Harris menoleh mencari sumber suara yang baru saja didengarnya, suara istri tercinta.
Dia berjalan menuju ke arah Rania yang sedang berdiri membelakanginya sambil melipat tangan di depan dada, Rania sedang memandang ke arah taman tempat bermain anak-anak di samping rumah Suhana.“Kenapa tidak mau jumpa Abang? Abang mau jumpa Nia, Nia istri Abang jadi Abang ada hak untuk jumpa Nia.” jangan panggil Harris kalau tidak suka bermain kata. Harris terus berjalan mendekati istrinya dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang, dia rindu dengan istri cantiknya. Rania tegang seketika, selama seminggu tubuh gagah dan hangat itu tidak menyentuhnya, dia juga rindu dengan suaminya, dia rindu bisikan manja dan menggoda tiap kali mereka bersama. Tapi tubuh ini juga baru saja memeluk wanita lain. Seketika itu Rania mencoba melepaskan lengan Harris yang erat memeluk perutnya.“Lepas, Abang!” air matanya jatuh, terasa pedih hatinya, membayangkan Harris bermesraan dengan Safina. Tapi tubuhnya lemah untuk melepas pelukan itu sekarang, dia juga ada hak, karena dia istri Harris, masih ada cinta yang besar untuk suaminya. Rania mengusap butiran bening di pipinya.“Don't cry please Sayang, terlalu sakit hati Abang melihat Nia menangis,” Harris mengusap air mata yang jatuh di pipi istrinya.“Abang yang buat Nia menangis, Abang jahat. Abang tidak pernah memikirkan sakit hati Nia, Abang egois. Abang... ” pelukan Harris semakin erat.“Sstt, sudah! jangan ingat lagi yang buat hati Nia sakit, Abang tetap cinta Nia, Abang tetap sayang istri Abang ini.” seperti anak kecil yang kena bujuk rayu dengan permen, Rania akhirnya berbalik badan, sedikit banyak kalimat manis Harris barusan mampu mengobati luka hatinya dua hari ini. Rania masuk ke dalam dekapan suaminya, dia juga rindu dengan pria yang sudah hidup bersamanya selama tiga tahun ini.“I Miss you damn much, Sayang.”Harris menciumi kening istrinya bertubi-tubi, lalu pindah ke pipi, dan terus menyerbu bibir tipis yang sudah beribu kali ditaklukannya sejak mereka sah menjadi suami istri.“I miss you more, Abang.” Rania membalas ungkapan rindu suaminya setelah ciuman mereka terlepas. Harris mengusap bibir merah istrinya dengan ibu jari. Lalu jarinya dijilat sambil mengedipkan mata pada Rania. Rania tersenyum malu, wajahnya merah melihat ulah suaminya, Harris memang paling jago membuatnya tersipu-sipu dan kemerahan.“Udah! jangan sedih lagi ya, Abang tidak bisa tenang kalau istri Abang sedih, cantiknya hilang, terus Abang nyari kemana nanti?”“Idih, mengada-ada!” Rania memukul pelan bahu kiri suaminya, rindu ingin bermanja.“Abang cakap betul, Sayang.”“Abang sudah sarapan?” Rania menarik tangan Harris untuk duduk di atas kursi meja makan.“Belum sempat, takut istri Abang kabur, itu yang pagi-pagi sudah keluar rumah tadi.”“Biasanya Mbak Santi awal pagi siapkan sarapan.”“Abang keluar pagi buta, tentu belum siap masaknya.” Harris membuat muka sedih, ia rindu dengan masakan enak sang istri.Rania tersenyum melihat wajah cemberut suaminya.“Kasihan dia, pasti lapar kan, Nia buatkan minum dulu ya, Milo panas mau tak, Abang?”“Apapun itu akan Abang terima, Sayang.” Harris tersenyum pada istrinya. Rania memasak air dan berjalan menuju kitchen island, dia mencari Milo serta bahan untuk membuat sandwich. Perut suaminya perlu diisi pagi ini, kuatir masuk angin, dia tahu apa yang disukai suaminya untuk sarapan pagi.Setelah sandwich dan air Milo siap dibuat, Nia menghidangkannya di depan Harris, lalu dia duduk di sebelahnya, menemani suaminya sarapan sampai selesai.