Share

Tawaran yang Tak Bisa Ditolak

Ruangan itu tidak semegah dan seluas dugaan Fjola. Letaknya pun jauh dari bangunan utama istana. Setelah Ishak memberitahunya bahwa raja telah menunggu, Fjola merasa ada yang keliru. Dia bukan siap-siapa, dan hanya tahanan biasa. Seharusnya, pria yang berada di sel satunyalah yang dibawa ke hadapan raja, bukan dirinya.

“Eh, maaf, Tuan—em, Nona—Ishak. Mungkin kau salah mengambil orang,” katanya.

“Memangnya kau pikir aku buta? Sudahlah, ikut saja. Cepat!” Ishak, mendorong bahu Fjola dengan kasar. “Panggil aku Ishak saja daripada kau bingung antara Tuan dan Nona.”

“Er ... oke.” Fjola bingung harus menjawab apa. 

Mereka sampai ke tempat pertemuan raja dengan dewan-dewannya. Namun, bukan ke sana Ishak membawanya. Ia memutar arah ke belakang hingga melewati paviliun dan danau. Setelah naik ke bukit di belakang paviliun, tampak pondok kecil berdiri di sana. Pintu pondok itu terbuka. Saat mendekat, Fjola dapat mendengar suara seorang gadis yang memohon. “Kumohon, Ayah, biarkan aku saja yang pergi.”

“Tidak! Tolong mengertilah, anakku,” suara berat sang raja terdengar. Fjola pernah mendengar suara itu satu kali.

Waktu itu dia tengah berebut makanan yang dibagikan di alun-alun kota pada ulang tahun putri raja, Briet. Kabarnya, sang raja amat menyayangi putrinya satu itu. Ia bahkan membagikan sendiri makanan itu ke tangan para penduduk yang kelaparan. Karena saking laparnya, mereka yang antri mulai saling dorong. Gelegar suara raja saat itu langsung membungkam mereka semua.

Sampai sekarang, Fjola tak bisa melupakan gelegaran itu. Ia seratus persen yakin bahwa pemilik suara yang didengarnya itu adalah Raja Erik. Tetapi, ada yang aneh dengan suara yang didengarnya barusan.

Suara sang raja yang didengarnya tadi tidak semengerikan dulu. Bahkan, Fjola mendapat kesan ada keputusasaan di dalamnya.

“Tunggu dulu di sini,” kata Ishak menahan langkahnya. Ia lantas masuk ke dalam pondok. Tak lama kemudian, setengah badannya mengintip dari pintu. Ia mengedikkan dagu, menyuruhnya masuk.

Perlahan, Fjola melangkah masuk. Tak ada apa-apa dalam pondok itu, hanya ada ranjang yang diduduki sang raja, perapian yang menyala, dan kursi di mana Briet duduk.

Putri negeri ini rupanya amat cantik. Ia duduk dengan punggung tegak. Gerak geriknya anggun. Bahkan, kala melihat kedipan Briet, Fjola langsung merasa rendah diri.

“Berlututlah dan jaga ucapanmu,” bisik Ishak di telinganya. “Jika tidak ditanya, jangan membuka mulut.”

Fjola menelan ludah. Ia lantas berlutut. Kepalanya tertunduk.

“Inikah gadis itu?” tanya sang raja bangkit. Ia mendekat ke arah Fjola. 

Tangan gadis itu gemetar. Mungkinkah dia akan mati, batinnya.

“Berdirilah! Aku ingin melihatmu dengan jelas,” titah sang raja.

Gadis itu melirik Ishak sekejap. Setelah mendapat anggukan, ia perlahan berdiri.

Tangan sang raja menyentuh dagunya, kemudian mengangkatnya. Matanya yang cokelat kehitaman menilai wajah Fjola dengan teliti. 

Gadis itu terkejut. Ia menahan napas. Wajah raja yang terlalu dekat membuatnya merasa tak nyaman. Mata Fjola memandangnya sekilas, kemudian beralih melirik apa pun selain raja.

“Kurasa dia cukup pantas,” komentar sang raja kembali duduk.

Fjola kembali menunduk. Rupa sang raja yang dilihatnya sekikas tadi tidak seburuk rupa yang pernah dilihatnya dulu. Raja yang sekarang sudah tampak tua. Keriput muncul di sudut mata, dahi, dan sudut bibirnya. Kumis dan cambangnya yang dulu tebal kini semakin tipis, juga beruban. Jika posturnya tidak tinggi dan tegap, raja itu tak ubahnya seperti pak tua biasa. Carut marut bekas peperangan juga sudah memudar.

