Share

Pulang sekarang!

Author: Mama fia
last update Last Updated: 2023-09-10 19:39:36

Pertanyaan bernada lembut tapi mengandung ancaman. Bahkan dia sekarang tersenyum manis dengan tangan kanannya mengusap lembut pipiku.

Mas Andra memang selalu romantis. Namun entah kenapa, aku terkadang merasa takut padahal ekspresi wajahnya biasa saja. Tidak ada gurat marah sedikit pun.

"Baiklah, Mas. Aku mau kamu antar. Aku hanya ingin memberikan sembako dan camilan untuk Rara dan anak-anaknya. Boleh 'kan, Mas?"

"Tentu saja boleh, Sayang. Beri juga uang untuk membayar kontrakan rumahnya." Jawaban Mas Andra tentu saja membuatku bahagia.

Kupeluk erat tubuh tegapnya yang sudah terbungkus kemeja biru tua. Dia memang suami yang baik dan juga dermawan. Apalagi dia tahu keadaan Rara yang cenderung kekurangan.

"Terima kasih ya, Mas," ucapku dan Mas Andra membalasnya dengan kecupan lembut di bibirku.

"Sama-sama, Sayang. Ayo, berangkat."

Akhirnya aku berangkat ke rumah Rara diantar Mas Andra. Kami berdua duduk berdampingan. Pak Hadi yang mengemudikan mobil sedan mewah kesayangan Mas Andra. Bahkan suamiku lebih suka memilih kendaraan roda empat yang hanya muat untuk kami berdua dan Pak Hadi tentunya.

Pak Hadi adalah sopir kepercayaannya. Usianya mungkin sudah hampir 50 tahun tapi masih terlihat sangat sehat. Pak Hadi tinggal di paviliun di belakang rumah kami bersama istrinya—Bi Lastri.

Setiap hari, Bi Lastri yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Sementara mencuci dan setrika pakaian dikerjakan Bi Darmi—asisten rumah tangga kami yang hanya datang pagi dan pulang setelah pekerjaannya selesai.

Aku sama sekali tidak diijinkan Mas Andra untuk beraktifitas apapun. Tugasku hanya melayaninya saja. Bahkan dia selalu menyediakan makanan empat sehat lima sempurna untukku. Jika aku menginginkan sesuatu, Mas Andra langsung membelikannya tanpa banyak bicara.

Tidak lupa Mas Andra selalu memberiku vitamin dari dokter setiap malam. Saat bangun tidur, Mas Andra membuatkanku air madu hangat. Bukankah aku harus bersyukur memiliki suami seperti Mas Andra?

Di saat banyaknya cerita tentang istri yang dijadikan babu oleh suami dan keluarganya, aku justru dijadikan ratu. Bahkan mencuci satu gelas pun, aku tak diijinkan. Enak sekali bukan?

Untuk perawatan wajah dan tubuhku, Mas Andra meminta dua orang pegawai klinik kecantikan datang ke rumah. Sungguh, aku benar-benar tidak diijinkan ke mana-mana meskipun uang di rekeningku melimpah.

Masalah uang? Jangan ditanya. Meskipun Mas Andra bukan seorang CEO tapi dia memberiku uang belanja sepuluh juta per bulan. Sayang sekali, uang itu utuh karena aku tidak diijinkan belanja sendiri. Entahlah, dengan keadaan seperti itu, aku harus bahagia atau sedih.

Aku tidak tahu berapa gaji Mas Andra setiap bulan. Yang pasti, insyaa Allah aku tidak akan pernah kekurangan. Dan yang pernah kudengar, Mas Andra memiliki warisan yang berlimpah dari kedua orang tuanya.

Kendaraan Mas Andra berhenti tepat di tanah kosong di samping gang sempit. Aku harus berjalan kaki menuju rumah Rara. Mas Andra ikut keluar dari mobil lalu menggandeng tanganku.

Pak Hadi berjalan di belakang kami sambil membawa barang-barang untuk Rara. Sebelumnya kami mampir terlebih dahulu di supermarket.

Sesampainya di rumah kontrakan Rara yang kecil tapi bersih, aku pun mengetuk pintu dan mengucap salam. Untung saja rumah Rara tidak jauh dari gang masuk sehingga kami tidak perlu berjalan jauh.

Hanya dalam hitungan detik, terdengar suara Rara membalas salamku. Pintu pun terbuka dan memperlihatkan Rara yang memakai gamis bahan kaos dan jilbab panjang yang sudah lusuh.

"Masyaa Allah ... Arini? Ayo, masuk."

Rara terlihat sangat bahagia dengan kedatanganku. Sudah tiga bulan lebih aku tidak berkunjung ke rumahnya. Hanya sembako dan uang yang biasanya diantarkan oleh Pak Hadi.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Rara setelah kami berpelukan dan cipika-cipiki.

"Alhamdulillah baik," jawabku sambil tersenyum.

"Silakan duduk, Pak Andra. Maaf kalau lesehan."

Rara mengangguk sopan pada Mas Andra. Dia memang memanggil dengan sebutan Pak Andra untuk menghormati suamiku. Rara juga tahu, usia Mas Andra sepuluh tahun lebih tua dari kami berdua. Aku dan Rara memang sepantaran.

Mas Andra hanya mengangguk menanggapi ucapan Rara dan Rara pun sudah hapal dengan sikap Mas Andra. Sementara Pak Hadi sudah kembali ke mobil setelah menaruh oleh-oleh untuk Rara.

"Mas Andra mau berangkat kerja kok. Iya kan, Mas?" Aku mengusap lembut lengan suamiku.

Aku ingin Mas Andra cepat pergi, maksudku cepat berangkat kerja agar tidak terlambat. Aku ingin segera menggendong putrinya Rara yang masih balita dan juga bercerita dengan Rara tentang banyak hal.

"Jam dua belas nanti aku jemput. Rara, tolong jangan biarkan Arini pulang sebelum aku atau Pak Hadi menjemputnya," pinta Mas Andra. Begitulah setiap kali aku main ke rumah Rara.

"Siap, Pak. Saya akan menjaga Arini."

Rara pun membalasnya dengan kalimat yang selalu sama. Itulah kenapa aku diijinkan main ke rumahnya. Selama ini Rara selalu bersikap baik, tidak pernah membawa dampak negatif dan yang paling penting kooperatif.

"Terima kasih," balas Mas Andra dan Rara kembali mengangguk sopan. Bahkan Rara tidak pernah memandang genit suamiku. Dia sahabat terbaik yang kumiliki.

"Hati-hati ya, Mas. Jangan khawatir, aku nggak akan pulang sendiri," ucapku meyakinkannya.

Setelah mengecup keningku, Mas Andra kembali memakai sepatu yang baru saja dilepas saat masuk ke rumah Rara. Aku menunggu sampai Mas Andra pergi.

Akan tetapi, baru saja Mas Andra berjalan beberapa langkah, terdengar suara seorang pria dari dalam rumah. Tampak Mas Fahmi—suami Rara ke luar dari balik korden yang menutupi kamar.

"Arini? Lama sekali kamu nggak ke sini?" tanya Mas Fahmi dengan nada senang.

Aku terkejut dengan kemunculan Mas Fahmi. Begitu pun dengan Rara. Dan sekarang Rara menepuk keningnya sendiri. Mungkin dia lupa memberitahuku kalau suaminya ada di rumah.

"Iya, Mas. Maaf baru sempat ke sini. Mas Fahmi belum berangkat?" tanyaku sembari melirik ke arah Mas Andra.

Suamiku berdiri diam di depan rumah. Sepertinya dia tidak jadi pergi, membuatku yakin kalau sebentar lagi akan ada drama, meskipun wajahnya terlihat sangat tenang dan biasa saja.

"Aku nggak enak badan. Jadi hari ini mau istirahat dulu di rumah. Tapi kamu di sini saja nggak apa-apa. Nanti jam sembilan aku keluar kok, ada tetangga yang minta tolong antar belanja bahan bangunan, mau renovasi rumahnya," jelas Mas Fahmi.