“Sayang, mau ikut Abang jumpa relasi bisnis kita, tak?”Harris menghentikan suapannya, menatap wajah cantik sang istri, tangan kanannya menyelipkan rambut Rania ke belakang telinga. Cantik. Istrinya selalu terlihat cantik di matanya, tapi dia telah menyakitinya. Keluhan kecil terbit di bibir Harris. Menyesali perbuatannya yang sudah lepas kendali.“Abang belum selesaikan meeting dengan mereka?”Rania menatap intens suaminya menunggu jawaban yang menyenangkan. Waktu seminggu ngapain saja, coba? Jangan-jangan hanya dihabiskan bersama wanita itu, sakit hati Rania membayangkan semua itu.“Ada calon customer baru dari Singapura, baru dua hari lalu menghubungi papa, dia teman papa dan sekarang ada di Kuala Lumpur, siang ini mau jumpa Abang, temani Abang bisa kan?”“Mmmmm, bisalah, tapi ada yang spesial tak buat Nia?”Harris tersenyum melihat istrinya itu mengedipkan matanya, pipi sedikit cuby itu dicubit gemas.“Pasti ada dong, malam nanti Abang kasih.”Rania terbelalak, dia tahu maksud suaminya itu, tapi bukan itu saja keinginannya, dia ingin diajak jalan-jalan mengelilingi kota Kuala Lumpur.“Ish, Abang ni, bukan itulah maksud Nia.”“Memang Sayang tau maksud Abang apa?”“Taulah, pasti itu 'kan?” Rania masih dengan terkaan di hatinya.“Apa?” Harris mengangkat tubuh kecil istrinya itu duduk di pangkuan. Rania menjerit kecil karena kaget dengan tindakan tiba-tiba suaminya.“Itu 'kan?”“Cakap terus terang, itu apa?” Harris mengangkat-angkat alisnya sengaja menggoda sang istri. Wajah Rania sudah mulai memerah.“Nggak jadilah.” Rania beranjak dari pangkuan suaminya dan melangkah meninggalkan Harris sendiri.“Nia mandi dulu, Abang,” Rania menuju kamar tamu, Harris mengikuti langkahnya.“Abang join, boleh?” Rania menoleh ke arah Harris, suaminya itu makin dekat padanya.“No, Abang kan sudah mandi tadi.” dia tahu maksud suaminya itu.“Bolehlah, rasa panas pula badan Abang.”“Alasan, tak boleh!”Rania segera masuk ke kamar mandi meninggalkan suaminya terbaring lesu di atas tempat tidur. Harris tidak mau memaksa Rania, dia tahu Rania masih belum bisa memaafkannya, istri mana yang akan langsung lupa dengan perbuatan memalukan sang suami, Harris juga tahu hati istrinya masih sakit tetapi tetap mau menerimanya pagi ini. Rania adalah sosok wanita berjiwa besar, hatinya lembut penuh dengan kasih sayang, dia seorang istri yang patuh pada suami, tidak akan memendam kemarahan lebih dari tiga hari. Itulah yang membuat Harris tidak bisa melepaskan Rania begitu mudah, meskipun keluarganya sering menyuarakan perpisahan untuk dia dan Rania.Rania menikmati guyuran air shower di seluruh tubuhnya, dia tahu suaminya rindu dengan sentuhan dan layanannya, karena ia juga rindu suaminya. Tapi bayangan Harris menyentuh wanita lain seakan mendominasi pikirannya, dia belum bisa mengusir kecewanya, hatinya terluka meskipun dia sudah mencoba menerima kekhilafan Harris, tapi entah kenapa dia masih belum ikhlas sepenuhnya. Air mata Rania jatuh, mengingat pembicaraan Harris dan keluarganya malam itu, ucapan Nenda juga ibu mertuanya sangat menyakitinya, apa salah dia jika belum ada anak dan memberikan Harris keturunan, bukankah semua itu sudah ada yang mengaturnya, kenapa mereka selalu memojokkan Rania sendiri?Tiba-tiba hatinya merasa sedih, rindu dengan papanya, rindu dengan almarhumah ibunya, masa lalunya yang penuh liku, semua tergambar jelas di matanya. Harris Iskandar, seorang pria yang berhasil membawanya bangkit dari luka masa lalu ternyata kini memberinya luka baru.“Sayang, masih lama tak di dalam?”Ketukan pintu membuat Rania mengusap air mata, keran air ditutup dan dia mengakhiri ritual mandinya yang bercampur air mata.“Sebentar, Abang. Sudah selesai ini.”Bathrobe disarung, dia segera membuka pintu dan keluar dengan senyuman manis untuk suaminya. Rambut basahnya digulung dengan handuk kecil.“Sorry, Nia keasyikan di dalam, jadi lupa waktu.”“Ish, kebiasaan. Kalau ditunggu pasti sengaja 'kan?” Harris menelan saliva melihat leher jenjang istrinya, ada yang mulai bangun dari dirinya, menikah selama tiga tahun tidak ada yang berubah dari fisik wanita cantik di depannya itu. Bahkan makin bertambah umur makin mempesona di matanya.“Besok saja keluarnya bisa, Sayang?”Harris meraih pinggang istrinya dan dibawa ke dalam pelukan. Dihirupnya haruman rose yang semerbak keluar dari tubuh sang istri. Hasratnya muncul tanpa bisa dicegah.“Abang rindu, Nia. I want you now, Sayang.” suara husky dari suaminya membuat Rania merinding.“Tak boleh, Nia pengen jalan-jalan, harus hari ini juga!” Tangan Rania mencoba menghalangi wajah Harris yang sudah melekat di leher putihnya.“Tapi.. ”“No tapi! kalau mau yang itu, harus senangkan hati Nia dulu. Gimana?” Rania meleraikan pelukan suaminya dan melangkah menuju ke meja rias, dia mulai menyisir rambut panjang nan hitam miliknya. Tanpa segan silu Rania menyalin pakaian di depan sang suami, sengaja menggoda Harris dengan pesonanya, dia tersenyum menyadari Harris tidak tenang duduk berusaha menahan hasrat hati, ‘Rasain, siapa suruh sakitkan hatiku.’ Rania tersenyum sinis, merasa menang telah membalas kecewa hatinya.“Kita jalan sekarang, Abang ada surprise buat Nia.”Rania sudah selesai berdandan, dia memakai jilbab berwarna krem dengan bunga-bunga kecil, setelan blazer dan bawahan rok hitam, begitu cantik dan sempurna.“Makin cantik saja istri Abang ini, let's go.”Tangan Rania ditarik keluar rumah. Rania hanya menurut saja.“Kunci pintu dulu, takut ada orang jahat masuk.” Harris menerima gugusan kunci dari istrinya dan melakukan apa yang diminta si jantung hati tadi."Nanti chat Suhana, pamit ke dia malam ini Sayang balik rumah mama." pinta Harris pada sang istri. Rania mengangguk setuju."Mmmm, oke." dengan berat hati akhirnya Rania akur dengan arahan sang suami. Gugusan kunci disimpan di bawah pot bunga di samping pintu utama. Hati Rania berkecamuk sepanjang jalan.'Apa aku siap berhadapan dengan mereka yang tidak suka aku?'Kediaman Dato' Jamal Datin Maria menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah besar itu dibantu oleh asisten rumah tangganya, Nenda dan Atuk sedang mengambil udara segar di taman belakang yang luas dan asri. Sementara Dato' Jamal menikmati secawan kopi sambil membaca koran di teras depan. “Is tak kelihatan dari tadi, ada nampak Harris tak Santi?” Datin Maria bertanya pada Santi, asisten rumah tangganya. “Saya tidak tahu Datin, tapi mobil beliau tidak ada di depan.” Santi menjawab pertanyaan majikannya sambil sibuk mencuci piring dan mangkok di wastafel. Datin Maria memindahkan nasi goreng yang sudah masak ke dalam wadah saji, buah yang sudah selesai dipotong disusun di atas piring, air teh juga sudah terhidang di atas meja makan.“Tolong panggil Shofie di atas ya Ti, cakap sarapan sudah siap.” “Baik Datin.” Sepeninggal Santi, Datin Maria pergi ke teras depan untuk memanggil suaminya. “Is mana? tak makan sekali?” Nenda bertanya ketika melihat tidak ada Harris di meja makan. “Kel