“Ayah, kumohon ....” Terdengar Briet meratap.

“Sudah kuputuskan, Briet Sayang, dia yang akan menggantikanmu,” kata raja tanpa mau didebat.

“Tapi, Ayah—“

“Aku tak mau kehilangan dirimu. Tolong, Briet, turutilah apa kataku. Bukan sebagai raja, melainkan ayahmu.”

Sepertinya, ucapan Raja Erik membuat putrinya terharu. Terdengar isak samar dari Briet. Gaun sang putri berdesir ketika ia melangkah. Ia berjalan mendekati Fjola kemudian secara mendadak memeluknya. “Maafkan aku.”

Mata Fjola terbelalak. Ia tak menyangka akan dipeluk sang putri dengan tiba-tiba. Meski begitu, ia bingung.

“Oh, kau tak usah minta maaf padanya, Sayang. Dia mencuri upeti kita lebih banyak dari yang kau ketahui.”

Fjola menelan ludah dengan susah payah. Sebenarnya, ia tak mengerti tentang apa percakapan itu. Tetapi, saat dirinya yang dianggap pencuri disinggung, dia marah. Seandainya sang raja mampu membuat rakyatnya kenyang, ia tak perlu menjadi pencuri. Meskipun demikian, ia memilih diam.

“Jangan bicara seperti itu, Ayah. Bagaimanapun dia yang akan maju menggantikanku,” kata Briet setelah melepaskan pelukannya. “Tolong perlakukan dia seperti kau memperlakukanku sampai hari keberangkatannya.”

“Ekhm,” Fjola berdeham. ”Maaf menganggu, tetapi, aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan.”

Briet memelotot pada Ishak yang berdiri di tepi pintu pondok. Kemudian, keningnya berkerut. Bibirnya yang mungil terbuka, tetapi tertutup lagi.

Lelaki gemulai itu salah tingkah. Ia lalu memalingkan pandangannya pada apa pun selain Briet.

“Apa kau belum memberitahunya? Kau belum meminta persetujuannya?” tanya Briet kepada Ishak. Wajah tertekuk.

"Untuk apa meminta persetujuannya?" sela sang raja. ”Dia tidak punya pilihan lain.”

“Tetap saja, Ayah, kita harus memberinya penjelasan.”

Sang raja berdecak. Dia menyilakan Briet untuk menjelaskan. Namun sebelum itu, Briet bertanya siapa namanya.

“Fjola Adalward,” jawab Fjola.

“Begini, Fjola, kau tahu kan bahwa setiap tahun Negeri Haust harus memberi upeti kepada Negeri Penguasa Tembok. Selain itu, upeti harus dibawa bersama dengan Gadis Pilihan. Gadis itu nantinya akan dipilih menjadi selir di sana.”

Sang raja menyela dengan dengkusan. “Itu pun kalau terpilih.”

Seolah tak terganggu interupsi ayahnya, Briet melanjutkan, “Menjadi Gadis Terpilih adalah sebuah kehormatan bagiku. Akan tetapi—”

Sang raja mendengkus lagi. Kali ini, Briet bereaksi. Ia memperingatkan ayahnya. Namun, Raja Erik malah menasihati, “Jika memang ingin memberinya penjelasan, Briet Sayang, lakukanlah dengan benar. Jangan kau cekoki gadis itu dengan omong kosong Gadis Terpilih.”

Fjola bingung. Ia melirik Ishak yang malah mengangkat bahunya.

“Baiklah,” kata Briet kemudian. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang dan berwana cokelat kemerahan. Wajahnya yang cantik menunjukkan tekad. “Intinya, Fjola, kau akan menggantikanku menjadi Gadis Terpilih. Kau akan berangkat ke Negeri Veggur, bersaing dengan gadis dari negeri lain untuk merebutkan hati Raja Valdimar di sana.”

Mata Fjola membulat. Ia melihat ketiga orang di pondok secara bergantian. “K-kalian bercanda?"

Namun, tak ada satu orang pun yang menjawab. "Aku tak mengerti. Kenapa kau—maksudku, Anda—tidak mau menjadi Gadis Terpilih? Bukankah itu kesempatan bagus?” tanyanya kepada Briet.

“Kesempatan bagus katanya,” Sang Raja terkekeh.

“Diam, Ayah!” hardik Briet lagi. Ia memandang Fjola dengan gelisah. “Begini, Fjola—argh, keterlaluan sekali kau, Ishak. Seharusnya, kaulah yang memberinya penjelasan. Kalau begini kan aku jadi tak enak hati."

"Tolong," seru Fjola jengkel, "jelaskan padaku apa maksud kalian."

