Khandra duduk di atas ranjangnya dan duduk terpekur. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia kembali menempati kamar ini lagi.Akhirnya Khandra kembali ke rumah ini juga setelah papanya meluluskan permintaannya. Khandra tak minta banyak hal. Khandra hanya minta seluruh ruangan yang ada di lantai tiga rumah ini digunakan untuk dirinya dan Evanna.Rakha yang kamarnya ada di samping kamar Khandra harus rela pindah ke kamar yang ada di lantai dua.Sebenarnya, Khandra sudah tak memiliki ikatan batin dengan rumah ini. Rumah yang berdiri sejak kedua orang tuanya menikah.Namun, sejak ibunya meninggal dan Nisya menjadi istri baru papanya, Khandra merasa rumah ini bukan lagi menjadi bagian hidupnya.Ia memandang sekeliling kamarnya yang tak banyak berubah. Poster-poster gedung pencakar langit masih menghiasi dinding. Tumpukan buku-buku lama tersusun rapi di rak buku. Semuanya masih sama persis seperti terakhir kali ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu.Tiba-tiba pandangan Khandra tertumbuk pada
Khandra memasuki ruang kerja ayahnya yang terletak di lantai dasar. Setelah sekian tahun berlalu, Khandra mencoba mengakrabkan dirinya kembali dengan rumah ini. Atau paling tidak dengan papanya.”Papa mau bicara denganku?” tanya Khandra saat ia sudah memasuki ruang kerja ayahnya itu.Benny tersenyum lebar dari kursinya yang ada di balik meja kayu jati kokoh yang dipelitur mengilat. Benny meletakkan buku yang tengah dibacanya dan menatap Khandra yang duduk di kursi di hadapannya.”Kamarmu belum sempat Papa perbarui. Tak apa kan sementara masih seperti itu. Lusa Papa akan menyuruh orang untuk merenovasi lantai tiga untukmu,” ujar Benny yang tampak bahagia setelah Khandra mau kembali ke rumah.”Tak perlu repot-repot, Pa. Aku bisa merenovasi kamarku sendiri,” jawab Khandra.”Ah, tidak perlu seperti itu, Nak,” sahut Benny sambil menggelengkan kepala. ”Papa akan menyuruh orang untuk merenovasinya untukmu. Anggap saja ini hadiah selamat datang kembali di rumah.”Khandra tersenyum kecil meli
Rakha memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia kesal dengan semua yang terjadi di rumah. Apalagi dengan kepulangan Khandra membuat ayahnya tampak mengistimewakan kakak tirinya itu.Rakha bahkan harus merelakan kamar yang sudah dihuninya selama belasan tahun hanya karena Khandra meminta seluruh lantai tiga rumah mereka untuk dirinya sendiri. Benar-benar menyebalkan.Rakha membelokkan mobilnya menuju club ekslusif langganannya. Ia memarkirkan mobilnya di basement night club itu, lalu menaiki lift menuju ruangan pemilik Euphonic Rhapsody. Pemilik club tersenyum lebar saat melihat sosok Rakha.”Kukira kau sudah punya tempat baru sampai-sampai tak pernah lagi ke sini,” sambut Jetro sambil memberi isyarat pada anak buahnya untuk menjamu Rakha.”Pekerjaanku menumpuk. Jadi, baru sekarang aku bisa ke mari. Ruangan favoritku bisa kupakai?” tanya Rakha singkat.Rakha sangat pusing hari ini. Ia butuh hiburan untuk mendinginkan otaknya. Ia mau mabuk sampai pagi di club ini. Lagipula ia punya ru
”Nyonya Muda kita baru bangun rupanya,” sindir Nisya saat Evanna turun ke lantai bawah pagi itu.Evanna hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Ia harus mulai terbiasa dengan ucapan sinis itu.Evanna masih ingat pesan Khandra padanya. Sebisa mungkin Evanna menghindari kontak langsung dengan Nisya.Selama tiga hari terakhir, Evanna turun ke lantai satu agak siang. Pelayan rumah ini sudah dipesan jauh-jauh hari supaya mengantarkan makanan ke lantai atas.Biasanya kalau Evanna turun ke lantai dasar sekitar jam 9 atau jam 10, Nisya tak ada di rumah. Sialnya hari ini Evanna harus bersirobok dengan ibu mertuanya itu.”Saya sudah bangun sejak subuh tadi. Hanya saja baru turun sekarang,” ujar Evanna.”Aku tidak tanya,” sahut Nisya ketus.Evanna hanya mengangkat bahunya, kemudian berlalu ke dapur. Hari ini ia mau membuat puding untuk suaminya. Lama-lama berdiam diri di atas tanpa teman, membuat Evanna bosan.Nisya memandang Evanna dengan tatapan sinis ketika Evanna memasuki dapur.
”Me…meracuni? Maksudnya apa, Ma?”Evanna bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati ayah mertuanya. Dilihatnya kulit tangan dan wajahnya mulai kemerahan. Napasnya juga terlihat pendek dan tersengal.”Rakha, telepon dokter, sekarang!” seru Nisya sambil memeluk tubuh suaminya.”Minggir kau, perempuan jahanam. Berani-beraninya kau membuat suamiku seperti ini!”Nisya mendorong tubuh Evanna hingga punggungnya menghantam tepian meja. Sebentar kemudian Nisya memanggil pelayan untuk membantunya membawa Benny ke kamar.”Awasi perempuan itu. Jangan sampai ia kabur. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” teriak Nisya geram pada salah satu pelayan yang ada di ruangan itu.Evanna hanya bisa terduduk kaku mendengar teriakan dan tuduhan Nisya padanya. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi dengan ayah mertuanya.Evanna terduduk lemas di kursi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut mencoba mencerna tuduhan mengerikan dari ibu mertuanya.Meracuni ayah mertuanya sendiri? Hal paling
”Saya… saya tidak tahu, Pak Dokter. Saya benar-benar minta maaf, ini di luar pengetahuan saya,” ujar Evanna di sela isak tangisnya.Evanna tergugu saat mendengar penjelasan dr. Rahmat itu. Jadi, memang benar semua ini karena kesalahannya. Ia teledor saat menyiapkan makanan untuk keluarga mereka.Seharusnya Evanna bertanya terlebih dahulu. Apalagi kondisi kesehatan Benny yang tak bisa dikatakan baik. Membuat tubuhnya rentan terkena alergi.”Pak Benny menderita alergi yang langka. Bahan makanan dari tanaman yang tergolong nightshade harus dihindari Pak Benny. Apa Pak Benny tadi makan terung, kentang, atau tomat?” tanya dr. Rahmat.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia tak memasukkan bahan-bahan itu dalam masakannya malam ini.”Atau mungkin cabai, paprika?” tanya dr. Rahmat lagi.Evanna tertegun. Ia tadi menambahkan bubuk paprika ke dalam adonan ayam goreng yang dibuatnya. Jadi, benar tragedi yang terjadi malam ini murni karena kesalahannya.Evanna merasa bersalah dan menyesal setelah menya
Khandra memilih turun ke ruang makan untuk sarapan pagi itu. Peristiwa semalam sangat mengganggu pikirannya.Pikirannya masih berkecamuk mengingat peristiwa semalam yang membuatnya naik pitam. Evanna, istrinya, hampir saja menjadi kambing hitan karena tuduhan kejam dari Nisya, ibu tirinya.Aroma masakan menguar memenuhi ruangan ketika Khandra memasuki ruang makan. Nisya sudah duduk di sana. Wajahnya tampak angkuh seperti biasa. Begitu melihat Khandra, seringai sinis terukir di wajahnya.”Huh, kau turun juga akhirnya. Biasanya kau lebih suka makanan diantar ke kamarmu kan?” sambut Nisya ketus saat melihat Khandra masuk ke ruang makan.”Suka-suka aku mau makan di mana. Apa urusannya denganmu?” tukas Khandra pada ibu tirinya yang membuat suasana ruang makan pagi itu berubah seperti di medan perang.Khandra menatap Nisya dengan sorot mata menantang. Ia sudah muak dengan sikap ibu tirinya yang selalu memperlakukannya dan Evanna seperti sampah.Nisya memicingkan matanya, ”Tentu saja itu uru
”Papa sudah merasa baikan?” Evanna melirik takut pada ayah mertuanya. Wajahnya masih tampak pucat. Beberapa bagian kulitnya masih terlihat ruam kemerahan.”Aku sudah sehat, Nak. Jangan terlalu khawatir begitu,” jawab Benny sambil tersenyum lembut.Evanna mengembuskan napas lega melihat ayah mertuanya yang tampaknya tak marah atau menaruh dendam padanya. Evanna melirik ibu mertuanya yang wajahnya masih tampak menyeramkan. Sorot matanya seakan ingin menguliti Evanna hidup-hidup.”Ayo, kita sarapan saja! Sudah cukup basa-basinya.”Nisya memgambil piring Benny dan mengisinya dengan nasi goreng yang ada di meja makan. Diletakkannya juga sepotong telur dadar di atas nasi goreng itu.”Kalau makanan ini pasti aman buat Papi.”Perkataan Nisya membuat Evanna kembali menundukkan kepalanya. Nampaknya Nisya masih sulit memafkan kesalahn Evanna.Suasana hening menyelimuti ruang makan itu. Hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu. Evanna hanya berani melirik ayah dan ibu mertuanya se