Dominic menatap rumah sederhana di depannya. Dia ikut masuk saat laki-laki yang tadi mengajaknya itu, mempersilakan dia masuk. Matanya seketika menjelajahi rumah tersebut. Memerhatikan dengan teliti. Sempit dan kecil, namun sangat bersih. Membuatnya tak henti menatap sekitar. Hingga dari arah salah satu ruangan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil sambil mengganti seragam sekolahnya.
"Papa!" serunya, cukup memekakkan telinga Dominic yang ada di sisi pria itu. Dia hanya diam melihat si bocah tersebut memeluk pria di sebelahnya. Seolah senang dengan kedatangannya. Namun tidak dengan Dominic.Anak kecil adalah hal yang sangat mengganggu dan membuatnya terkadang kesal dengan keberisikkan mereka. Akan tetapi, dia yang merupakan tamu jelas tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa diam memerhatikan keduanya. Sedikit tak terduga jika ternyata pria di sebelahnya telah memiliki anak. Dia pikir, pria itu masih lajang."Papa 'kan nggak boleh ke mana-mana. Nanti kalau Mama tahu bagaimana?" Dengan tatapan polosnya, sang anak menatap pria yang dipanggilnya papa. Hingga terlihat pria tersebut meringis karena ketahuan oleh anaknya."Sstt, Al nggak boleh bilang Mama, ya? Nanti Papa dimarahin."Dominic melihat interaksi ayah dan anak itu dengan alis terangkat. Terlihat' jelas anak kecil tersebut ragu-ragu. Mungkinkah ibunya adalah wanita yang galak? Meski setelah dijanjikan akan bermain, barulah anak kecil itu bersedia menutup mulut. Sedikit mengherankan baginya, biasanya anak kecil akan meminta mainan atau makanan sebagai tutup mulut. Namun untunglah, dia tidak perlu repot-repot melihat anak kecil itu."Sekarang, Al main dulu, ya? Papa ada tamu.""Al boleh main di luar 'kan, Pa?" tanya anak tersebut dengan mata berbinar."Tentu saja, asal jangan jauh-jauh.""Siap, Pa!"Setelah kepergian anak tersebut, barulah Dominic duduk di sebuah kursi kayu bersama pria yang sampai saat ini belum diketahui namanya itu. Menatapnya lekat dan memerhatikan tubuh pria itu dengan teliti. Pakaian sederhana dan kakinya yang sepertinya patah."Maaf sebelumnya, saya belum memperkenalkan diri. Saya Rayyan dan tadi itu adalah anak saya, Arion.""Saya Dominic. Tidak apa-apa, justru sayalah yang mengganggu acara kalian." Dominic tersenyum sopan."Dominic? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," gumamnya, Rayyan berusaha mengingat-ingat, namun dia tetap lupa. "Ah, maaf, Anda bilang, Anda butuh bantuan dan Anda bukan orang sini 'kan?"Dominic kembali teringat dengan tujuan awalnya yang berniat untuk mencari rumah Celine. Akan tetapi, setelah melihat-lihat, tidak ada salahnya meminjam ponsel dari laki-laki ini juga. "Iya, saya adalah korban perampokan. Semua harta benda saya dicuri semalam dan saya membutuhkan bantuan Anda.""Apa itu? Saya akan bantu kalau bisa.""Apa saya boleh meminjam ponsel Anda sebentar? Itu pun jika Anda berkenan," ucap Dominic dengan tatapan datarnya.Rayyan terdiam dan tampak memerhatikan Dominic. Wajah laki-laki itu terlihat sangat berbeda dari kebanyakan orang lokal di sini. Memiliki penampilan yang menonjol meski hanya sedang menggunakan kaos polos dan celana hitam panjang. Sedikit aneh dan sepertinya dia mengenal baju yang dikenakan oleh laki-laki itu, tapi tidak mungkin. Bisa saja baju itu hanya sama."Saya mengerti, akhir-akhir ini daerah kami cukup rawan perampokan. Beberapa hari yang lalu, istri saya juga tidak sengaja menolong orang, tapi jika Anda membutuhkan ponsel, sepertinya saya tidak bisa memberikannya. Saya tidak memiliki benda itu." Rayyan menatap Dominic sambil meringis. Ponselnya dulu sudah dijual. "Tapi mungkin, istri saya bisa membantu Anda. Hanya saja, dia akan pulang larut malam. Tempat ini juga cukup jauh dari pusat kota. Anda harus naik bus untuk sampai ke sana. Jika Anda masih bingung, Anda juga boleh beristirahat di sini."Dominic terdiam. Itu artinya dia harus menunggu untuk meminta sebuah bantuan. Tentu saja Dominic tidak mungkin pergi seorang diri ke kota tanpa uang sepeser pun. Akan tetapi, dia sebenarnya enggan kembali ke gubuk tua itu. Tubuhnya selalu sakit saat bersentuhan langsung dengan kayu yang menahan bobot badannya."Apa tidak apa-apa saya berada di sini?"Rayyan tersenyum lebar dan mengangguk. "Tentu saja. Anda pasti tidak memiliki tempat tinggal, apalagi hari sudah mulai sore."Meski belum gelap, tapi jika berkeliaran seorang diri, akan sangat berbahaya. Rayyan hanya ingin membantu. Dia khawatir kalau laki-laki ini kembali diserang oleh perampok dan matanya dapat menilai kalau Dominic adalah orang yang baik. Hanya berdasarkan firasat."Apa Anda tidak takut kalau saya adalah orang jahat?" Dominic sedikit bingung Rayyan yang percaya begitu mudah dengannya. Bahkan Celine pun masih menaruh curiga dan sangat berhati-hati ketika bicara."Saya hanya mempercayai intuisi saya. Kalau pun Anda berniat jahat, tidak ada barang berharga yang saya miliki."Spontan, mata Dominic melirik ke sekeliling ruangan. Laki-laki itu benar, pencuri pun tidak ada yang mau masuk ke rumah ini. Tidak ada satu pun barang berharga. Mungkin televisi? Tapi itu sudah sangat tua dan ketinggalan zaman. "Bisa saja saya menjual Anda."Rayyan terdiam dan menatap Dominic yang mengatakan itu dengan tatapan datarnya. Tidak terlihat sedang bercanda. Namun entah bagaimana, justru karena itulah tawa Rayyan meledak. "Maafkan saya, tapi saya percaya kalau Anda bukan orang seperti itu."Dominic tidak menanggapi dan hanya diam sambil menatap bingung ke arah Rayyan yang masih meredam tawanya. Apakah kata-katanya salah? Tidak tahukah laki-laki ini kalau ada orang yang memang sengaja menjual orang? Lebih tepatnya menjual 'organ-organ tubuh'? Benar-benar sangat mengkhawatirkan. Orang seperti Rayyan akan sangat mudah untuk dimanfaatkan."Ah, maafkan saya, saya lupa belum menyiapkan sesuatu. Apa yang Anda inginkan? Teh atau air putih?" tawar Rayyan dengan senyum lebar tersungging di bibirnya.Sebelum menjawab, Dominic menatap ke arah kaki Rayyan terlebih dulu. "Air putih.""Baiklah, tunggu di sini."Rayyan berusaha berdiri dengan dibantu oleh kruk. Tampak jika laki-laki itu sedikit kesulitan, meski pada akhirnya dia tetap bisa berjalan. Membuat Dominic yang melihatnya hanya bergeming. Ada banyak hal yang berputar di kepalanya saat melihat Rayyan. Naif.***Celine menatap jam di tangannya sambil menghembuskan napas kesal. Sudah jam sepuluh malam. Dia sedikit terlambat karena ketinggalan bus dan harus memesan taksi. Sayang sekali, uang yang harusnya dia gunakan untuk berhemat justru malah terambil. Sebenarnya, Simon sempat menawarkan tumpangan lagi, namun dia menolak. Alhasil, dirinya harus pulang sedikit terlambat dan membeli makanan Rayyan, Arion serta Dominic.Sayangnya, saat dia berjalan ke gubuk tua itu, Dominic sudah tidak ada. Hal tersebut tentu saja membuatnya kesal. Jika dia tahu kalau Dominic tidak ada, dia tidak perlu berjalan kaki cukup jauh. Taksi itu bisa mengantarkannya sampai di depan rumah. Benar-benar sial. Meski karenanya, Celine menduga kalau laki-laki