Aku tahu Mas Fahmi pria yang sopan. Dia juga suami yang setia dan bertanggung jawab.

Kulihat Mas Andra berjalan mendekat. Mas Fahmi mengulurkan tangannya mengajak suamiku berjabat tangan. Mas Andra pun membalas uluran tangan Mas Fahmi dan tersenyum.

Namun, senyuman di wajahnya tak berarti apa-apa bagiku. Mas Andra tetaplah Mas Andra, suamiku yang posesif. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ayo, Sayang, kita pulang!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Telepon dari Dokter Haris 2

    “Kukira Mas sakit sampai-sampai berhubungan dengan seorang dokter.” “Alhamdulillah aku sehat, bahkan sangat sehat. Mau berapa ronde?” tanya Mas Andra sambil menaikturunkan alisnya yang hitam dan tebal itu. Wajahku menghangat mendengar ucapannya yang sepertinya sengaja menggodaku. Aku pun berdecak sebal, menutupi rasa malu. “Ish, Mas ini. Selalu itu yang dibahas. Ya sudah, aku tidur saja. Katanya Mas mau kerja.” “Iya, sayang sekali ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau nggak, aku akan memakanmu dengan lahap.” “Memangnya aku ayam kecap?” Mas Andra hanya tertawa. Lalu berjalan meninggalkan kamar setelah mengecup bibirku singkat. *** Aku mengerjapkan mata, melihat sekelilingku. Mas Andra masih belum masuk kamar. Kulihat jam di dinding sudah melewati angka satu. Apa pekerjaannya sebanyak itu sampai-sampai Mas Andra belum tidur selarut ini? Aku beringsut turun dari ranjang dengan perlahan. Meskipun masih mengantuk, aku paksakan untuk mengambil salah satu buku

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Telepon dari Dokter Haris 1

    Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi Mas Andra belum pulang. Ponselku pun sepi tanpa ada satu pesan atau panggilan telepon dari suamiku. Tumben sekali. Sepertinya Mas Andra benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Atau mungkin dia sibuk mencari siapa pengirim pizza? Ah, semoga saja jika Dika pengirimnya, tidak membuat masalah baru. Aku lelah dengan sikap suamiku yang terlalu pencemburu itu. Aku berbaring setelah sholat empat rakaat. Mataku tak bisa terpejam karena memikirkan suamiku. Jika Mas Andra pulang terlambat, biasanya dia pasti memberitahuku terlebih dahulu. Apa dia marah? Kumainkan ponsel mahalku yang sepi, tanpa aplikasi apa pun kecuali aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Bahkan aku sama sekali tidak berniat men-download aplikasi media sosial satu pun. Apalagi yang sekarang lagi viral, yang di sana kita bisa belanja dengan harga sangat murah. Itu semua aku tahu dari Rara, karena dia sekarang juga berjualan melalui aplikasi yang bernama Tok Tok itu.

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Kiriman Pizza 2

    Bi Lastri tertawa terpingkal-pingkal, mungkin karena mendengar ucapanku. Memang terus terang saja kalau aku kurang healing, kurang refreshing. Bayangkan saja, dikurung di rumah tanpa boleh pergi ke mana pun, siapa yang akan betah? Bersyukur aku memang tipe orang yang tidak suka keluyuran. Namun meskipun begitu, kadangkala aku juga merasa bosan. Wajar, bukan? “Mbak Arini memang lucu. Pantas saja kalau bapak gemas dan cemburu. Kalau Mbak Arini dibiarkan keluar sendirian tanpa pengawasan, pasti digodain banyak laki-laki, mulai hidung polos sampai hidung belang.”“Sekarang Bibi yang lucu,” balas ku sembari tersenyum lebar. “Sudah, Bi, saya mau ke kamar. Semoga saja pizza itu benar-benar dari Mas Andra,” pamitku untuk yang kedua kalinya. “Semoga saja, Mbak.”Aku melanjutkan langkahku menuju kamar. Baru saja sampai di depan pintu, tampak Mas Andra keluar dari ruang kerjanya lalu berjalan ke arahku. Dia tersenyum manis sekali. “Habis makan ya, Sayang?” tanya Mas Andra setelah berdiri tep

