Karin diam termangu dengan kepala mendongak, ingin tahu seberapa tinggi gerbang besar yang ada di depannya saat ini. Gerbang merah pembatas kehidupan antara kaum bangsawan iblis yang hidup abadi dengan warga Alfansa yang menggantungkan perekonomian pada bangsawan iblis. Tak ada satu pun warga Alfansa biasa yang bisa memasuki gerbang ini, selain hanya mereka yang terpilih seperti Karin.
Ayahnya dulu pernah bercerita mengenai siapa saja yang ada di balik gerbang merah ini. Para warga biasa yang bekerja disana karena memiliki kemampuan yang mumpuni ataupun para gadis calon pengantin bangsawan iblis. Para bangsawan itu memiliki kekuatan luar biasa dan hidup abadi, namun hanya satu kelemahan mereka. Tidak bisa bereproduksi dengan sesama. Jadi mau tak mau para bangsawan itu harus mencari calon pengantin dari warga Alfansa.Gerbang merah itu perlahan terbuka, dan di depannya Karin bisa melihat ribuan gedung tinggi dan juga pemandangan kota yang tak kalah indah dengan kota Alfansa."Bangsawan Bagaskara tidak membedakan wargany,." bisik James ketika dia membaca pikiran Karin.Karin juga melihat para bangsawan iblis berlalu lalang dan semua orang tampak biasa seperti kebanyakan warga Alfansa. Jika saja dunia mereka tidak dipisah, mungkin Karin tidak bisa membedakan yang mana warga Alfansa biasa dan mana bangsawan iblis."Dimana Katon?" tanya Karin sambil berjalan melihat sekeliling."Tuan Katon sedang banyak urusan," jawab James sopan. Dia mempersilahkan Karin untuk kembali masuk ke dalam mobil."James, ibuku akan baik-baik saja kan?""Tentu. Kamu bisa mengunjunginya setahun sekali, tapi hanya melihatnya dari jauh,"jelas James. "Setelah kamu menikah nanti, kamu bisa meminta para anjing Tuan Katon untuk menjaga ibumu.""Anjing? Jadi anjing yang waktu itu menolongku adalah anjing Katon?""Iya. Tapi aku turut menyesal atas kepergian Albert."Karin meraba leher belakangnya, "Apakah tato di leherku ini inisial Katon?"James melirik Karin dari balik spion tengah. Dia tersenyum kecil."Aku tak menyangka Tuan Katon bisa begitu sopan. Biasanya bangsawan yang lain membuat tanda itu di tempat sensitif calon pengantinnya."Karin mengerutkan dahi tanda tak senang, "Tanda apa ini? Kalian kira kami hewan peliharaan?""Bayangkan saja jika tanda itu tak ada, Karin.""Ya! Kalau tanda ini tak ada aku bisa bebas sekarang.""Kalau tanda ini tak ada, para anjing tak bisa menjagamu. Mereka selalu mengawasi di belakangmu dan menyerang saat dibutuhkan.""Aku tidak suka tato ini!" Karin membuang muka, kesal kepada Katon namun dia lampiaskan pada James."Sekarang kita mau kemana?""Kita akan menuju asrama sekolah wanita Sofia.""Kenapa?""Bukankah kamu tetap perlu sekolah? Kamu akan tinggal disana sampai hari pernikahanmu tiba."Karin tak menanggapi. Semua hal yang terjadi sungguh berjalan dengan sangat cepat hingga setiap helaan nafasnya bisa berarti bagi hidupnya. Semua kemalangan dan ancaman yang dia alami dalam hidup, yang kebanyakan wanita menyukainya karena dikejar oleh banyak lelaki justru menjadi mimpi buruk bagi Karin. Dia lebih memilih menjadi perawan tua daripada harus kehilangan ayahnya dan menikahi orang yang tidak pernah dia temui."James!" Terlihat seorang wanita berlari memeluk James saat dia keluar dari dalam mobilnya. Karin membuka sedikit kaca mobil untuk menguping pembicaraan mereka."Pengantin Katon sudah tiba? Mana dia?" Wanita paruh baya itu tampak sangat penasaran ingin bertemu Karin. James menoleh ke belakang dan dengan isyarat mata menyuruh anak buahnya membuka pintu untuk Karin.Wanita paruh baya itu ternganga sambil memegangi kedua pipinya saat melihat Karin. Matanya berbinar senang dan bahkan dia sedikit berseru."Kamu pengantin Katon? Sungguh cantik sekali!" serunya seraya meraih tubuh Karin.Karin merasa terjerembab kaget."Pantas saja Katon memilihmu! Perkenalkan, aku Nyonya Wina, kepala asrama disini.""Karin Nevada." balas Karin singkat namun tak mengindahkan tawaran jabat tangan dari Nyonya Wina."Karin, barang-barangmu sudah ada di kamar dan selanjutnya kau aku