itu sudah pergi.Bagus jika itu terjadi.Sesampainya di depan rumah, Celine dengan cepat berniat mengetuk pintu untuk membangunkan Rayyan. Namun tidak jadi saat dia mengingat kalau dia juga membawa kunci cadangan. Kasihan suaminya jika dibangunkan.Rumah dalam keadaan gelap begitu dia masuk. Membuat pandangan matanya menjadi tidak begitu jelas. Meski remang-remang, matanya bisa melihat sang suami tengah duduk membelakanginya. Celine tersenyum dan mengunci pintu, sebelum berjalan pelan untuk mengagetkan Rayyan. Sepertinya, laki-laki itu menunggunya pulang sampai ketiduran, karena suara pintu yang terbuka sama sekali tidak mengusiknya."Rayyan, apa kamu menungguku pulang?" Celine serta merta mengalungkan tangannya di leher sang suami dan memberi kecupan mesra di pipi laki-laki itu dari belakang. Rasa lelahnya sedikit terobati karena tahu Rayyan ada di sana. Namun semua itu tak berlangsung lama saat tangannya tiba-tiba disingkirkan dan laki-laki yang awalnya dia peluk menoleh.Celine harus menajamkan matanya untuk melihat sosok laki-laki itu. Sampai tiba-tiba, seseorang keluar dari dalam kamar anaknya dan lampu kembali menyala. Barulah Celine bisa melihat suaminya yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kamar. Bukan duduk di kursi sembari membelakanginya."Rayy--""Sayang, akhirnya kamu pulang." Rayyan tersenyum lebar dan berjalan tertatih dengan kruk menghampiri Celine. Tak menyadari wajah pucat Celine saat tahu kalau yang dia peluk dan kecup, bukanlah suaminya. Lalu siapa? Celine tak berani untuk melihat, matanya terus tertuju pada Rayyan, sampai sebuah suara yang dia kenal masuk ke dalam gendang telinganya."Celine?"Cup.Sebuah kecupan lembut menyentak kesadaran Celine dari lamunannya. Dia menoleh ke arah suaminya yang kini memeluk erat tubuhnya. Bibirnya mengukir senyum manis ketika Dominic mencuri satu ciuman di sana. Sungguh, Celine tidak percaya dengan kenyataan bahwa kini dia menikah dengan lelaki licik yang menjeratnya.Pernikahan yang melelahkan tadi pagi, membuat Celine akhirnya bisa beristirahat sejenak setelah pesta resepsi dan segala adat istiadatnya. Meski sekarang, dia tentu akan melaksanakan kewajibannya sebagai istri Dominic. Melayani suaminya."Kenapa kau belum tidur? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Dominic sambil meletakkan kepalanya di pundak Celine. Dia meraih tangan istrinya, namun Dominic mengernyit bingung menyadari ada sesuatu yang dipegang oleh Celine. Dia menarik benda itu dan melihatnya. Membuat Celine mau tak mau ikut berbalik. "Apa ini?""Itu—""Rayyan?"Dominic menatap benda yang ternyata adalah foto Rayyan dan Celine dengan Arion. Ke
Celine terdiam menatap pantulan dirinya depan cermin. Dia tengah mencocokkan gaun pernikahannya dengan Dominic. Setelah lebih dari tiga bulan sejak kematian Rayyan dan persiapan pernikahan, dia akhirnya akan segera menyandang status sebagai istri dari Dominic. Lelaki yang dia cintai sekaligus ayah dari anaknya.Pandangan Celine kemudian terpaku pada perutnya yang membesar. Dia mengusap lembut calon anaknya. Gaun pengantin itu sengaja dibuat besar di bagian perut dan tidak terlalu ketat agar dia tidak terlalu sesak karena perutnya yang buncit. Celine harap dia tidak akan menyesal dengan pilihannya. Dia juga berharap Dominic mengubah sikap buruknya. Meski memang, lelaki itu menjadi lebih perhatian padanya. Namun kadang kala, Dominic keras kepala dan masih tidak mau mengalah dalam beberapa hal. Terutama masalah Dominic yang berubah menjadi sangat overprotektif. Baik padanya atau pada Arion. Dia kadang harus memasang ekspresi marah dulu agar Dominic mengalah.Celine