Rania menatap ke arah suaminya, dalam hatinya berharap janganlah suaminya itu melihat Safina dan Suhaiza di sini. Atau sebaliknya dua wanita itu melihat Harris, bisa runyam dan gagal acara berduaan dengan sang suami. Rania menutup sebagian wajahnya dengan jilbab yang dipakai, hanya menampakkan matanya saja, dia bernapas lega saat dua wanita itu hanya melewatinya saja. Mereka leka dengan obrolan yang serius sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya. “Hei, tengok apa tuh, Sayang?” Harris datang di depannya dengan dua buah gelas berisi air dan satu box kecil popcorn, sementara tangan satunya memegang tiket bioskop untuk dia dan sang istri. Harris meraih tangan Rania dan mengajaknya untuk duduk di sebuah bangku kosong di sudut luar gedung bioskop itu. “Kita tunggu di sini sebentar ya, filmnya sepuluh menit lagi baru mulai.” Harris menggenggam tangan istrinya.“Masuk sekarang dong Bang, nanti nggak dapat tempat duduk di depan,” “Relax Sayang, percaya sama Abang.” Setelah menunggu lim
Mature content Tubuh Rania meliuk-liuk menerima sentuhan sensual dan memabukkan dari tangan suaminya, serangan-serangan mematikan dari Harris membuatnya bergerak seperti cacing kepanasan, menginginkannya lagi dan lagi. Sementara Harris yang memang sudah seminggu lebih tidak menyentuh istrinya seperti seorang pengembara di padang pasir yang baru saja bertemu dengan oase, menikmatinya dengan sepuas hati. “Sayang, Abang rindu tau.” “Tak tau, hahaha, pelanlah Bang. Ngilu.” Karena geram dengan Rania yang sengaja meledeknya Harris bergerak lebih cepat dan menghujam lebih dalam. Mendayung dan menghentak sekuat tenaga. Rania meringis antara ngilu dan nikmat. “Rasain! suka banget kan bikin Abang geram. Auh ... Abang mau keluar, Sayang.” “Yes ... , sama, Nia juga, ... aaaah.” erangan dan suara-suara sensual dari mereka berdua menambah panas suasana dalam kamar itu. Mereka b
Bagai disambar petir, hati Rania hancur, tulang belulangnya seakan lemas untuk menopang tubuh mendengar ucapan dari mulut Harris, Rania mengangkat wajah memandang suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Maksud Abang apa?” “Abang harus menikahi Safina.” “Harus? lalu Nia?” “Nia tetap akan jadi istri abang.” “Selfish! Abang selfish!” Rania sudah tidak mampu menahan lagi deras airmata yang mengalir. Harris mengacak rambutnya frustasi. Dia kembali meraih tangan istrinya yang tadi sudah terlepas dari genggaman. “Tolong mengerti Abang.” “Abang yang harusnya mengerti perasaan Nia, maaf, Nia tidak sanggup kalau harus berbagi suami. Nia tidak mau hidup bermadu.” Rania menarik tangannya, tidak mau disentuh oleh Harris, hatinya sakit. Perlakuan manis Harris tadi malam rupanya hanya drama saja, dia menyangka masalah Harris dengan Safina sudah selesai dan mereka tidak jadi menikah, dipikirnya tadi malam adalah
