Suara kicauan burung terdengar menggantikan para pengisi suara serangga malam. Semburat keemasan mulai terlihat dari ufuk timur, mengganti tugas gelap malam dengan cahaya terang mentari. Seruni keluar dari kamar dengan menggunakan gamis dan kerudung yang dikirimkan oleh Arya, untuk dipakainya saat akad nikah nanti. Anggota keluarganya yang sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan, serentak menoleh padanya begitu dia menampakan diri. Decakan kagum dari semua terdengar, atas penampilan Seruni yang begitu memukau. "Ya, Allah, Teteh! Cantik banget!" Rara menderap langkah memburu kakaknya yang mematung di ambang pintu, dia menatap takjub pada sang kakak yang tersipu malu. Soleh dan Lastri saling pandang, mengagumi pesona sang putri yang ternyata begitu memesona. Pantas saja lelaki matang dan mapan seperti Arya menginginkan anaknya, ternyata lelaki itu bisa melihat kecantikan tersembunyi seorang Seruni. Sedang si Bungsu Robi menatap tak berkedip pada Seruni, dengan mulut setengah te
"Loh, Den Arya?""Assalamu'alaikum, Bu?""Wa'alaikumussalam,""Runi?""Runi? Ada tapi ...." penjelasan Lastri terjeda, saat mengingat kalau Seruni tengah menangis tanpa dia tau sebabnya. Dia menoleh ke ruang makan. "Seruni kenapa, Bu?" Arya melongokan kepalanya ke dalam, mengikuti arah pandang Lastri. "Masuk saja, Den. Runi sedang sarapan." Lastri memberi ruang pada Arya untuk memasuki rumahnya. "Ibu duluan." Arya meminta Lastri untuk membimbingnya masuk. Lastri menganguk dan mendahului Arya masuk. Hingga pemandangan Seruni yang tengah menangis di meja makan, menyambut kedatangan Arya. "Tuh, Runi lagi nangis!" tunjuk Lastri. Lalu beranjak ke dapur meninggalkan Arya untuk berbicara dengan Seruni. Arya melangkah perlahan, mendekati Seruni yang belum menyadari kedatangannya, isakan Seruni terdengar membuat Arya semakin heran, kenapa gadis itu menangis? Tiga puluh menit lalu, suara ceria gadis itu membuai pendengarannya, namun kini isakan Seruni membuat Arya bertanya-tanya. Menari
Membawa gamis yang sudah membuatnya menangis pagi-pagi, Seruni memeluk benda itu seakan sedang berdamai agar ketakutannya berkurang. Menghentikan langkah tepat di ambang pintu kamar, Seruni melihat pada Arya yang ternyata sudah berdiri di dekat kamarnya. Tak sabar menunggu Seruni mendekat, Arya datang menyambut gadis itu. "Mana?" tangan Arya terulur meminta baju yang masih dipeluk Seruni. 'Andai aku bisa seperti baju itu! Tenang Arya ... dua hari lagi! Setelah itu kamu bisa melakukan apa saja pada gadis itu.' Tangan Seruni bergetar memberikan baju yang dipeluknya pada Arya. "Ini ... Aa.""Ikut aku sekarang, kamu tidak usah kuliah, tadi aku sudah meminta Kang Bara untuk izin ke kampus kamu," kata Arya tanpa melihat sama sekali baju yang Seruni berikan padanya. Seruni menatap Arya kaget. "Izin? Tapi kenapa? Bukankah besok juga aku izin, A?" "Karena kita harus mencari baju lain untuk kamu pakai besok malam.""Tapi itu sobeknya sedikit, A. Coba Aa periksa!" terang Seruni sambil men
Mobil Arya mulai melaju pelan, melintasi jalanan berbatu yang bergelombang, Seruni melirik takut pada Arya yang masih diam. Ah, sungguh ... Seandainya dia belum tahu sikap Arya yang romantis, mungkin dia tidak akan perduli Arya bersikap judes padanya. Tapi karena Seruni sudah tahu sisi lain Arya, Seruni jadi tidak nyaman. "Aa ...!" suara Seruni memecah keheningan di dalam kabin, "Hmm!""Jangan marah!"Hening. Seruni merasakan sesak dalam dadanya. Air mata kembali berkumpul di pelupuk mata mendesak ingin keluar, membuat panas mata Seruni. "Runi minta maaf, Runi tahu sudah ceroboh. Runi ... Runi ... Huhuhu!" Seruni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sesak di dada, membuat tenggorokannya tercekat. Arya kaget melihat Seruni menangis, dia menyesali sikap isengnya yang membuat Seruni kembali menangis. Menepikan mobil, Arya memberanikan diri menyentuh tangan Seruni yang menutupi mukanya. "Hei ... Sayang! Jangan nangis! Aku tidak marah!" Seruni menahan tangannya agar tidak