Celine tersenyum menatap anaknya yang tidur nyenyak bersama Dominic. Arion benar-benar tampak sangat akrab dengan lelaki itu. Celine tidak percaya, hubungan Dominic dengan Arion bisa sedekat ini. Haruskah dia menikah dengan Dominic? Tapi Celine belum melupakan Rayyan, suaminya yang meninggal karena menyelamatkannya. Semua itu membuatnya kembali sedih.Air mata tanpa sadar kembali menetes. Celine mengusapnya kasar dan berbalik untuk pergi. Namun saat dia akan menutup pintu, terlihat Dominic yang terbangun. Lelaki itu mengusap matanya dan menoleh. Lalu bangkit dan menghampirinya."Celine?""Maaf, apa aku membangunkanmu?" tanyanya dengan wajah tidak enak ketika Dominic berjalan mendekat. Celine bisa melihat wajah lelaki itu yang tampak mengantuk. Dia merasa bersalah karena mengganggunya."Tidak, maaf aku ketiduran. Aku tidak sengaja." Dominic tersenyum seraya menutup pintu kamar dan membiarkan Arion sendiri."Kenapa minta maaf? Tidurlah kembali, seperti yang ka
Celine menatap kejauhan rumah milik Dominic. Dia merasa gelisah dan tidak tenang. Celine penasaran, tapi dia ragu untuk mendekat. Ada banyak rasa takut yang menguasainya. Setelah satu minggu lalu berbincang ringan dengan mantan managernya, Celine memutuskan untuk melihat keadaan Dominic dari jauh. Sayangnya, dari jarak seperti ini, dia tidak menemukan siapa pun dan tidak tahu keadaan Dominic.Haruskah dia melangkah lebih dekat?Tidak, Celine merasa bersalah. Dia payah. Dia sudah berjanji untuk pergi dan tidak berhubungan lagi dengan Dominic. Lelaki itu juga pasti sudah membaca surat yang dia titipkan pada Marta. Bagaimana mungkin dia membatalkan niatnya dan menjilat ludahnya sendiri? Jangan konyol! Dia tidak boleh kembali kembali pada Dominic.Kepalanya terus berusaha menahannya dan memintanya untuk berbalik pergi meninggalkan rumah yang ada di seberang jalan. Namun hatinya menyuruhnya tetap melangkah. Pergi menemui Dominic dan memastikan keadaannya. Kepalanya terasa
Dominic keluar dari ruang meeting dengan dibantu Jerry. Dia akhirnya harus turun dari posisinya sebagai CEO dan menerima surat pengunduran diri dari Celine. Dominic bisa menerima dia diturunkan, tapi dia tidak bisa menerima saat mengetahui fakta bahwa Celine pergi darinya. Wanita itu meninggalkan rumah lama dan entah pergi ke mana. Itu membuat hatinya kacau. Dominic merasakan sakit di dadanya. Dia ingin mencari keberadaan Celine dan mendapatkan wanita itu kembali. Dominic sudah berjanji pada Rayyan dan dirinya yang akan menjaga mereka. "Jerry, apa Celine sudah ditemukan?" "Belum, Tuan. Kami masih mencarinya," ucap Jerry sambil membawa turun Dominic menuju mobil di area basement. "Apa tidak ada yang tahu, dia pergi ke mana?" "Tidak, tapi saya diberikan sebuah surat dari seorang wanita tua bernama Marta. Beliau bilang, itu dari Nyonya Celine untuk Anda." Jerry membantu Dominic masuk ke dalam mobil dengan susah payah. Hingga kemudian dia segera berjalan kembali menuju kemudinya. Sebel