serahkan pada Wina," James pamit, tak lupa menepuk bahu Karin untuk bersabar. Bukannya senang, Karin justru mendengus kesal tak mengerti kenapa dia harus bersabar dengan semua ini.Nyonya Wina mengantarkan Karin menuju kamarnya yang ada di lantai 3 di ujung selatan. Karin mengitari pemandangan sekeliling asrama dan mulai merasa sedikit aman karena ternyata dunia para bangsawan sama saja dengan dunianya."Ini kamarmu," Nyonya Wina menyerahkan kunci pada Karin."Sendirian?""Tentu saja! Bagaimana Katon bisa menemuimu kalau ada orang lain sekamar?" Nyonya Wina melambaikan tangan dan berlalu pergi.Tinggallah Karin yang masih ragu untuk masuk namun tak ada pilihan lain. Dia masuk ke dalam kamarnya dan betapa terkejut saat tahu kamar itu amat sangat mirip dengan kamarnya di rumah. Bahkan di meja belajarnya terdapat foto dia dan ayahnya semasa kecil. Karin bersimpuh tak kuat lagi membendung tangisnya. Andai saja ayahnya masih ada disini, dia tidak akan merasakan penderitaan ini. Pasti ayahnya akan berjuang sekuat tenaga untuk mencegah Karin datang ke sini.* * *Nyonya Wina sudah menyiapkan seragam sekolahnya yang baru beserta peraturan tertulis di asrama yang tercetak dalam selembar kertas. Bahkan tanpa diminta Nyonya Wina sudah menempelkan kertas peraturan itu di dalam kamar Karin. Sepertinya wanita itu tak suka ada yang membangkang dan melanggar aturan.Jam 7 setiap siswi wajib sarapan pagi di kantin asrama bersama-sama dengan menu yang berbeda setiap harinya. Hari ini adalah hari Senin, dimana untuk sarapan kantin menyediakan sandwich isi telur, salad sayur dan segelas susu soya. Karin memandangi makanannya tanpa selera."Mau sampai kapan dilihatin terus?" tegur seorang siswi yang duduk tepat di samping Karin.Siswi itu tersenyum dan semakin mendekatkan posisinya pada Karin, "Hai, aku Tanya. Kamu pasti murid baru ya?"Karin mengangguk enggan menjawab.
"Kalau boleh tahu, kamu pengantin siapa?""Kamu nggak boleh tahu," jawab Karin singkat.Tanya mengangkat alis, tak menyangka akan mendengar jawaban yang culas dari Karin. Namun sedetik kemudian dia tertawa."Kamu malu dengan calon suamimu? Ayolah, walaupun calon suamimu hanyalah bangsawan kelas rendahan, tapi kamu tetap pengantin bangsawan iblis," tawa Tanya. "Dibandingkan hidup sebagai warga biasa, tentu derajatmu lebih tinggi.""Aku lebih suka jadi warga biasa," balas Karin singkat. Dengan sorotan matanya dia mengisyaratkan pada Tanya bahwa dia tidak ingin diganggu."Oke, baiklah. Terserah kamu," Tanya sepertinya mulai kesal, karena dia menggeser tubuh menjauhi Karin.Bel berbunyi, tanda sarapan sudah selesai dan waktunya mereka berangkat ke sekolah. Malam hari sebelumnya Nyonya Wina sudah bercerita panjang lebar pada Karin mengenai sekolah yang akan dia jalani nanti. Dia akan berada di sebuah sekolah bernama Sofia dimana seluruh pemuda bangsawan iblis berkumpul serta mengenal calonnya lebih jauh. Namun di tengah perjalanan, bisa saja bangsawan iblis memutuskan untuk tidak menikahi calon pengantinnya. Dan itu mengakibatkan si calon pengantin iblis menjadi seorang free agent, dimana jika dalam setahun dia tidak menemukan calon suami pengganti, maka dia harus mati.Dan Karin mendapatkan jawaban dari Nyonya Wina bahwa ada satu orang calon pengantin seusianya yang telah dibuang oleh calon suaminya. Orang itu adalah Erna, mantan teman satu sekolah dengan Karin. Maka hari ini misi Karin adalah menemukan Erna karena hanya dialah satu-satunya orang yang tinggal satu wilayah dengan Karin saat di Alfansa."Hai!" tegur seseorang tiba-tiba saja menepuk pundak Karin."Kamu murid baru?" tanyanya dengan wajah sumringah."Ya.""Kenalin, aku Dewi," Dia memperkenalkan diri tanpa diminta. "Kamu tahu Tanya?" Dia menunjuk sosok Tanya yang berjalan tak jauh di depan mereka."Ya, kenapa?""Dia cewek paling populer dan paling beruntung di angkatan kita. Dia calon pengantin Katon Bagaskara.""Katon?!" Karin berseru tanpa sadar.Dewi mengangguk yakin. "Iya, dia bilang gitu ke semua orang."Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan