Share

Pemberontak

Author: IyoniAe
last update Last Updated: 2021-10-23 20:58:15

Penjara itu amat dingin. Lantainya bagai es yang menusuk tulang. Hawanya lembab dan tengik. Hanya bau kematian yang terhirup di sana. Jerujinya sudah berkarat namun tetap kokoh. Atapnya tertutup rapat. Bahkan, tak ada lubang untuk angin. Penjara itu berada di bawah tanah.

Tangan Fjola dibelenggu dengan gelang besi yang berat dan dihubungkan oleh rantai besar. Begitu pula kakinya. Di sel itu, dia sendirian. Cahaya yang datang berasal dari celah yang menuju tangga di ujung ruang. Sepasang penjaga mengapit celah itu.

Fjola merasa ketakutan. Ia membayangkan tangan yang dipakainya untuk berburu hilang. Bagaimana dia bisa memberi makan tiga mulut tanpa tangan itu? Padahal, setahun lagi adiknya baru bisa menjadi prajurit. Itu pun kalau lolos. Sebenarnya, dia hanya perlu bertahan selama setahun. Tetapi, sekarang, sebulan saja pasti tak mampu bertahan.

Fjola duduk di pojok sel dengan pasrah. Perutnya melilit karena lapar. Ia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Waktu seolah berjalan lambat.

Seorang penjaga datang membawa makanan. Melalui celah bawah sel, dia menyorokkan piring berisi roti yang sudah basi, apel yang sudah kisut, secuil daging, dan gelas berisi air.

Gadis itu segera melahap semua makanan dengan rakus. 

Menurutnya, makanan itu lebih baik dari makanan yang ada di rumahnya. Tetapi kemudian, ia teringat dengan Fannar dan ayahnya.

Apakah mereka sudah makan? Fjola menyelipkan secuil daging dan apel keriput itu ke kantung di balik bajunya. Ia akan memberikannya kepada Fannar dan ayahnya nanti. Meski tangannya dipotong, ia pulang tidak dengan tangan kosong lagi.

“Menjijikkan!” Penjaga yang melihat aksi Fjola mencemooh. Gadis itu tidak peduli. “Omong-omong, kenapa kau bisa sampai di sini, Manis? Sel ini begitu dingin. Kalau kau mau kehangatan, bilang padaku, ya.”

Fjola meneguk air banyak-banyak, kemudian berkata, “Boleh saja. Tetapi asal kau tahu, aku di sini karena menguliti seseorang yang ingin menghangatkanku.”

Penjaga itu lantas menelan ludah. Ia kembali ke pos jaganya dengan tergesa.

Pria dari sel di sebelahnya terkekeh. Saat Fjola menoleh, ia dapat melihat kerlingan pria itu.

“Aku melihat semangat dalam dirimu, Nona. Aku suka itu,” kata pria itu mengacungkan gelasnya ke udara, tanda salut. Ia lantas menenggak isinya dengan gaya.

Dilihat dari postur dan pakaiannya, Fjola dapat melihat bahwa pria itu bukan orang biasa. Usianya sudah tampak matang. Rambutnya yang hitam sebahu terlihat kusut dan kusam. Ada selarik rambut putih  pada cambangnya yang panjang. Matanya hijau kelam seperti ganggang. Rahangnya tegas. Borgol di tangannya tampak bak gelang hiasan. “Siapa namamu?”

“Apakah itu penting?” kata Fjola kembali ke pojok sel.

Pria itu terekeh lagi. “Apa yang kau lakukan sehingga sampai di sini?”

“Kau sudah dengar tadi,” sahutnya skeptis. Ia enggan berteman dengan tahanan lain.

“Aku yang sudah berpengalaman, Nona, tak akan tertipu dengan bualanmu barusan. Oh, ayolah, sesama tahanan bukankah harus sopan? Aku bertanya, kau menjawab.”

Hening sesaat sebelum Fjola berkata, “Kau sendiri, siapa?”

“Aku? Orang-orang menyebutku pemberontak.” Pria itu terkekeh.

Kening Fjola berkerut. “Baiklah, Tuan Pemberontak, aku di sini karena memburu hewan di hutan terlarang.”

Pria itu bersiul. “Gadis seusiamu? Berburu? Sendirian? Tak masuk akal.”

Fjola mengedikkan bahu. “Kau sendiri kenapa sampai di sini?”

“Biasa. Pemberontakan.”

“Sendirian?” tanya Fjola penasaran.

“Tentu saja tidak.”

“Apa kau dibuang kelompokmu?”

Pria itu mendesah. “Suatu hari, Nona, ada saat kau dihadapkan pada pilihan pelik yang membuatmu harus berkorban demi mereka yang kau sayang.”

“Suatu hari? Bagiku setiap hari pun, aku selalu berkorban,” kata Fjola. Matanya menerawang. Mendadak, ia merasa lelah. “Aku terus berkorban hingga mautlah yang menjadi harapan.”

Pria itu diam. Dari balik jeruji, ia memandang Fjola dengan saksama. Kemudian, ia berkata, “Seandainya nanti kau merasa hanya maut satu-satunya harapan, datanglah ke sisi tembok bagian selatan. Katakan namaku. Kau akan disambut di sana.”

“Tidak, terima kasih,” sahut Fjola. “Aku tidak tertarik menjadi pemberontak. Untuk bertahan hidup saja sudah sulit.”

