Satu hal yang paling Celine sesali adalah dirinya yang mendatangi apartemen Dominic tanpa berpikir dua kali. Masih dengan napas tersengal-sengal, dia menatap pintu apartemen di depannya. Lantai dan nomor apartemen yang masih dia ingat dengan jelas. Sayangnya, di sana dia dibuat ragu oleh apa yang akan terjadi nantinya. Celine takut Dominic akan berbuat macam-macam terhadapnya, tapi membayangkan pakaian dalamnya menjadi objek fantasi seksual lelaki bejat itu, membuat Celine tidak terima.
Alhasil, dengan mengumpulkan segala keberanian, dia membunyikan bel. Suasana lorong di sekitarnya tampak sepi. Mungkin karena lantai di mana Dominic berada saat ini, sangat jarang dihuni. Hanya dengan melihat apartemen Dominic saja, Celine tahu kalau fasilitas yang dipakai benar-benar mampu mengorek kocek sangat besar.
Di sisi lain, Dominic yang sedang asyik membaui benda milik Celine, tersentak saat mendengar suara bel berbunyi. Dia mengangkat alisnya dan menduga siapa yang datan
Celine membelalakkan matanya saat mendengar perkataan lelaki itu. Dia secara spontan menendang tubuh Dominic dengan sangat keras dan bangkit dari ranjang untuk melarikan diri. Tentu karena dirinya tidak mau berakhir menjadi wanita simpanan. Sayangnya, tendangannya tidak terlalu memberi efek berarti dan membuat Dominic bisa dengan cepat bangkit kembali. Lelaki itu dengan mudah meraih pergelangan tangan Celine dan menariknya ketika hampir mencapai pintu."Setelah menampar, menendang dan membuatku marah, kauingin melarikan diri?"Celine mengetatkan rahangnya. Dia memberontak, sialnya Dominic telah mengunci lengannya dari belakang hingga sulit baginya melepaskan diri. "Lepaskan, Sialan! Ah—"Ucapan Celine terpotong saat tubuhnya tanpa diduga diangkat oleh Dominic dari belakang. Dia yang belum sempat berontak, sudah di lempar kembali ke ranjang dengan tubuh Dominic yang mengurungnya. Mata hazel itu tampak menyala-nyala karena emosi. Celine sedikit takut melihat
Celine membuka pintu rumah dengan perasaan gelisah. Keringat tampak keluar dari wajahnya. Sesekali, dia mengusap lehernya. Koper miliknya diseret pelan dan hati-hati. Ruang tengah itu sudah kosong. Tidak ada sang suami atau anaknya. Tentu saja, malam ini sudah cukup larut. Celine baru kembali setelah tidur dengan Dominic. Dia datang seperti hanya untuk memuaskan hasrat lelaki itu.Senyum kecut muncul di bibirnya, Celine menyesali apa yang terjadi. Dia menutup pintu dengan pelan dan menghembuskan napas berkali-kali. Saat ini dirinya tidak bisa untuk tenang. Sikap Dominic telah mengingatkannya pada kejadian di masa lampau. Seseorang yang membuat masa depannya hancur. Kedua tangannya mengepal erat, Celine benci mengingat kebodohannya dulu.Sambil memijat pelipisnya pelan, Celine membuka pintu kamar dengan hati-hati. Matanya menemukan sang suami berbaring membelakangi. Celine mengira jika Rayyan sedang tidur, akan tetapi dugaannya salah ketika lelaki itu berbalik dan men
Sepanjang hari, Celine tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Dia rasanya ingin pergi menemui sang suami dibanding duduk dan berkutat dengan laptop. Rasa lelah menderanya. Apalagi setelah malam kemarin yang masih lekat dalam ingatannya. Celine yang menahan kesal dan mengutuk dirinya, tanpa sadar menekan terlalu keras bolpoin miliknya hingga goresan pena terlihat di atas kertas yang merupakan berkas penting. Proposal kerjasama yang harus dia berikan pada Dominic, kini telah rusak. Celine harusnya memberikan itu, tapi karena atasannya tidak ada, dia belum berani masuk ke dalam. Sialnya, dia tidak sadar dengan apa yang terjadi. Hingga selang lima menit kemudian, pintu terbuka, Dominic sudah tiba dengan jas yang tadinya terkancing rapi, kini terbuka dan memperlihatkan kemeja putihnya. Celine yang menyadari kehadiran lelaki itu sontak berdiri dengan refleks. Tindakannya yang terkejut, menyenggol dan membuat segelas kopi di samping kirinya jatuh. Untung tidak ada berkas yang terkena
"Kau tahu, seharian ini kau membuat banyak kesalahan, Celine. Kau tidak fokus saat meeting, kau juga salah menginput data, memecahkan gelas dan merusak dokumen. Katakan, apa yang membuatmu seperti ini?"Sembari duduk di kursinya, Dominic menatap Celine penuh intimidasi. Kedua tangannya terlipat di atas meja. Dia kesal? Tentu saja, Dominic harus menahan diri sejak saat Celine melakukan banyak kesalahan. Wanita itu seperti sedang menguji emosinya. "Celine, katakan. Kau tidak sedang berusaha membuatku sakit kepala 'kan?"Celine masih menunduk di kursinya. Dia mengepalkan tangannya. Bibirnya ingin mengatakan jika semua ini adalah salah lelaki itu sendiri. Dominic telah membuatnya tidak bisa berkonsentrasi sejak tadi. "Maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi.""Berhenti minta maaf, aku tidak butuh itu. Aku hanya ingin kau jujur, apa kau memiliki masalah? Jika kau terus seperti ini, kau bisa saja—""Apa saya akan dipecat?" Celine mengangkat kepalan
Dominic duduk tenang sembari menatap Giovanni yang ada di depannya. Sementara di sampingnya, ada Tiffany yang tengah memeluk erat lengannya. Wanita itu tersenyum dan bersikap begitu manja. Padahal sebelumnya, mereka tidak pernah sedikit pun berdekatan seperti ini. Dominic selalu risih. Dia bukan tipikal lelaki yang senang ditempeli wanita. Apalagi setelah peristiwa di masa lalu. Hanya Celine yang selama ini dibiarkan dekat dengannya. Dia selalu merasa nyaman di samping wanita itu. Mungkin karena Celine selalu bersikap tak acuh? Di saat para wanita tanpa tahu malu mendekat, wanita itu justru tidak tertarik semenjak pertemuan pertama mereka."Maaf, Tuan Gio, saya baru bisa menemui Anda secara pribadi," ucap Dominic sembari menatap datar lelaki paruh baya yang tersenyum lebar ke arahnya."Kenapa masih bersikap formal? Kau akan segera menjadi menantuku. Panggil saja aku sebagaimana putriku memanggil. Lagi pula, ini bukan area pekerjaan."Layaknya seorang ayah
Di sebuah ranjang, terlihat seorang wanita terusik dalam tidurnya saat dering ponsel berbunyi nyaring. Dia mau tak mau harus terbangun dan meraih ponsel miliknya yang ada di sampingnya. Mengangkat panggilan itu karena tidak mau suaminya yang masih tertidur pulas setelah kegiatan panas mereka semalam, harus terbangun."Halo? Siapa ini?""Celine, ini aku. Dominic," balas sebuah suara di seberang telepon.Celine yang awalnya mengangkat panggilan setengah mengantuk, seketika dibuat melotot dan tersadar. Dia segera menatap nomor yang menghubunginya dengan kaget. Hatinya bertanya-tanya, kenapa Dominic menghubungi pagi-pagi sekali? Jam masih menunjukkan pukul empat pagi. "Ada apa?""Aku tidak bisa masuk kerja hari ini. Tolong kau urus dan batalkan semua pertemuan hari ini."Kening Celine mengernyit, dia ingin menanyakan apa yang terjadi dengan lelaki itu sampai Dominic memutuskan tidak berangkat kerja, tapi dia sedetik setelahnya,
"Ada apa kalian memanggilku, Ma, Pa?"Dominic berjalan masuk ke dalam rumah orang tuanya dengan langkah santai. Dia melihat Kenneth dan Daisy menoleh. Ekspresi penuh khawatir terlihat di wajah wanita tua itu yang seketika berjalan menghampiri Dominic."Astaga, Sayang, apa yang terjadi? Kenapa dengan wajahmu?" pekik Daisy sambil membolak-balik wajah Dominic. Lebam dan beberapa luka memenuhi wajah tampan putranya. Menimbulkan perasaan cemas yang berlebih. Dia tidak bisa untuk tidak curiga dengan apa yang terjadi pada Dominic. Peristiwa di mana anaknya dulu dipukuli, kembali muncul dalam kepalanya. "Apa kamu dikeroyok lagi?""Hentikan, Ma, aku baik-baik saja. Ini hanya perkelahian biasa. Sekarang, ada apa kalian memanggilku?" Dominic melepaskan kedua tangan Daisy dan berjalan mendekati sofa. Dia mendudukkan bokongnya di depan Kenneth, bersama Daisy yang duduk di sebelahnya. Wanita tua itu masih khawatir dengan apa yang terjadi pada anaknya."Tidak ada, Mama hanya pe
"Sayang, apa kamu tahu siapa yang membayar iuran sekolah Al?" Rayyan mendekat ke arah Celine yang saat ini tengah mendudukkan bokongnya di kursi kayu. Istrinya baru saja duduk setelah pulang dari kantor."Huh? Bukannya kamu yang membayarnya?" tanya Celine dengan alis berkerut. Dia menatap suaminya bingung. Tadi pagi, saat Celine berniat menitipkan uang iuran sekolah Arion pada Marta, Rayyan menawarkan diri untuk memberikannya secara langsung ke sekolah sang anak."Tidak, uang yang kamu berikan masih ada di tanganku. Tadi wali kelas Al mengatakan kalau semua uang bayaran sudah lunas. Katanya, ada seorang perempuan yang datang dan membayarnya. Aku pikir itu kamu," tutur Rayyan sembari memberikan lembaran uang yang tadi Celine titipkan untuk bayaran. Semuanya masih utuh."Perempuan?"Celine terdiam dan berusaha mengingat-ingat sesuatu. Dia belum menyuruh orang untuk membayar iuran sekolah anaknya. Celine pun mendapat uang cukup banyak dari hasil pember