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Kiriman Pizza 1

    Aku tersenyum melihat foto yang dikirim Mas Andra. Dia duduk berhadapan dengan Dika, di salah satu restoran Jepang ternama. Ternyata Mas Andra menyetujui permintaanku.Kukirim pesan ucapan terima kasih dengan emoticon love yang entah berapa jumlahnya, mungkin dua puluhan. Dan Mas Andra membalasnya dengan emoticon ketawa. Ish, menyebalkan! Untung cinta.Aku berjalan keluar kamar lalu menuju ruang makan. Perutku mulai meronta, protes minta diisi. Pantas saja, sekarang sudah pukul sebelas siang dan aku memang belum makan apa pun dari pagi, hanya segelas susu setelah sholat subuh. Hampir setiap hari aku tidur lagi setelah sholat subuh, karena lelah semalaman melayani Mas Andra. Ingin menolak tapi aku juga tidak ingin dia nanti selingkuh. Apalagi godaan wanita lain di luar sana selalu mengintai bagi pria tampan dan mapan seperti suamiku itu."Bi Lastri masak apa?" tanyaku pada Bi Lastri yang baru saja menyajikan masakannya di atas meja. Baunya sangat menggugah selera."Saya masak capcay sa

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Membujuk Mas Andra 2

    Mas Andra beranjak berdiri lalu duduk di sampingku. Dia lalu menepuk pahanya, sebagai isyarat agar aku duduk di pangkuannya. Karena penasaran, aku pun menuruti permintaannya."Bukan anakku, Sayang, tapi anak dia dengan suaminya. Setelah kami bercerai, dia menikah dengan selingkuhannya. Satu tahun kemudian, nggak sengaja aku bertemu dan perutnya sudah buncit."Aku merasa lega mendengar jawabannya. Setidaknya Mas Andra tidak ada urusan lagi dengan Melisa. "Lalu?" Aku penasaran dengan kelanjutan cerita tentang Melisa dan anaknya. Mas Andra pasti punya alasan yang kuat kenapa dia membantu mantan istrinya."Lalu apa?" Mas Andra bertanya sambil terkekeh. Aku tahu dia tak ingin lagi membahas tentang mantan istrinya. Namun, aku tak mau menyerah begitu saja."Lalu kenapa Mas memberikan sembako dan uang. Apa alasannya, Mas? Bukankah dia punya suami? Kalau orang yang nggak tahu, pasti dikira Mas masih cinta sama dia. Aku juga nggak menyalahkan Melisa jika dia sampai berpikiran seperti itu."Ma

  • Jerat Cinta Suami Posesif   Membujuk Mas Andra 1

    "Anu, Pak ... tadi di pasar ponsel saya jatuh, terus tiba-tiba saja waktu saya cari, Bu Melisa datang mengembalikan ponsel saya. Sumpah demi Allah, Pak, saya tidak memberi nomornya Mbak Arini pada Bu Melisa. Bapak harus percaya sama saya."Akhirnya Bi Lastri menceritakan apa yang dialaminya sewaktu di pasar dengan terbata-bata. Aku yang sudah mendengarnya, berusaha membela Bi Lastri. Aku yakin Bi Lastri tidak bersalah."Mas, aku yakin Bi Lastri tidak berbohong. Ayolah, Mas sendiri tahu bagaimana pengabdian Bibi selama ini. Apalagi Mas juga sudah mengenal Bibi selama sepuluh tahun."Mas Andra menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dia lalu mengecup puncak kepalaku sebelum meninggalkan kami. Sepertinya Mas Andra masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia hanya mendengarkan tanpa membalas penjelasan Bi Lastri."Tenang ya, Bi, Insya Allah Mas Andra percaya sama Bibi. Sepertinya dia sudah nggak marah, nanti aku akan mencoba membujuknya lagi. Aku juga nggak mau kalau Bibi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status