Hujan deras mengguyur tubuh Albert dan Karin yang duduk bersimpuh tak berdaya di aspal yang hitam. Lima orang preman dengan tubuh tegap berjalan maju, satu orang di antaranya memakai payung berwarna merah marun. Pria berpayung itu tersenyum licik dan puas melihat tubuh ayah Karin tumbang.
"Tidak ada yang bisa melawanku, Karin. Harusnya ayahmu tahu itu," ucapnya setengah berteriak untuk melawan suara derasnya hujan. "Jika sejak awal ayahmu setuju menyerahkanmu padaku, dia tidak akan mati sia-sia."Karin tetap menangis keras, pasrah melihat tubuh ayahnya semakin lama semakin kehabisan darah."Sekarang kau milikku," Pria berpayung itu menyuruh empat orang lainnya untuk maju membawa Karin.Ketika Karin berteriak melawan, tiba-tiba seekor anjing hitam besar menghampiri mereka. Anjing itu menggeram, menunjukkan deretan gigi tajamnya yang berselimut air liur yang banyak. Matanya yang hitam legam, perlahan-lahan mendekati kawanan preman itu. Para preman itu mengambil sikap siaga, beberapa menodongkan pistol berharap si anjing ketakutan. Namun nihil. Anjing itu tetap berjalan maju tak gentar.Karin tak ingin melihat anjing menyeramkan itu, dia hanya ingin memeluk tubuh sang ayah yang kesadarannya telah hilang. Di lain sisi keempat preman itu berusaha membentak si anjing itu segera pergi, namun anjing itu malah kian mendekat sambil tak henti menggeram. Si pria berpayung yang semula sangat berambisi membawa Karin, mengamati anjing hitam itu dengan seksama hingga dia menemukan sebuah kalung yang ada di leher si anjing. Kalung itu berinisial huruf K. Setelah melihatnya, ekspresi si pria berpayung berubah ketakutan bahkan dia melempar payungnya dan lari terbirit-birit disusul para anak buahnya.Kelima pria jahat itu sudah pergi, dan si anjing mendekati Karin yang masih terisak-isak di samping tubuh mati ayahnya. Karin memalingkan pandangan pada anjing itu, dia mengamati sorot mata si anjing yang bewarna hitam legam.* * *
"Ibu ini apa?" Karin menunjukkan foto tato di lehernya yang Elsa ambil tadi siang. Laksita yang semula hanya berbaring malas di ranjangnya beranjak bangun. Dia amati foto itu detil kemudian menyuruh Karin menyibakkan rambutnya.
Laksita meraba tato kecil itu, mengamatinya lebih dekat. Semenjak kepergian Albert dia memang lebih banyak diam dan seakan tak memiliki semangat untuk hidup. Dia bahkan semakin jarang berbicara atau sekedar saling pandang dengan anak semata wayangnya, Karin. Saat melihat Karin, Laksita semakin ingat dengan Albert serta ucapan Katon di hari pertama Karin dilahirkan.
"Ini inisial namamu. Ibu dan Ayah mengukirnya dulu," Laksita tersenyum pahit. Bukan. Dia sangat tahu itu inisial Katon, bukan Karin. Itu adalah tanda bahwa Karin adalah milik Katon sehingga tidak ada bangsawan iblis lain yang boleh mengincarnya.
"Kenapa baru muncul sekarang?" tanya Karin curiga.
Laksita kembali terdiam. Seberapa lama dia dan Albert berusaha menutupi, tapi Karin tentu mempunya insting yang kuat. Pasti anak gadisnya itu bisa merasakan sesuatu yang ganjil di dalam keluarganya.
"Oh ya? Kamu aja yang baru tahu, Rin."
"Nggak, Elsa bilang juga gitu."
"Lebih baik kamu segera ganti baju dan tidur," Laksita menyudahi pembicaraan dan secara halus menyuruh Karin keluar dari kamarnya.
Karin tidak pernah menanggapi perubahan sikap Laksita padanya setelah sang ayah meninggal. Laksita berhenti memasak, bekerja bahkan untuk sekedar keluar rumah pun ibunya itu juga enggan melakukannya. Karin mau tak mau menghidupi dirinya sendiri dengan memasak serta mengambil kerja sambilan sepulang sekolah.
* * *
"Gue masih ngantuk Rin!" keluh Elsa di seberang telepon.
"Please temenin gue, El. Lo tahu kan tempat itu bikin gue trauma? Tapi gue harus ketemu sama anjing itu."
"Kenapa? Kenapa harus ketemu anjing sih."
"Gue bakal jelasin semuanya kalo lo mau nemenin gue."
"Oke deh, oke," Akhirnya Elsa mengalah. "Tapi bukannya lo kerja hari ini?"
