Share

Pemberontak

Penjara itu amat dingin. Lantainya bagai es yang menusuk tulang. Hawanya lembab dan tengik. Hanya bau kematian yang terhirup di sana. Jerujinya sudah berkarat namun tetap kokoh. Atapnya tertutup rapat. Bahkan, tak ada lubang untuk angin. Penjara itu berada di bawah tanah.

Tangan Fjola dibelenggu dengan gelang besi yang berat dan dihubungkan oleh rantai besar. Begitu pula kakinya. Di sel itu, dia sendirian. Cahaya yang datang berasal dari celah yang menuju tangga di ujung ruang. Sepasang penjaga mengapit celah itu.

Fjola merasa ketakutan. Ia membayangkan tangan yang dipakainya untuk berburu hilang. Bagaimana dia bisa memberi makan tiga mulut tanpa tangan itu? Padahal, setahun lagi adiknya baru bisa menjadi prajurit. Itu pun kalau lolos. Sebenarnya, dia hanya perlu bertahan selama setahun. Tetapi, sekarang, sebulan saja pasti tak mampu bertahan.

Fjola duduk di pojok sel dengan pasrah. Perutnya melilit karena lapar. Ia tak tahu sudah berapa lama dia di sana. Waktu seolah berjalan lambat.

Seorang penjaga datang membawa makanan. Melalui celah bawah sel, dia menyorokkan piring berisi roti yang sudah basi, apel yang sudah kisut, secuil daging, dan gelas berisi air.

Gadis itu segera melahap semua makanan dengan rakus. 

Menurutnya, makanan itu lebih baik dari makanan yang ada di rumahnya. Tetapi kemudian, ia teringat dengan Fannar dan ayahnya.

Apakah mereka sudah makan? Fjola menyelipkan secuil daging dan apel keriput itu ke kantung di balik bajunya. Ia akan memberikannya kepada Fannar dan ayahnya nanti. Meski tangannya dipotong, ia pulang tidak dengan tangan kosong lagi.

“Menjijikkan!” Penjaga yang melihat aksi Fjola mencemooh. Gadis itu tidak peduli. “Omong-omong, kenapa kau bisa sampai di sini, Manis? Sel ini begitu dingin. Kalau kau mau kehangatan, bilang padaku, ya.”

Fjola meneguk air banyak-banyak, kemudian berkata, “Boleh saja. Tetapi asal kau tahu, aku di sini karena menguliti seseorang yang ingin menghangatkanku.”

Penjaga itu lantas menelan ludah. Ia kembali ke pos jaganya dengan tergesa.

Pria dari sel di sebelahnya terkekeh. Saat Fjola menoleh, ia dapat melihat kerlingan pria itu.

“Aku melihat semangat dalam dirimu, Nona. Aku suka itu,” kata pria itu mengacungkan gelasnya ke udara, tanda salut. Ia lantas menenggak isinya dengan gaya.

Dilihat dari postur dan pakaiannya, Fjola dapat melihat bahwa pria itu bukan orang biasa. Usianya sudah tampak matang. Rambutnya yang hitam sebahu terlihat kusut dan kusam. Ada selarik rambut putih  pada cambangnya yang panjang. Matanya hijau kelam seperti ganggang. Rahangnya tegas. Borgol di tangannya tampak bak gelang hiasan. “Siapa namamu?”

“Apakah itu penting?” kata Fjola kembali ke pojok sel.

Pria itu terekeh lagi. “Apa yang kau lakukan sehingga sampai di sini?”

“Kau sudah dengar tadi,” sahutnya skeptis. Ia enggan berteman dengan tahanan lain.

“Aku yang sudah berpengalaman, Nona, tak akan tertipu dengan bualanmu barusan. Oh, ayolah, sesama tahanan bukankah harus sopan? Aku bertanya, kau menjawab.”

Hening sesaat sebelum Fjola berkata, “Kau sendiri, siapa?”

“Aku? Orang-orang menyebutku pemberontak.” Pria itu terkekeh.

Kening Fjola berkerut. “Baiklah, Tuan Pemberontak, aku di sini karena memburu hewan di hutan terlarang.”

Pria itu bersiul. “Gadis seusiamu? Berburu? Sendirian? Tak masuk akal.”

Fjola mengedikkan bahu. “Kau sendiri kenapa sampai di sini?”

“Biasa. Pemberontakan.”

“Sendirian?” tanya Fjola penasaran.

“Tentu saja tidak.”

“Apa kau dibuang kelompokmu?”

Pria itu mendesah. “Suatu hari, Nona, ada saat kau dihadapkan pada pilihan pelik yang membuatmu harus berkorban demi mereka yang kau sayang.”

“Suatu hari? Bagiku setiap hari pun, aku selalu berkorban,” kata Fjola. Matanya menerawang. Mendadak, ia merasa lelah. “Aku terus berkorban hingga mautlah yang menjadi harapan.”

Pria itu diam. Dari balik jeruji, ia memandang Fjola dengan saksama. Kemudian, ia berkata, “Seandainya nanti kau merasa hanya maut satu-satunya harapan, datanglah ke sisi tembok bagian selatan. Katakan namaku. Kau akan disambut di sana.”

“Tidak, terima kasih,” sahut Fjola. “Aku tidak tertarik menjadi pemberontak. Untuk bertahan hidup saja sudah sulit.”

Pria itu terkekeh. “Zargar.”

“Apa?”

“Simpan saja namaku, entah kau butuh atau tidak kelak.” Pria itu lantas merebahkan tubuhnya. "Aku mulai menyukai penjara ini."

Fjola tak mau menaggapi lelaki itu. Ia merebahkan tubuhnya. Namun, lantai sel yang dingin membuatnya menggigil. Ia tak kuat. Ia lantas kembali bersandar pada tembok. Ia mencoba memejamkan mata.

Penjara itu sunyi. Saking sunyinya, ia bisa mendengar embusan napasnya sendiri. Fjola kembali takut. Ia memeluk lututnya dengan erat.

Suara langkah yang menggema dari tangga membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap. Ia mendongak. Tak lama kemudian, seseorang datang. Dilihat dari pakaiannya, dia bukanlah salah satu penjaga penjara. Bahkan, Fjola sempat berpikir bahwa lelaki itu sedang menyasar.

Pakaian yang dikenakannya tidak cocok sama sekali dengan suasana muram penjara. Ia memakai baju berwarna cerah: Kuning dan merah muda, dengan pola abstrak. Rambutnya yang pendek dan pirang disusun sedemikian rupa hingga semua tegak ke atas. Ada sesuatu yang gemerlap pada tulang pipinya. Bibirnya pun berwarna ungu bunga violet.

“Lepaskan dia,” katanya menunjuk Fjola. Ia menjentikkan jarinya dengan tak sabar. “Cepat! Cepat! Cepat!”

Tergopoh-gopoh, penjaga yang tadi menggoda Fjola segera menarik kunci dan membuka sel tempat gadis itu dikurung. Pintu sel menjeblak dengan nyaring, membangunkan Zargar.

“Apa aku tak salah melihat?” cetus Zargar terkekeh. Ia mengucek-ngucek matanya untuk memeriksa penglihatannya. “Kau mau menginjakkan kakimu ke sini, Makhluk Gemerlap?”

“Diam, kau!” hardik lelaki berpakaian aneh itu.

“Apa kau merindukanku, Ishak?” goda Zargar lagi. "Aku tak sabar ingin dirias olehmu."

Lelaki gemulai yang dipanggil Ishak itu mendecakkan lidah. “Diam atau kupotong lidah beracunmu itu! Dan, kau,” tambahnya menunjuk Fjola, “ikut aku sekarang.” 

Dengan gerak luwes, Ishak berbalik menuju tangga. Ia menyuruh Fjola segera mengikuti.

Masih mengenakan borgol, gadis itu mengikuti ke mana Ishak menuntunnya. Ia kesusahan saat menaiki tangga. “Maaf, Tuan—em, maksudku Nona—bisakah kau lepaskan belengguku?”

Ishak bersedekap. Bola matanya berputar. “Lepaskan belenggu kakinya—kaki saja, yang lain biarkan,” titahnya pada penjaga.

Setelah belenggu di kakinya terlepas, Fjola dibawa keluar penjara. Waktu itu hari sudah malam. Meski begitu, Fjola tetap saja silau. Ia mengerjap sebelum melongo saat melihat betapa luasnya istana tempat Raja Erik, penguasa Negeri Haust berdiam. Meski dia pernah ke sana, Fjola tak pernah masuk istana. Ia hanya bisa menyaksikan kemegahan benteng istana dari luar.

Bagaimana tidak? Berada dalam radius 100 yard dari gerbang saja, para penjaga bakal menahannya.

Setelah melewati pintu atas penjara, Ishak terus berjalan ke istal, kemudian dapur. Ia mencomot sepotong puding untuk dimakan. Melihat itu, Fjola melakukan hal yang sama. Namun bedanya, gadis itu lebih serakah. Ia memasukkan tiga potong pudding sekaligus ke mulut sebelum koki menghardiknya.

Ishak mengeluh lelah saat berjalan di tengah taman istana. Penasaran, Fjola bertanya mau dibawa ke mana dirinya? Namun, Ishak malah menjawab, “Ke kematian.”

Fjola tersentak dengan jawaban itu. Ia menyesal tak berhenti dulu di dapur untuk makan sepuasnya. Setidaknya, ia akan mati dalam keadaan kenyang. Ia berniat berbalik sebelum mendengar Ishak terkekeh. “Aku cuma bercanda.” Namun kemudian, dia melanjutkan, ”Kecuali kau salah membuat pilihan nanti.”

Kening Fjola berkenyit. “Apa maksudmu?”

“Oh, kau akan tahu. Sekarang, ayo cepat! Raja sudah menunggumu.” 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Farah Diina
jangan marah-marah lah sama bapack pemberontak, siapa tau nanti bisa jadi bantuan beneran
goodnovel comment avatar
mulfa riza
permulaan cerita yang cukup bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status