Setelah seminggu lebih berada di dalam rumah sakit dan tidak bisa ke mana-mana, akhirnya sekarang Dominic sudah diizinkan untuk pulang, meski itu atas dasar pemaksaan. Dia bisa istirahat di rumah. Sayangnya, seolah baru usai masalah yang dia hadapi, Dominic menerima kabar dari ayahnya yang cukup buruk. Scandal yang menjeratnya enam tahun lalu dan perselingkuhannya terungkap. Beberapa investor ada yang menarik diri dari proyek baru mereka dan saham perusahaan turun drastis. Para pemegang saham pun menuntut diadakan rapat.Dominic tahu pada akhirnya ini akan terjadi. Dia mau tak mau harus mengakui kesalahannya dan menerima konsekuensi atas perbuatannya. Mungkin dia akan diturunkan secara tidak hormat atau bahkan dipenjara. Namun untuk yang kedua, dia tidak mendengar adanya tuntutan, Celine tidak menuntutnya. Apa orang tuanya sudah mengantisipasi hal ini?"Kamu tenang saja. Jangan terlalu memikirkan itu. Tugasmu adalah menyembuhkan diri," ucap Daisy seolah tahu apa yang
Di dalam sebuah padang rumput yang luas, Dominic berdiri kebingungan. Dia tidak tahu di mana dia berada saat ini. Hanya desiran angin yang terdengar. Dia bergeming untuk sejenak. Sampai rasa takut mulai menguasainya. Tidak ada Celine, Arion atau orang tuanya. Tidak ada jalan keluar yang terlihat dan tidak ada seorang pun di sini.Apa dia sudah mati?Pertanyaan itu memenuhi isi kepalanya. Membuatnya ketakutan dan tanpa sadar berlari ke depan. Namun sayangnya, dia tidak melihat jalan keluar. Semuanya hanya padang rumput. Dia yang berlari tanpa alas kaki, tentu saja membuat duri-duri melukai kakinya, hingga mengeluarkan darah. Meski hal tersebut sama sekali tidak membuatnya memelankan langkah kakinya.Sayangnya, di sana Dominic seolah berputar-putar dan hanya rasa lelah yang dia dapat. Suara napasnya yang saling memburu terdengar jelas. Sampai akhirnya, Dominic memutuskan untuk berhenti. Dia jatuh terduduk di antara rerumputan itu. Satu persatu, air matanya berjatu
Pandangan Celine mulai buram oleh air mata. Hatinya hancur saat melihat orang yang dia cintai telah pergi meninggalkannya. Bukan tempat atau waktu yang menjadi pembatas, tapi alam lain. Dia tidak kuasa untuk menahan tangisnya dan jatuh di atas makam itu. Beribu penyesalan atas pengkhianatan yang dia lakukan, kini membuat dadanya terasa amat sangat sakit. Pedang berkarat seolah menembus dan mengoyak tubuhnya menjadi serpihan kecil. Beberapa orang yang datang untuk mendoakan, mulai pergi perlahan dan meninggalkannya yang kini merasakan kehilangan.Penyesalannya terlambat. Celine tidak bisa meminta maaf pada sosok yang dia sakiti. Orang yang selalu menjaganya selama ini dan melindunginya saat dia jatuh. Rayyan telah menghukumnya dengan penyesalan yang begitu dalam. Lelaki itu pada akhirnya telah pergi membawa separuh hatinya. Celine menyesal, tapi dia terlambat untuk mengungkapkan penyesalannya."Ra-rayyan maafkan aku. A-aku bukan istri yang b-baik untukmu. Maafkan aku,"
"Lepaskan Dominic, atau aku akan menembakmu," ancam Celine sambil menodongkan senjata tepat ke arah Jared. Namun lelaki itu terlalu cerdik, hingga menarik tubuh Dominic dan membuatnya sebagai tameng.Celine menelan ludahnya kasar. Air mata lagi-lagi menetes tanpa dikomando. Kondisi Dominic yang dalam keadaan memperihatinkan, membuat hatinya teriris. Lelaki itu menggeleng dan memerintahkan untuk dia pergi. Akan tetapi, Celine tidak mengindahkan. Dia tetap berdiri pada posisinya. Meski pegangan tangannya pada pistol terlihat gemetar, tapi itu tidak menyurutkannya untuk meninggalkan lelaki itu begitu saja."Dia lelaki yang membuat hidupmu menderita. Dia meniduri dan menghamilimu begitu saja. Bukankah seharusnya kau membunuhnya?" ucap Jared sambil mengangkat dagu Dominic dan membuat wajah lelaki itu terlihat oleh Celine.Pandangannya berubah gemetar. Dia tidak suka situasi ini. Celine membencinya. Dominic memang bersalah, tapi saat ini lelaki itu sudah mengakui semu