"Gue udah ijin," jawab Karin cepat. "Gue tahu ada yang nggak beres dan gue tahu ibu bohong. Gue harus cari tahu kebenarannya."
"Gue bakal jemput lo 5 menit lagi," Klik. Karin menutup telepon kemudian bergegas ganti baju dan merapikan diri.
Saat hari Sabtu dan Minggu Karin memilih mengambil pekerjaan full time di Ann Cafe tempatnya bekerja part time. Namun khusus hari ini dia telah meminta ijin kepada manajer kafe untuk tidak masuk kerja, karena dia ingin menelusuri tempat itu dari pagi. Karin berjalan cepat menuju apartemen Elsa yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
"Ayo gue udah siap," Elsa menggerutu dengan mata masih setengah terpejam. Hari ini hari Sabtu dan ini masih jam 6, namun Karin sudah bersemangat merecoki hari libur Elsa.
Karin dan Elsa berjalan beriringan menuju tempat dimana ayah Karin tertembak mati oleh pria jahat yang dia ketahui bernama Bondan. Pria itu adalah seorang rentenir yang sangat mengincar Karin dan ingin menjadikan Karin istri ketiganya. Namun ayah Karin, Albert menentang keras hal tersebut dan berujung kematian. Bondan berhasil lolos dari polisi, karena tidak ada yang cukup berani menjadi saksi untuk membantu keluarga Karin.
"Lo nggak takut ketemu premannya Bondan?" tanya Elsa was-was.
Karin menggeleng mantap, "Mereka nggak akan berani ganggu gue lagi."
"Kenapa?"
"Kita cari jawabannya kalo udah ketemu anjing itu."
Elsa mendengus kesal, "Sebenarnya anjing siapa sih dia? Apa dia semacam malaikat pelindung lo?"
Karin hanya mengangkat bahu, karena dia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Setelah mereka sampai di lokasi, pandangan Karin mengitari sekeliling berharap dia bisa menemukan anjing itu. Sementara Elsa hanya berdiri di samping Karin dengan bibir menggerutu karena dia merasa sikap Karin terlalu aneh pagi ini.
"Ketemu nggak?" tanya Elsa tak sabar.
"Kemarin anjing itu datang dari arah sini," Jari telunjuk Karin mengarah pada sebuah toko yang sedang tutup. Di depan toko itu terdapat tulisan For Rent, yang berarti memang toko itu telah kosong. Karin mendekat dan mengamati bagian depan toko, berharap dia menemukan petunjuk.
"Mungkin anjing itu milik orang yang ada di toko ini." gumam Karin.
"Biasanya orang bakal ngasih nomor telepon, tapi ini nggak." Elsa menunjuk pada kertas bertuliskan For Rent yang ditempel tepat di tengah pintu harmonika toko itu.
"Karin Nevada ... " panggil seseorang di belakang Karin. Spontan Karin dan Elsa memutar tubuh dengan cepat dan mendapati sosok Bondan beserta dua anak buahnya. Bondan menyeringai, tampak senang melihat Karin.
"Kau merindukanku ya? Makanya kau datang ke sini," seloroh Bondan penuh percaya diri.
Karin dengan cepat membuang ludahnya. Dia teramat sangat membenci Bondan hingga rasanya dia ingin mencabik pria itu. Melihat reaksi Karin, bukannya marah Bondan malah makin menyeringai."Kamu sekarang berlagak ya, mentang-mentang Tuan akan menikahimu.," ucap Bondan, yang untuk beberapa detik ke depan sukses membuat Karin dan Elsa terkejut bukan main.
"MENIKAH?!" seru Elsa tak dapat menahan rasa terkejutnya.
Seringai Bondan berubah menjadi endusan kesal. Dia melangkah maju sedikit, mengecilkan volume suaranya.
"Maafkan aku, Karin. Kumohon jangan bunuh aku! Jangan adukan aku ke Tuan!" Bondan tiba-tiba saja berlutut di depan Karin, menelungkupkan tangan memohon belas kasihan. Karin sama sekali tidak paham dan refleks menepis tangan Bondan yang memegangi kakinya.
"Apa maksudmu?" Karin membentak Bondan untuk segera menjauh darinya.
Bondan yang semula ketakutan langsung terdiam setelah melihat reaksi Karin. Dia sudah bisa menebak jika Karin sama sekali belum tahu soal Katon yang akan menikahinya.
"Ayahmu tidak memberitahumu?"
"Memberitahu apa?" tanya Karin kesal.
"Soal Tuan...." Bondan memutus ucapannya sendiri, dengan kepala menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan situasi aman. Tiba-tiba dia menyeringai, "Sebentar lagi dia akan datang menjemputmu."
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan