Elsa berkali-kali menganga saat dia teringat ucapan Bondan tadi. Dia dan Karin tidak berhasil bertemu si anjing, namun pertemuan tak terduga dengan Bondan membuat Elsa mempunyai fakta baru bahwa Karin akan segera menikah. Entah menikah dengan siapa, namun mendengarnya saja sudah membuat Elsa menduga yang tidak-tidak.
"Rin, jangan bilang lo calon pengantin bangsawan iblis?!" Elsa segera menutup mulutnya saat dia tersadar jika suaranya kelewat keras.Karin yang semula diam saja dengan segala kehebohan yang ditimbulkan Elsa, akhirnya jengkel juga. Dia melirik Elsa dengan tatapan kesal. Tidak seharusnya Elsa mempercayai ucapan pria brengsek seperti Bondan. Bisa saja dia hanya berniat menakut-nakuti Karin. Namun Elsa sepertinya lebih senang dengan dugaannya tentang Karin adalah calon pengantin bangsawan iblis."Kalo dipikir-pikir lagi, kenapa dia harus ngomong gitu? Lo kenapa nggak nanya siapa yang dia maksud dengan Tuan?" kelakar Elsa masih berusaha merangkai segala kemungkinan."Nggak penting, El.""Jangan-jangan si anjing itu suruhan Tuan?""Maksud lo?""Bisa aja anjing itu diminta buat jagain lo. Kan lo calon pengantin yang berharga."Karin menggeleng kuat, "Gue nggak mungkin calon pengantin iblis.""Rin!" Elsa berseru, menghentikan laju kaki Karin. Dia berdiri di depan Karin, memegang bahu sahabatnya itu dengan kedua tangan."Kalo bener lo calon pengantin bangsawan iblis, lo dalam bahaya. Lo masih ingat Erna kan? Dia nggak pernah kembali sejak saat itu.""El, gue nggak mungkin calon pengantin mereka. Apa yang mereka inginkan dari orang kayak gue? Mereka kaya, berkuasa dan hidup abadi. Pasti mereka cari cewek kayak Erna yang cantik dan unggul dalam segala hal, nggak kayak gue," Penjelasan Karin cukup masuk akal bagi Elsa. Sebagai teman yang sudah sejak balita berteman dengan Karin, Elsa tentu sangat tahu kondisi keluarga Karin yang hanya mengandalkan toko kecil milik Albert. Setelah sang ayah meninggal, Karin harus menghidupi dirinya serta ibunya yang seakan sudah tak memiliki semangat hidup.* * *Erik sengaja berjalan mesra dengan kekasihnya melewati depan kelas Karin pagi ini. Namun seperti biasa Karin tampak tak minat karena memang dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Erik.Brak!Erik yang tampak sangat kesal tiba-tiba saja menggebrak meja Karin, tak peduli dengan tatapan sinis dari teman-teman sekelas Karin yang kaget. Melihat ekspresi datar Karin membuat Erik tak peduli dan berlari cepat meninggalkan pacarnya untuk menghampiri Karin.
"Rin! Sebenarnya mau lo apa sih?!" maki Erik. Sebagai lelaki paling hits dan tampan di sekolah, tak ada yang berani mengusik Erik saat dia berurusan dengan para wanita."Maksud lo?""Lo sengaja mainin gue kan? Lo tahu gue suka sama lo, jadi lo bikin gue malu dengan nolak gue kan?""Rik, gue kan udah bilang ... ""Bilang sama gue siapa yang lo sukai? SIAPA KARIN?!""KARIN GAWAT!!" Elsa berteriak sangat keras di depan pintu kelas. Seluruh siswa yang ada di kelas langsung memusatkan perhatian padanya.Elsa berlari tergopoh-gopoh menghampiri Karin. Saat dia melihat Erik, dia mengumpat kasar."Brengsek! Berani-beraninya lo ngejar Karin!" umpat Elsa marah. Karin mengelus bahu Elsa, menyuruhnya sabar."Ada apa El?""Rin, gawat!""Gawat kenapa?""Mereka ... Para pria berjas hitam yang menjemput Erna, hari ini mereka mau jemput lo!"Semua tak percaya. Bahkan Erik yang beberapa belas menit lalu masih sangat terobsesi dengan Karin, tiba-tiba nyalinya menciut. Dia sangat tahu yang dimaksud Elsa. Para pria itu adalah anak buah para bangsawan iblis yang diperintahkan menjemput calon pengantin mereka."Karin Nevada ... " panggil salah satu pria berjas hitam yang entah sejak kapan sudah ada di depan kelas. Dia tampak tua, dengan rambut yang telah memutih namun raut wajahnya tampak sangat bijaksana. Dia tersenyum ke arah Karin. Dua orang pria berjas hitam lainnya berdiri di kiri kanan pria tua itu. Dia melangkah maju mendekati Karin yang masih tertegun, berusaha mencerna semuanya."Akhirnya kita bertemu lagi. Kamu sudah tumbuh besar sekarang," ucapnya sambil tersenyum."Kamu siapa?" tanya Karin.Pria tua itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan aku James, aku tangan kanan Tuan Katon.""Siapa Tuan Katon?" Karin masih enggan untuk berjabat tangan. Masih ada banyak tanya di pikirannya.James tersenyum bergantian, tak hanya pada Karin namun juga pada Elsa dan Erik yang berdiri di samping Karin."Calon suamimu, Tuan Katon Bagaskara," jawab James masih dengan wajah penuh senyuman."Katon Bagaskara?" gumam Elsa lirih."Hari ini adalah harinya, Karin. Kami akan mengantarmu pulang untuk berpamitan pada ibumu," ucap James. "Ngomong-ngomong, aku turut berduka atas kematian ayahmu.""Tunggu! Jadi... Jadi ini hari terakhirku bersama Karin?" Elsa yang sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi langsung mencengkeram erat tangan Karin."Itulah takdir Karin, Nona ... Elsa.""Kalian nggak akan menyakitinya kan?""Bagaimana mungkin kami menyakiti istri Tuan kami?""Karin, kamu nggak akan pergi kan?" Elsa mulai histeris."Nggak, aku nggak akan kemana-mana.""Pilihanmu hanya menikah dengan Tuan Katon," timpal James saat mendengar jawaban Karin."Tapi aku punya hak untuk menolak," tegas Karin. James yang tak menyangka dengan reaksi Karin mengisyaratkan dua anak buahnya untuk segera membawa Karin pergi."Rin, Karin!!" panggil Elsa dengan isak tangis yang tak terbendung. Erik sekuat tenaga mencegah Elsa berlari mengejar Karin yang makin lama makin hilang.* * *"Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kukenal," tegas Karin saat mereka sudah di dalam rumah Karin.Laksita yang mendengar keramaian dari dalam kamarnya spontan membuka pintu. Betapa terkejutnya dia saat melihat James. Dia berlari menabrak tubuh James, berteriak histeris penuh kemarahan."Jangan bawa anakku! Dia satu-satunya harta berhargaku!""Karin tak punya pilihan, Laksita. Tuan Katon sudah memilihnya sejak dalam kandunganmu.""Apa? Apa maksudnya?""Sepertinya orang tuamu tak pernah memberitahu soal ini ya Karin?" tebak James.Karin menggeleng."Tuan Katon, ahli waris keluarga bangsawan Bagaskara telah memilih calon pengantinnya sejak melihat Laksita mengandungmu," terang James. "Tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah, bukankah sebagai warga Alfansa kamu tahu akan hal ini?""Kenapa Katon memilihku?"James terdiam sejenak, "Hanya Tuan Katon yang tahu alasannya.""Tapi aku tidak ingin meninggalkan ibuku sendirian.""Kamu harus ikut kami.""Tidak. Aku tidak akan meninggalkan ibuku.""Atau ibumu mati?" James berjalan mendekati Karin yang tampak kaget setelah mendengar pertanyaan James."Kamu tahu kenapa ayahmu mati?" ucap James pelan. "Karena menjaga calon pengantin Tuan Katon adalah tugas yang berat. Waktu itu aku sudah menawari Albert untuk menjemputmu lebih awal, namun dia menolak. Semua pria secara alami akan tertarik padamu hingga kehilangan akal sehatnya, termasuk membunuh ayahmu. Jika kamu tetap egois ingin bersama ibumu, apa kamu ingin dia berakhir tragis seperti ayahmu?""Tapi selama ini aku selalu aman berkat perlindungan ayahku.""Berkat Tuan Katon," sela James cepat."Sekarang pilihan ada di tanganmu, Karin. Kamu memilih segera pergi bersama kami untuk membuat hidup ibumu aman atau membiarkannya mati demi menjagamu?"Karin terdiam. Dia tahu hidupnya tak pernah tenang setelah para pria mulai memperebutkannya. Namun dia tidak pernah menyangka jika itu semua ada hubungannya dengan dia sebagai calon pengantin Katon Bagaskara.Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan