Share

Bab 2

Satu telepon dari ayahnya berhasil menghancurkan hubungan seksualnya dengan Lidia selamanya. Ada apa dengan wanita dan pertemuan keluarga? Terakhir kali Etan berani membawa seorang gadis ke sekitar keluarganya hampir enam tahun yang lalu. Baru dua tahun sejak dia menyelesaikan masalahnya dengan mantannya itu. Pada saat itu dia tidak memikirkan apa pun saat mengajak teman kencannya ke acara keluarga. Lagi pula, itu hanya acara BBQ atau begitulah yang dia pikirkan. Tapi saat wanita itu bertemu dengan keluarganya, yang bisa dia dengar hanyalah pembicaraan mengenai pernikahan. 

Dua hari kemudian wanita itu mulai menyebut mereka sebagai "kami", dan Etan langsung berhenti menghubunginya. Dia tidak melakukan hubungan yang menyangkut "kami".

Etan tidak pernah melakukannya dan tidak akan pernah melakukannya.

Baiklah, itu tidak sepenuhnya benar. Dia sudah pernah mencoba berpacaran dan bahkan bertunangan, tapi dia terluka sampai dia bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Tujuh tahun kemudian, dia senang mendapat julukan bajingan playboy. Meskipun berbeda jauh dari misi keluarganya yang ingin membuatnya menikah dan memiliki banyak anak.

Setelah mandi dan bercukur Etan memakai jas terbaiknya sebelum menuju pintu untuk pergi menjemput ayahnya. Tapi seperti yang dia duga, ayahnya sudah menunggunya di depan pintu rumahnya. 

"Sekarang baru jam sepuluh." Kata Etan saat membuka pintu lebar-lebar.

"Aku tidak mengatakan apa pun." Jawab ayahnya.

Etan tersenyum. "Aku hanya mengatakannya sebelum papa coba mengatakan kalau aku terlambat." Kata Etan sambil berjalan menuju mobilnya yang di ikuti oleh ayahnya.

"Apakah kau kira aku ini adalah pria tua yang suka menggerutu?" Tanya ayahnya sambil cemberut.

"Sedikit." Jawab Etan singkat sambil membuka pintu mobil kemudian masuk ke sisi pengemudi sedangkan ayahnya masuk ke sisi sebelahnya.

"Pasti karena aku menghabiskan akhir pekan bersama teman-temanku. Mereka mulai mempengaruhiku." Kata ayahnya sambil tertawa.

"Aku yakin begitu." Jawab Etan sambil tersenyum.

"Apa kau ingat hadiah untuk Theo?" Tanya ayahnya.

"Ya aku ingat." Jawab Etan sambil memutar matanya sambil mengendarai mobilnya ke arah gereja.

"Aku hanya bertanya. Kenapa kau marah? Tidak cukup tidur semalam?" Tanya ayahnya.

"Aku menolak menjawab yang satu itu." Kata Etan

"Kedengarannya cukup rumit. Kau seharusnya membawa wanita itu ke pembaptisan." Kata ayahnya.

"Aku rasa itu tidak perlu." Kata Etan.

"Malu dengan keluargamu?" Tanya ayahnya.

"Tentu saja tidak. Dia hanya teman kencan tapi kami bukan apa-apa lagi." Jawab Etan.

Ayahnya mendesah. "Aku masih berharap suatu hari nanti sebelum aku meninggal, aku bisa menggendong putra atau putrimu." 

Etan tidak bisa menahan diri dan menyentak tangannya di setir dan menyebabkan mobil sedikit bergoyang. "Bisakah papa membantuku, aku ingin melewati hari ini tanpa merasa buruk sedikit pun."

"Jadi apakah itu salahku kalau aku berharap kau menikah dan punya anak?" Tanya ayahnya dengan nada kesal.

Etan mengarahkan mobil ke tempat parkir di belakang gereja sambil menggerutu. "Aku akan mengatakan ini untuk terakhir kalinya di hari ini, dan kemudian aku selesai dengan pembicaraan ini. Hal yang aku lakukan sebagai orang tua adalah berdiri sebagai orang tua baptis Theo, hanya itu."

Ayahnya mengangguk sedih. "Baiklah, aku mengerti."

"Baiklah, sekarang ayo masuk. Tidak baik merusak suasana di hari cicitmu di baptis, kan?" Kata Etan sambil tersenyum.

"Kau benar." Balas ayahnya sambil tersenyum.

Setelah keluar dari mobil, Etan menuju bagasi belakang. Dia mengeluarkan sebuah tas toko yang berisi salib Theo yang masih terbungkus di dalamnya. Meski dia sudah mencari yang paling kecil, Etan membayangkan salib itu akan menjadi kecil di tangan Theo ketika bayi itu mulai tumbuh. Anak itu beru berumur enam minggu, dia terlalu kecil untuk di baptis tapi karena sekarang sudah menjelang natal, inilah saat terbaik untuk mengumpulkan semua keluarga, Termasuk saudara perempuannya Anne yang tinggal di luar kota.

Saat mereka masuk ke dalam gereja, ayahnya memberi isyarat pada Etan ke salah satu sisi ruangan. Ketika dia membuka pintu, dia melihat saudara perempuannya dan keluarga yang lainnya. Semua keponakan perempuan dan laki-lakinya ingin memeluknya dan menceritakan padanya tentang apa yang terjadi di sekolah atau latihan sepak bola atau latihan-latihannya. Etan memberi mereka perhatian penuh hingga akhirnya mereka meninggalkannya dan dia bisa menarik napas lega.

Setelah menyerahkan hadiah Theo pada saudara iparnya, Gio, dia menoleh pada kakaknya, Angel yang menyenggolnya. "Inikah si ayah baptis?"

Etan tersenyum. "Itulah aku."

Angel memeluknya erat. "Kami merasa senang karena kau akhirnya setuju untuk melakukan ini untuk Theo. Dia bayi kecil yang beruntung."

Etan menarik diri dan menatap kakaknya. "Sejujurnya aku masih heran, bagaimana bisa aku masuk daftar calon ayah baptis? Maksudku... Bagaimana aku mengatakannya... bukankah ada pilihan lain yang lebih cocok?"

"kau adalah satu-satunya di dunia ini yang di inginkan Amanda." Kata Angel.

Sebuah senyum lembut tergambar di wajah Etan saat Angel menyebut nama Amanda. Dia selalu berusaha keras untuk tidak pilih kasih dengan para keponakannya yang lain, tapi dia selali memiliki ikatan yang kuat dengan Amanda.

Sambil melepaskan kancing jasnya Etan melirik ke sekeliling ruangan. "Ngomong-ngomong, di mana Amanda dan bayi kecilnya?"

Angel tertawa. "Oh, Amanda ada di dalam bersama Theo. Dia bilang dia ingin berdoa sebelum mulai."

Etan mengangguk saat ruangan itu terdengar mulai riuh dengan kedatangan keponakan-keponakannya yang lebih muda yang berlarian masuk keluar ruangan. "Aku akan pergi dan duduk sebentar dengan Amanda. " Kata Etan merasa ingin melarikan diri sebentar dari kekacauan dan keriuhan keluarganya.

"Mungkin sebaiknya kau berhenti dan masuk ke ruang pengakuan dosa dulu." Goda Angel.

Etan membalas godaan kakaknya dengan terkekeh. Etan berjalan masuk ke dalam ruang ibadah dan melihat Amanda sedang berlutut di bangku deretan paling depan. Dia berjalan dan menyadari kalau Amanda sudah selesai berdoa dan hanya menatap salib raksasa di depannya. Etan membuat tanda salib sebelum duduk di bangku di samping Amanda.

"Hei, mama." Sapa Etan dengan suara rendah hampir berbisik.

Amanda berbalik dan tersenyum. Dia memasukkan rosario ke dalam saku gaunnya dan duduk kembali. "Hei Pam. Senang kau bisa datang."

Etan menggelengkan kepalanya pada julukan lama itu untuknya. Sebagai cucu pertama, Amanda menghabiskan banyak waktu dengan kakek dan neneknya. Saat pertama kali mulai bicara dia tidak bisa menyebut 'paman Etan'. Tapi dia hanya bisa menyebut 'Pam'. Tidak satu pun dari keponakannya yang kain memanggilnya begitu karena itu adalah salah satu dari ikatan khusus mereka.

Etan mengulurkan lehernya dan untuk mengintip Theo yang sedang tertidur pulas di sebuah keranjang khusus bayi di samping Amanda. "Kau tahu kalau aku tidak akan melewatkan ini untuk apa pun di dunia ini. Maksudku, untuk pria muda sepertiku yang menjadi ayah baptis keponakannya."

"Percayalah, aku sangat bersyukur dengan keberadaanmu." Kata Amanda menatapnya dari atas ke bawah sebelum menggelengkan kepalanya. "Aku yakin kau memiliki malam yang liar semalam."

"Apa yang membuatmu mengatakan hal itu?" Tanya Etan bingung.

"Dari lingkaran hitam di bawah matamu dan fakta opa meneleponku dua kali pagi ini untuk mendengar apakah aku sudah mendengar kabar darimu."

Etan menyapukan tangan ke wajahnya. "Benarkah? Tapi aku pikir aku terlihat sangat menakjubkan."

"Sangat sombong." Amanda tertawa kecil. "Kau yakin kita tidak perlu membasuhmu dengan air suci dulu?"

"Hah, sangat lucu. Ibumu sudah menyuruhku agak aku masuk ke dalam ruang pengakuan dosa sebelum menemuimu." Kata Etan.

"Aku yakin dia benar. Maksudku, kapan terakhir kali kau berada di gereja?" Tanya Amanda.

Etan mengangkat alisnya. "Apa ini, apakah kau dan ibumu sengaja melakukan ini padaku?"

"Kau selalu memiliki pengaruh buruk, tapi aku tetap mencintaimu." Kata Amanda sambil tertawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status