Briet meremas-remas jemarinya. Ia lantas berkata, "Kau bertanya kenapa aku tidak mau? Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku ingin bertanya padamu. Apa kau tahu bagaimana nasib para gadis yang tidak dipilih Raja Valdimar?"

Fjola menggeleng. "Mungkin jadi pelayan," jawabnya tak acuh. Selama ini ia tak pernah memikirkan mereka.

"Tidak, Fjola. Gadis yang tidak terpilih akan dibuang ke luar tembok. Itulah kenapa selama ini gadis-gadis yang berangkat ke sana tak pernah kembali. Orang pikir mereka hidup enak di Negeri Veggur. Tetapi sesungguhnya mereka sudah mati.”

“Apa? Itu tidak masuk akal. Bukankah ada empat gadis setiap tahunnya? Kenapa pula Valdimar hanya memilih satu? Kenapa tidak keempat-empatnya? Kalaupun dia tidak mau, kan bisa untuk pangeran, atau penasihat kerajaan, atau menteri?”

"Raja hanya akan memilih yang terbaik. Dia begitu sombong. Dan, alasan tak ada orang lain yang mau menerima gadis-gadis itu setelah ditolak raja adalah, mereka dianggap aib. Mereka tak mampu membuat raja terkesan. Mereka membuat negerinya tak diperhatikan. Apa kau paham?"

Fjola membasahi kerongkongannya yang kering dengan menelan ludah.

“Tapi, tenang saja," tambah Briet lembut. "Menurutku kau lumayan cantik. Jadi, aku yakin kau mampu memikat ... well ....” Briet menggigit bibir bawahnya. Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Fjola ingin menolak. Karena jelas ia merasa tak cukup cantik untuk memikat hati raja negeri besar. Dia pasti akan dibuang ke luar tembok dan menghadapi makhluk-makhluk tak terbayangkan di sana. Itu sama saja dengan hukuman mati. “Tapi, Putri, bukankah Anda lebih cantik dariku? Kesempatan Anda mendapat hati Raja Valdimar lebih besar. Kenapa tidak Anda saja yang pergi?”

“Ayah tak akan membiarkanku,” jawabnya memandang sang raja.

“Aku tak mau mengambil risiko. Apalagi setelah melihat gadis-gadis dari Negeri Vor. Mereka seperti peri. Raja Negeri Veggur tak mudah dipuaskan. Aku sudah kehilangan putri sulungku. Aku tak mau kehilangan Briet.” 

“Ba-bagaimana kalau aku menolak?“

“Kalau kau menolak, Pencuri,” kata sang raja segera, “aku akan memenggal kepalamu.”

“Itu tidak adil,” tolak Fjola dengan berani. “Seharusnya, Anda hanya memotong tanganku.”

Sang raja terkekeh. “Seharusnya memang begitu seandainya yang kau ambil dari hutan adalah buah atau jamur. Tetapi, kau berani membunuh harimau. Asal kau tahu saja, harimau itu hadiah dari Raja Valdimar.”

Fjola mengatupkan bibirnya dengan erat.

“Seharusnya kau bersyukur saat kuberi kesempatan untuk menebus kesalahanmu. Pergilah ke negeri sialan itu, taklukkan hati Raja Valdimar sebelum dirinya tahu apa yang terjadi dengan harimau kesayangannya,” tambah sang raja.

Gadis itu tak memiliki pilihan. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. “Kapan aku harus pergi?”

“Besok,” sahut Briet. Ia menepuk bahu Fjola dengan lembut.

“Apa? Tidak bisakah minggu depan?” pintanya memohon.

“Kau pikir prajurit Negeri Veggur mau diatur-atur? Bah!” ketus sang raja.

Fjola menggigit bibir bawahnya.

“Kau akan pergi bersama Ishak. Dia akan menjadi pelayanmu di sana. Dia akan menyiapkan dan membantumu mendapatkan hati raja,” kata Briet menunjuk Ishak yang menyeringai.

“Oh, tidak,” gumam Fjola putus asa. “Kalau begitu, bolehkah aku meminta satu permintaan? Anggap saja sebagai permohonan terakhirku sebelum mati.”

Briet tersenyum. Ia merangkulkan lengannya ke bahu Fjola, kemudian menuntun gadis itu keluar pondok. “Tentu saja. Apa pun permintaanmu, akan kami kabulkan. Iya, kan, Ayah?”

Raja itu mendengkus lagi.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Farah Diina
Gara-gara harimau berujung maut ini kesian
goodnovel comment avatar
Kikiw
lepas dr kandang singa, masuk kandang naga..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status