Pria itu terkekeh. “Zargar.”

“Apa?”

“Simpan saja namaku, entah kau butuh atau tidak kelak.” Pria itu lantas merebahkan tubuhnya. "Aku mulai menyukai penjara ini."

Fjola tak mau menaggapi lelaki itu. Ia merebahkan tubuhnya. Namun, lantai sel yang dingin membuatnya menggigil. Ia tak kuat. Ia lantas kembali bersandar pada tembok. Ia mencoba memejamkan mata.

Penjara itu sunyi. Saking sunyinya, ia bisa mendengar embusan napasnya sendiri. Fjola kembali takut. Ia memeluk lututnya dengan erat.

Suara langkah yang menggema dari tangga membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap. Ia mendongak. Tak lama kemudian, seseorang datang. Dilihat dari pakaiannya, dia bukanlah salah satu penjaga penjara. Bahkan, Fjola sempat berpikir bahwa lelaki itu sedang menyasar.

Pakaian yang dikenakannya tidak cocok sama sekali dengan suasana muram penjara. Ia memakai baju berwarna cerah: Kuning dan merah muda, dengan pola abstrak. Rambutnya yang pendek dan pirang disusun sedemikian rupa hingga semua tegak ke atas. Ada sesuatu yang gemerlap pada tulang pipinya. Bibirnya pun berwarna ungu bunga violet.

“Lepaskan dia,” katanya menunjuk Fjola. Ia menjentikkan jarinya dengan tak sabar. “Cepat! Cepat! Cepat!”

Tergopoh-gopoh, penjaga yang tadi menggoda Fjola segera menarik kunci dan membuka sel tempat gadis itu dikurung. Pintu sel menjeblak dengan nyaring, membangunkan Zargar.

“Apa aku tak salah melihat?” cetus Zargar terkekeh. Ia mengucek-ngucek matanya untuk memeriksa penglihatannya. “Kau mau menginjakkan kakimu ke sini, Makhluk Gemerlap?”

“Diam, kau!” hardik lelaki berpakaian aneh itu.

“Apa kau merindukanku, Ishak?” goda Zargar lagi. "Aku tak sabar ingin dirias olehmu."

Lelaki gemulai yang dipanggil Ishak itu mendecakkan lidah. “Diam atau kupotong lidah beracunmu itu! Dan, kau,” tambahnya menunjuk Fjola, “ikut aku sekarang.” 

Dengan gerak luwes, Ishak berbalik menuju tangga. Ia menyuruh Fjola segera mengikuti.

Masih mengenakan borgol, gadis itu mengikuti ke mana Ishak menuntunnya. Ia kesusahan saat menaiki tangga. “Maaf, Tuan—em, maksudku Nona—bisakah kau lepaskan belengguku?”

Ishak bersedekap. Bola matanya berputar. “Lepaskan belenggu kakinya—kaki saja, yang lain biarkan,” titahnya pada penjaga.

Setelah belenggu di kakinya terlepas, Fjola dibawa keluar penjara. Waktu itu hari sudah malam. Meski begitu, Fjola tetap saja silau. Ia mengerjap sebelum melongo saat melihat betapa luasnya istana tempat Raja Erik, penguasa Negeri Haust berdiam. Meski dia pernah ke sana, Fjola tak pernah masuk istana. Ia hanya bisa menyaksikan kemegahan benteng istana dari luar.

Bagaimana tidak? Berada dalam radius 100 yard dari gerbang saja, para penjaga bakal menahannya.

Setelah melewati pintu atas penjara, Ishak terus berjalan ke istal, kemudian dapur. Ia mencomot sepotong puding untuk dimakan. Melihat itu, Fjola melakukan hal yang sama. Namun bedanya, gadis itu lebih serakah. Ia memasukkan tiga potong pudding sekaligus ke mulut sebelum koki menghardiknya.

Ishak mengeluh lelah saat berjalan di tengah taman istana. Penasaran, Fjola bertanya mau dibawa ke mana dirinya? Namun, Ishak malah menjawab, “Ke kematian.”

Fjola tersentak dengan jawaban itu. Ia menyesal tak berhenti dulu di dapur untuk makan sepuasnya. Setidaknya, ia akan mati dalam keadaan kenyang. Ia berniat berbalik sebelum mendengar Ishak terkekeh. “Aku cuma bercanda.” Namun kemudian, dia melanjutkan, ”Kecuali kau salah membuat pilihan nanti.”

Kening Fjola berkenyit. “Apa maksudmu?”

“Oh, kau akan tahu. Sekarang, ayo cepat! Raja sudah menunggumu.” 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Farah Diina
jangan marah-marah lah sama bapack pemberontak, siapa tau nanti bisa jadi bantuan beneran
goodnovel comment avatar
mulfa riza
permulaan cerita yang cukup bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Cinta Sang Selir   Buku 1 Tamat

    Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah

  • Jerat Cinta Sang Selir   Tekad

    Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.

  • Jerat Cinta Sang Selir   Serangan

    Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo

  • Jerat Cinta Sang Selir   Pencurian

    Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s

  • Jerat Cinta Sang Selir   Pemburu

    “Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah

  • Jerat Cinta Sang Selir   Wild

    “Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo

  • Jerat Cinta Sang Selir   Tempat Baru

    Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de

  • Jerat Cinta Sang Selir   Tak Terduga

    Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si

  • Jerat Cinta Sang Selir   Pertolongan

    Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status