Begitu sampai di rumah penjahit langganan sang ibu, Arya disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan ramah. "Eh, Den Arya ... apa kabar?" tanya wanita yang telah diberitahukan Arya pada Seruni bernama Euis. "Alhamdulillah, sehat, Bu.""Ibu Sukma sehat?""Alhamdulillah." Euis menoleh pada Seruni yang duduk di samping Arya dengan tersenyum malu-malu, "Ini ... keponakan?" Sepasang calon pengantin itu saling pandang, lalu tersenyum malu. Apalagi Seruni, wajahnya sudah merona."Ini ... calon istri Arya, Bu," jawab Arya tanpa ragu. Mendengar penuturan Arya, Euis terkesiap kaget. Bagaimana mungkin calon istri Arya masih sangat belia. "Eh ... calon istri?!" "Iya, Bu. Calon istri," tandas Arya menegaskan perkataannya. "Oh, iya, saya turut senang mendengarnya." Euis tersenyum penuh pengertian."Terima kasih, Bu. Dan maksud kedatangan kami." Arya menyimpan baju yang sedari tadi dalam genggamannya ke meja. "Tolong diperiksa, apakah baju ini masih bisa diperbaiki?" Euis memeriksa ba
Sukma--ibu Arya-- berdiri menunggu Arya dan Seruni yang baru turun dari mobil. Senyum lebar sang ibu, membuat Arya semakin ingin cepat mendekat, dan menyampaikan rasa bahagianya. Bahagia karena keinginan hati yang pernah disampaikan pada Sukma, sebentar lagi akan menjadi nyata. Walau mungkin sebagian orang tidak mengerti dengan jalan pikirannya, namun Sukma mendukung penuh keinginan anak tercinta. Seruni berjalan perlahan di sebelah Arya. Meskipun sudah menyemangati dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, tetap gadis belia itu merasa khawatir. "Jalannya dipercepat, Sayang. Ibu sudah tidak sabar untuk memeluk calon menantu kesayangannya," ujar Arya meyakinkan. Benarkah? Seruni menoleh, tersenyum kikuk dengan jemari yang tak henti mengepal. Dia semakin gugup saat jarak semakin dekat dengan Sukma, yang kini terlihat tak sabar. "Selamat datang, Neng Geulis. Ayo, sini cepat! Ibu tak sabar ingin memeluk," panggil Sukma seraya melambaikan tangan. Seruni sedikit lega melihat sambutan
"Runi?! Kok, melamun? Kenapa?" Sukma menarik kesadaran Seruni yang mengembara, menyadarkan dia dengan situasi saat ini. Seruni menundukan wajahnya dalam, menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya sudah tertebak oleh Arya. 'Aku tidak akan memberikan kamu waktu untuk memikirkan dia, Runi. Karena kamu akan menjadi milikku.' Menarik napas dalam, Seruni mencoba bersikap biasa kembali, menutupi gelisah hati dengan kenyataan yang baru saja terkuak. "Em ... Runi tidak apa-apa, Bu. Maaf, Runi tidak memperhatikan apa yang Ibu bicarakan tadi. Bisa diulang, Bu?" Seruni tersenyum canggung, merasa sudah bersikap tidak sopan pada Sukma yang sudah menerimanya dengan baik. "Kamu tidak fokus, ya?! Pasti memikirkan tidak ke kampus sekarang. Benar?" Seruni mengangguk memilih mengiyakan semua perkataan Sukma agar tidak curiga. Apa lagi di depannya, Arya terus menatapnya penuh selidik, "I-iya, Bu. Runi jadi bolos. Karena ... karena tadi, membuat baju yang akan dipakai buat akad sobek kena paku." Seruni
Sukma kembali ke ruang tamu bersama salah satu pekerjanya, membawa nampan berisi minuman dan beberapa macam cemilan, saat tak menemukan Seruni di ruang tamu, Sukma menoleh pada kamar Aji yang terbuka. 'Mungkin masih di kamar mandi.' Pikir Sukma dengan wajah yang terus tersenyum bahagia, harapan putra tertuanya membangun rumah tangga akan segera terlaksana. Besok malam, dia akan mengantarkan putranya itu mengikat janji suci atas nama Illahi, meminang gadis pilihannya sendiri, menikahi gadis yang baru lulus sekolah untuk dijadikan istri. Kalau jalan jodohnya seperti itu, tidak ada yang salah kan? Tentu saja. Dulu saja dia juga menikah dengan Tirta Subrata saat usianya sama dengan Seruni. Dan dia berhasil mempertahankan rumah tangga sampai tiga puluh enam tahun lamanya. "Simpan di sini, Bi. Kopi buat Arya antarkan ke tempat kerjanya saja," perintah Sukma pada Bi Asih yang mengangguk patuh. "Ini ada tamu siapa ya, Bu?" tanya Bi Asih yang memang sengaja tidak diberitahu oleh Sukma me