Etan setengah menunduk untuk mencium pipi Amanda. "Dan aku juga mencintaimu, meskipun terkadang kau seperti hama kecil yang menjengkelkan." Kata Etan sambil mengedipkan sebelah matanya. "Kita menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama, kan?"
"Tentu saja." Balas Amanda.
Mereka terdiam selama beberapa detik.
"Jadi bagaimana keadaanmu?" Tanya Etan mengarah kepalanya kearah Theo. "Menjadi ibu baru dan segalanya."
"Aku baik-baik saja." Jawab Amanda sambil memainkan ujung gaunnya.
"Sekarang kau sudah mulai berbohong pada paman favoritmu, apakah kau tahu kalau itu sama sekali tidak sopan?" Tanya Etan sambil melipat tangannya di dadanya.
Amanda menghela napas dan menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahnya menggunakan tangannya. "Baiklah, maafkan aku. Menjadi orang tua tunggal jauh lebih sulit dari yang aku kira, bahkan dengan bantuan ayah dan ibu. Aku selalu stres dan lelah setiap saat mencoba menyelesaikan kuliahku, dan secara mental, aku tidak baik-baik saja. Kau senang?"
"Oh, sayang. Aku tidak suka mendengarnya." Kata Etan kemudian merangkul bahunya dan menariknya mendekat.
Amanda mengangkat bahu pasrah. "Tidak apa-apa."
"Masih belum ada kabar dari si brengsek itu?" Tanya Etan.
"Tidak ada kabar apa pun sejak dia mengirimkan aku uang dan kontrak yang sudah dia tanda tangani." Jawab Amanda pelan sambil menggelengkan kepalanya.
Etan mendengus jengkel saat memikirkan pria yang menghamili Amanda. Seandainya saja dia bisa menghajar bocah itu, dia sudah tidak akan peduli kalau si brengsek itu adalah seorang kapten sepak bola yang di agung-agungkan di kotanya. Dia masih akan memastikan untuk menata ulang wajahnya dan mengambil sesuatu dari bagian tubuhnya sebagai suvenir.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, dan dia tidak pantas untuk itu." Kata Amanda.
"Kau selalu membuatku khawatir." Kata Etan sambil mengedipkan matanya.
"Setidaknya dengan uang yang dia kirim itu, aku bisa membeli sebuah apartemen sendiri. Aku butuh sedikit jarak dari ayah dan ibu." Kata Amanda.
"Kau harus tinggal bersama mereka selama mungkin." Balas Etan sambil menggelengkan kepalanya.
Amanda terkekeh. "Terima kasih banyak. Aku pikir semua orang akan mengerti tentang keinginanku untuk berdiri sendiri dan tidak harus selalu merepotkan keluarga dan mendapat pantangan mengenai pilihan hidupku."
"Itu juga ada benarnya." Jawab Etan sambil merenung. Dia hanya bisa membayangkan bagaimana Angel memberi nasehat pada Amanda setiap hari tentang apa yang Amanda lakukan itu benar atau tidak. Angel melakukan itu pada Etan juga, dan dia bahkan bukan anaknya. Tapi sebagai kakak perempuan tertua, Angel selalu menjadi ibu kedua baginya. Dan dalam lima tahun ini sejak ibunya meninggal, dia menikmati peran itu dengan semangat baru.
"Jadi kau rela membuang uang banyak untuk membeli sebuah apartemen kecil, tapi tidak mau menerima tawaranku?" Tanya Etan sambil mengencangkan rangkulannya.
"Tidak mungkin kau benar-benar ingin aku tinggal bersamamu." Kata Amanda sambil memutar bola matanya kemudian tertawa. "Aku senang sekali kau menawarkan diri untuk membantuku, tapi percaya padaku, kau akan menyesali hal ini dua jam setelah Theo dan aku pindah ke rumahmu."
"Aku hampir tidak akan melihat kalian jika kalian tinggal di lantai atas dan aku juga sering pulang larut malam." Balas Etan.
"Biar kutebak, bagian dari tawar-menawar ini termasuk mencuci pakaian dan masak untukmu?" tanya Amanda sambil menyipitkan matanya.
"Kedengarannya bagus juga." Kata Etan.
"Tentu saja itu bagus untukmu." Protes Amanda main-main.
"Tidak ada yang salah untuk merawat paman favoritmu." Kata Etan. Saat menunggu Amanda yang tidak menjawabnya Etan akhirnya menyerah dan meremas bahunya sekali lagi. "Baiklah, aku hanya menggodamu saja, dan aku tidak mengharapkan kau untuk mencuci dan memasak. Kenapa kau tidak biarkan saja aku membantumu?"
"Aku sangat senang kau menawarkan untuk membantuku dan aku seharusnya menerima bantuanmu Pam. Tapi aku harus melakukan semua ini sendiri." Jawab Amanda sambil menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, kau sangat keras kepala." Kata Etan menyerah.
"Ini adalah sifat keluarga Benedict." Jawab Amanda.
"Kau benar." Etan tersenyum.
"Lagi pula aku rasa dengan kemurahan hatimu, kau tidak memikirkan bagaimana berisiknya aku dan Theo kalau tinggal di rumahmu." Kata Amanda.
"Benarkah begitu?" Tanya Etan.
"Tentu saja. Atau pikirkan saja ini, kau membawa pacarmu pulang ke rumah untuk tidur dengannya dan dia melihat wanita muda berkeliaran di dalam rumahmu sambil menggendong sorang bayi atau dia mendengar suara tangisan bayi. Pam, aku berani bertaruh kalau pacarmu akan menendang selangkanganmu dengan sangat kuat."
Etan melebarkan matanya tidak percaya. "Amanda Elisabeth, jaga mulutmu. kita berada di dalam gereja!"
"Aku mempelajarinya dari pamanku." Jawab Amanda sambil tertawa.
"Aku ingin kau tahu kalau aku tidak pernah membawa wanita mana pun ke rumahku." Kata Etan dengan gerutuan frustrasi.
"Oh Tuhan, playboy yang mengerikan." Kata Amanda sambil memutar bola matanya.
"Lihat kau sekarang." Balas Etan sambil tersenyum.
Amanda tersenyum sinis. "Aku tidak bisa untuk tidak memperhatikanmu. Maksudku, aku sudah di permainkan oleh pria sepertimu berkali-kali dan bahkan aku sudah melahirkan seorang putra. Aku adalah wanita yang sudah di hina, ingat?"
Etan meringis memikirkan bagaimana dia memperlakukan wanita yang terlihat seperti Amanda. Bagaimana dia bisa menghajar ayah Theo padahal dia sendiri tidak lebih baik? Kecuali kenyataan kalai dia pasti akan selalu memakai pengaman untuk memastikan tidak ada Etan kecil yang berkeliaran di luar sana.
Amanda melirik jam tangannya. "Bisakah kau menjaga Theo? Aku pergi ke ruang pengakuan sebentar."
Mata Etan melebar saat dia menatap bayi yang sedang tidur lelap di dalam keranjang bayi. "Aku tidak..."
"Dia tidur dan kau akan baik-baik saja. Lagi pula kau adalah ayah baptisnya." Kata Amanda.
"Benar. Posisi yang aku harap tidak pernah aku setujui." Kata Etan.
Amanda meletakkan tangan di pinggangnya. "Aku harus melakukan pengakuan dosa sebelum aku berdiri di altar bersama anakku, Pam. Apa kau benar-benar akan mengatakan tidak?" Tanya Amanda sambil menunjukkan wajah penuh kasihan.
"Baik, baik. Pergilah."
"Terima kasih." Kata Amanda lalu mencium pipi Etan. Bunyi sepatunya terdengar menjauh sebelum masuk ke dalam salah satu ruang pengakuan dosa bersamaan dengan Theo yang mulai bergerak di dalam keranjangnya.
Etan mencondongkan tubuh ke depan sebelum menggoyang keranjang bayi itu pelan berharap dia bisa mencegah kekacauan. Tapi saat wajah bayi itu mulai merengut Etan mulai panik. "Oh sial."
Sebuah tangisan keluar dari Theo yang bergema di seluruh gereja. "Hei, pria kecil jangan menangis." Etan mengayunkan keranjang lebih cepat yang sepertinya membuat Theo makin mengencangkan suaranya.
"Paman harus menggendongnya saat dia menangis seperti itu." Sebuah suara datang dari belakangnya. Etan berbalik dan melihat dua keponakan laki-lakinya yang menatapnya dengan ekspresi jengkel.
"Baiklah." Gerutu Etan. Dia membungkuk dan dengan lembut mengangkat Theo ke dalam pelukannya dan memberinya tepukan yang menenangkan. "Baiklah, bayi kecil, berhentilah menangis."
Keponakan berusia tiga belas tahunnya Joni datang bergabung dan kemudian mendengus. "Amanda pasti tidak sadar saat dia meminta paman untuk jadi ayah baptis Theo."
"Sebagai informasi untukmu, akulah satu-satunya yang dia inginkan untuk menjadi ayah baptis Theo." Jawab Etan.
"Beri dia mainan favoritnya." Usul keponakannya yang berusia lima tahun.
Etan menaikkan alisnya bingung. "Apa?"
"Kau pasti bercanda." Kata Joni lalu membungkuk di samping Etan dan meraih tas popok Theo. Dia mencari sesuatu di dalam tas itu dan kemudian mengeluarkan dot angin dan melambaikannya ke arah Etan sebelum menempelkan benda itu ke mulut Theo yang terbuka lebar. Dan bayi itu langsung tenang.
Sambil bernapas lega, Etan menatap ketiga keponakannya itu dari atas ke bawah menilai cara mereka berpakaian dengan jas dan tersenyum. "Pakaian yang bagus. Kalian bisa lolos menjadi boy band atau semacamnya."
"siapa?" Tanya Pandie, keponakannya yang berusia sebelas tahun.
"Lupakan saja." Gumam Etan. Dia melirik dari atas kepala anak-anak itu dan mendesah lega saat Amanda keluar dari ruang pengakuan dosa. Dia sudah sangat siap untuk menyerahkan Theo kembali padanya.
"Tidak bisa menahan pesona Theo?" tanya Amanda sambil tersenyum.
"Sangat lucu." Balas Etan.
"Aku mendengarnya dari dalam." Amanda mengulurkan tangannya dan mengambil Theo dari pelukan Etan. "Kau tahu, kau terlihat sangat alami saat menggendongnya."
Etan membuka mulut untuk memprotes tapi Joni langsung menghentikannya. "Serius? Dia hampir tidak bisa mengeluarkan Theo dari dalam keranjangnya dan dia tidak tahu dot."
"Dia akan belajar." Balas Amanda.
Saat itulah pendeta berjalan mendekati mereka. "Nona Elisabeth, kami sudah siap untuk mulai."
Amanda mengangguk. "Kalian bertiga pergilah dan beritahu yang lain."
"Oke." Jawab Joni sebelum berlari keluar.
Setelah ketiga bocah itu pergi, Amanda tersenyum kearah Etan. "Siap?"
"Tentu saja." Balas Etan sambil tersenyum.
Lily berjalan menuju ke dalam kamar dan terkesiap. Taburan kelopak mawar merah berserakan di lantai sampai tempat tidur. Di atas meja ada botol champange dengan merek yang berbeda dari yang di restoran tadi di dinginkan dalam sebuah wadah perak dan dua gelas di sampingnya. Sebuah mangkuk strawberry berlumuran coklat membuat perutnya menggeram. Dia mengalihkan pandangannya dan melihat deretan lilin di lantai menunggu untuk di nyalakan dan sebuah kotak di atas tempat tidur dengan pembungkus berwarna merah muda.Lily menoleh kembali ke arah Etan yang sedang mengangkat bahunya untuk melepaskan jasnya. "Kau melakukan semua ini untukku?""Aku tidak ingin menerima pujiannya, para pegawai hotel yang melakukan ini semua, lilin aroma buah dan bunganya." Jawabnya sambil melemparkan kunci kamar ke atas meja. Melihat ekspresi Lily yang kebingungan, Etan tertawa ringan. "apa yang kau pikirkan? Sebuuah tempat tidur sempit dan seks kilat? Aku tahu ini hanya soal membuatmu hamil tapi biarkan aku memb
Lily memandang ke arah ponselnya berkali-kali. "Sial, sial, sial!" Dia sekarang sudah terlambat lima belas menit, dan pesannya belum di balas oleh Etan. Dia takut kalau saja Etan marah dan pergi begitu saja. Lagi pula, Etan tidak perlu untuk menunggu mendapatkan wanita yang bersedia membuka tangannya untuk menangkapnnya di tempat tidur. Ponselnya bergetar saat dia berhasil memarkir mobilnya di parkiran luar hotel. Dia merogoh dalam tasnya untuk mencari ponselnya. Dia langsung membuka ponsel itu dan jantungnya berdetak dengan sangat kencang.Lebih baik kau segera kemari. Jangan mandi air dingin karena itu akan meredakan hasratmu malam ini."Permisi!" Dengan pikirannya yang masih di penuhi oleh Etan, dia bahkan tidak menyadari kalau seorang pria sedang berdiri di samping pintu mobilnya yang terbuka setengah sedang memandangnya dengan penuh harap karena dia menghalangi pria itu yang ingin masuk ke dalam mobilnya. "Oh, maafkan aku." Kata Lily.Lily melangkah keluar dari mobil sambil t
Pada saat mendengar bel pintu, Lily melemparkan gaunnya begitu saja dan bergegas menyusuri lorong menuju pintu untuk membiarkan Paula masuk. bersamaan dengan pintu terbuka Paula langsung bertanya, "Bagaimana keadaanmu?"Lily mengerang. "Seharusnya aku bertemu dengan Etan satu jam lagi dan aku merasa akan muntah setiap saat. Aku mungkin membutuhkan pil penenang untuk membuatku melewati malam ini.""Aku bisa membayangkannya." Jawab Paula saat dia melangkah masuk ke ruang depan. "Tidak perlu takut. Aku sekarang di sini untuk bicara denganmu agar kau tidak bunuh diri dan meyakinkanmu bahwa kau terlihat sangat luar biasa."Lily langsung memeluk Paula. "Kau tidak tahu betapa berartinya itu untukku.""Terima kasih, aku senang melakukan ini." Dia menepuk punggung Lily. "Lagi pula kau selama ini juga sudah membantuku melewati berbagai hubunganku yang kacau selama bertahun-tahun. Aku merasa berhutang padamu." Mereka berjalan menyusuri lorong dan memasuki kamar tidur Lily."Jadi, apa yang akan
Beberapa hari kemudian ketika Lily melihat ke arah pintu, dia melihat sosok Etan sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. sambil memegang telepon Lily memberi isyarat pada Etan untuk masuk ke dalam ruangannya. Saat Etan melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, dengan enggan Lily mengalihkan perhatiannya pada figur ketampanan Etan untuk kembali fokus pada suara di teleponnya. "Ya, aku akan mengaturnya. Sekali lagi terima kasih." Lily menutup teleponnya lalu menulikan sesuatu di buku agendanya. Setelah selesai, Lily berbalik dan tersenyum pada Etan."Aku senang kau bisa menemuiku hari ini." Kata Lily."Aku selalu senang bisa meluangkan waktuku untukmu Lily." Jawab Etan. Lily kesal pada dirinya sendiri ketika Etan tersenyum padanya membuat pipinya menjadi terasa panas. "Aku pikir alasanmu memintaku datang ke sini karena kau menerima tawaranku." Kata Etan sambil mencondongkan badannya ke depan, telapak tangannya bertumpu di atas meja Lily. Wajah Etan hanya beberapa inci dari wajah L
Keesokan harinya saat jam makan siang, Paula berjalan melintasi pintu ruang kerja Lily dan melemparkan dompetnya di atas meja kerja Lily. "Apa pun kondisinya jangan biarkan aku mendekati mesin otomatis jajanan itu. Seminggu lagi aku punya janji untuk mencoba gaunku dan selama itu aku hanya boleh makan salad sayur atau pun buah."Lily tertawa tidak begitu antusias. Di benaknya dia masih memikirkan kejadian tadi malam, dia terlalu sibuk mengurusi diet Paula agar terlihat ramping saat menggunakan gaun pengantinnya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur, mencoba untuk membuang ingatan itu saat pikirannya terus berkutat dengan tawaran yang di berikan Etan. Namun sebagian besar dia terjaga sepanjang malam karena bibirnya masih terasa bengkak akibat dari ciuman ganas Etan.Setelah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, Paula memiringkan kepalanya ke arah Lily. "Ada apa denganmu?""Tidak ada apa-apa." Jawab Lily berbohong.Paula menatapnya sambil membuka tutupan tupperware-nya. "Omong kosong. kau
"Dan aku berjanji pada Dani aku akan memastikan kau sampai ke mobilmu dengan selamat." Kata Etan.Lily berusaha melawan debar jantungnya melihat kebaikan hati Etan. "Terima kasih. Kau baik sekali." Dia menunjuk ke arah lorong yang menurun. "Mobilku parkir di sana.""Aku akan mengantarmu." Ketika Lily menatapnya dengan sinis, Etan tersenyum. "kau tahu, untuk membuktikan etika kesopanan seorang pria pada wanita.""Baiklah kalau begitu." Jawab Lily.Suara sepatu mereka bergema di lantai beton, mengisi kesunyian. "Jadi, kau tinggal dekat sini?" Tanya Etan."Tidak. Sekitar tiga puluh menitan dari sini." Jawab Lily."Tidak terlalu baik mengendarai mobil sendirian, terutama saat jalanan sepi." kata Etan.Lily menundukkan kepalanya untuk menahan tawanya pada usaha Etan untuk basa basi. "Apa yang lucu?" Tanya Etan.Lily tersenyum. "Aku hanya penasaran kapan kau mungkin akan menyinggung masalah cuaca." "Begitu buruk, ya?" Tanya Etan."Tidak ada." Jawab Lily singkat.Etan tersenyum ke arahnya.