya, Mederick mengamuk tanpa ampun. Dia tidak membedakan siapa pun yang berada di jalannya, termasuk para bawahannya sendiri. Ia memukul, menendang, bahkan membunuh tanpa ampun, seperti seorang manusia yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.Di antara orang-orang yang menjadi korban kegilaannya, Jack, salah satu bawahannya yang setia, berdiri dengan wajah yang penuh kebingungan dan kecemasan. Selama delap
Ariella berdiri di ruangan rapat, di hadapan tim eksekutif dan staf perusahaannya yang terkejut dan bingung dengan pernyataan yang baru saja Ariella katakan"Saya ingin berbicara dengan kalian semua. Seperti yang kalian ketahui, saya baru saja dilantik sebagai Presiden Direktur perusahaan Darwin. Namun, saya memiliki pengumuman penting yang perlu saya sampaikan."Tim eksekutif dan staf memandang Ariella dengan penasaran. Ariella mengambil napas panjang“Saya telah memutuskan untuk menyerahkan seluruh kekayaan dan aset perusahaan ini kepada sebuah panti asuhan yang membutuhkan. Saya percaya bahwa sebagai pemimpin, tanggung jawab kami tidak hanya terbatas pada mencari keuntungan, tetapi juga pada memberikan kembali kepada masyarakat."Semua yang ada disana termasuk tim eksekutif dan staf terkejut dengan pengumuman tersebut, beberapa di antaranya menunjukkan reaksi campuran antara kagum dan kebingungan.“Tapi bagaimana kelanjutan perusahaan?”Ariella menanggapi pertanyaan itu dengan seny
Langit senja menyala di balik jendela mobil mewah saat Mederick mengemudikannya dengan tenang. Ariella duduk di sebelahnya, tetapi suasana di dalam mobil terasa tegang. Mereka baru saja meninggalkan acara bisnis yang panjang, tetapi tidak sepatah kata pun terucap sejak mereka memulai perjalanan pulang.Dengan napas dalam, Mederick memutuskan untuk memecahkan keheningan yang membelenggu mereka. "Riel, aku ingin meminta maaf."Ariella menoleh padanya dengan pandangan yang penuh pertanyaan di matanya. "Maaf? Maaf untuk apa?" ucapnya berpura-pura tak tahu, meskipun dalam hatinya dia sudah mengetahui alasan di balik permintaan maaf Mederick.Mederick menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tahu belakangan ini aku agak... terlalu cemburu. Aku ingin meminta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman."Ariella menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia tidak mengharapkan permintaan maaf seperti itu dari Mederick, yang biasanya sulit mengakui kesalahannya. "meskipun aku m