Semua mata tertuju pada sumber suara, tampak Rania sedang berdiri di sebelah ibu mertuanya yaitu Datin Maria. Harris yang merasa tidak percaya langsung menghampiri istrinya. “Are you serious, Sayang?” tangan istrinya diraih dan dibawa duduk di sofa, di sana sudah ada keluarga yang lain. Rania tidak menjawab pertanyaan Harris tidak juga mau melihat wajah sumringah suaminya. “Terima kasih sudah memudahkan semuanya Sayang.” tangan Rania diciumnya lama. Datin Maria tersenyum sinis, dia merasa sudah menang, akhirnya permintaan dan permohonannya pada Rania waktu di bilik Harris tadi ditunaikan oleh menantunya itu. FLASHBACK Rania segera keluar dari dalam kamar mandi setelah mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar, pintu kamar dibuka, tampak Datin Maria sedang berdiri sambil tersenyum padanya. “Mama.” “Boleh Mama masuk?” “Eh, tentu boleh, sila masuk Ma, ada
Rania mengangkat wajah, air matanya jatuh. 3 hari lagi. Ya, tiga hari lagi suaminya akan menjadi milik orang lain. Tidak lagi mutlak miliknya. Rania mengusap air matanya, Harris menggenggam erat tangan sang istri. “Tolong jangan sedih, Abang janji akan menjaga hak Nia, demi Abang dan keluarga ini, tolong ikhlas Sayang.” Rania mengangguk lemah, dia teringat permintaan ibu mertuanya saat di kamar tadi. Dia harus kuatkan diri, banyak yang bergantung harap padanya, bahkan suaminnya sedang memohon pertolongannya sekarang. “Nia akan coba.” bisiknya pelan. “Kalau semua sudah deal, biar Papa akan menghubungi pihak keluarga Tan Sri Ja'afar.” ujar dato' Jamal. “Betul itu, call saja atau kita datang ke kediaman mereka Abang?” tanya Datin Maria pada suaminya. “Bersiaplah Ma, kita akan pergi ke rumah Tan Sri.” “Baik Pa.” Datin Maria bergegas menuju kamarnya. H
Sepanjang perjalanan menuju KLCC, Rania lebih banyak diam, dia lebih suka menikmati suasana malam hari di bandar Kuala Lumpur, diiringi suara radio yang sengaja dikeraskan volumenya oleh Suhana, lampu gemerlap sepanjang jalan seolah mengajak Rania untuk kembali tersenyum dan melupakan masalah yang memenuhi kepalanya. Suhana yang paham akan masalah wanita di sebelahnya hanya diam, suara DJ dari radio Era FM menghibur mereka dengan candaan-candaan yang lucu. Tiba-tiba suara DJ berganti dengan lagu yang familiar di telinga Rania, lagu dari artis terkenal bernama Rossa HATI YANG KAU SAKITI lirik lagu by Rossa Jangan pernah katakan bahwa Cintamu hanyalah untukku Karena kini kau telah membaginya Maafkan jika memang kini Harus ku tinggalkan dirimu Karena hatiku slalu kau lukai Tak ada lagi yang bisa ku lakukan tanpamu Ku hanya bisa
Harris kaget dan segera melepas tangan Safina setelah ia melihat istrinya sekarang sedang berdiri di depannya. Sementara Safina yang merasa terganggu menghentakkan kakinya ke rumput-rumput taman yang cantik dan tebal. Ia merasa kesal. “Nia sudah balik? Sudah lama sampai rumah?” Harris mendekati Rania, tangan istrinya diraih tapi segera ditepis, Rania masih marah padanya.“Safina, i sudah sampai rumah ada baiknya you balik dulu, sudah malam tak elok di luar sampai larut.”“Oke, i balik. Bye Is, bye Nia.” Safina masuk ke dalam mobil dan pulang dengan sopirnya. Harris menatap wajah Rania yang datar tanpa ekspresi.“Jom(ayo) masuk, Nia pasti letih kan?” Rania tidak menyahut. Barang belanjaan yang tadi diletakkan di meja taman diambil dan dia melangkah mendahului suaminya. Kebisuan mengiringi langkah keduanya, sakit hati yang Rania rasa seolah bom atom yang akan meledak sewaktu-waktu. Dia seperti dikuasai emosi yang meluap-luap,