Bulan sangat lapar. Lambungnya sudah terasa amat perih. Karenanya gadis itu terpaksa memakan sarapan yang Reza antarkan pagi ini. Meski kepalanya ribut melarang, tetapi Bulan kalah dengan keinginan untuk mengisi perut.
Sehabis makan, gadis itu berlari ke kamar mandi yang disediakan di kamarnya. Ia muntah. Entah karena memang lambungnya masih bermasalah atau karena pertentangan batin yang gadis itu punya. Bulan merasa sangat tersiksa. Dulu ia dan sang ibu tak jarang kekurangan uang untuk makan. Mereka bahkan pernah hanya memakan singkong. Namun, Bulan tak merasa begitu tersiksa seperti sekarang. Perempuan itu lelah, ia sakit dan semua itu diperparah oleh rasa putus asa. Bulan tidak mau membayangkan nasibnya di hari-hari ke depan jikalau terus berada di sini. Di luar kamar mandi, Reza berdecak seraya mengambil ponsel. Tuannya berpesan. Jika gadis ini muntah atau pingsan lagi, Reza harus melaporkan. Reza tak habis pikir, apa yang penting soal muntah atau tidaknya gadis ini. Reza selesai memberi laporan saat gadis itu berjalan lemah ke arah ranjang. Pria itu mengamati, didapatinya wajah Bulan yang masih pucat. Diam-diam ia menggerutu. Tuannya benar. Gadis lemah ini tak akan bertahan seminggu lagi. "Apa dia benar-benar sudah membakar rumah Bik Tari?" Bulan memberanikan diri bertanya. Sejak kemarin itu terus mengganggu pikirannya. Ia gagal membunuh bajingan itu. Malah, dirinya yang berakhir pingsan. Jadi, apa rumah Bik Tari sudah terbakar? Bulan juga belum melihat Fara lagi. "Kalian sungguh membunuh Bik Tari? Apa yang kalian inginkan dari seorang wanita renta yang hidup sendirian?" Air mata Bulan jatuh. Gadis itu tak menyangka akan bertemu dengan orang-orang sejahat ini. Bulan juga sudah memikirkan soal Fara. Bisa jadi, ada kemungkinan, jikalau anaknya Bik Tari itu terpaksa menjadi pekerja si lelaki iblis. Mungkin dia juga diberi ancaman karenanya sudi disetubuhi seperti kemarin. "Kau apakan dia, Reza?" Suara itu membuat Bulan tersentak. Tangisnya berhenti saat pandangan menemukan sosok mengerikan itu sudah ada di dalam kamar. Kapan dia datang? Bagaimana bisa Bulan tidak mendengar langkah kakinya? "Tidak ada, Tuan," jawab Reza dengan kepala tertunduk. "Dia bertanya soal ibunya Fara. Dia bertanya apa kita sudah membakar wanita tua itu atau belum." Lelaki itu mengangguk santai. Ia berjalan mendekat ke ranjang. Tersenyum simpul kala Bulan beringsut mundur, bahkan berlari ke sudut kamar demi menjauhinya. "Tentu aku sudah membakar wanita tua itu," katanya dengan tatapan mata licik. "Bagaimana pun, kau sudah mencoba membunuhku kemarin." Ditunjukkannya telapak tangan yang terdapat luka sayatan bekas belati. Bulan menahan napas, tetapi tangisnya tak mampu terbendung. Gadis itu terisak-isak seraya meremasi sepuluh jemari di depan paha. "Tapi ..." Si pria bicara. Diangkat si perempuan wajahnya. Ia menemukan harapan, meski hanya secuil. Ditatapnya lelaki itu dengan mata yang basah dan penuh asa. "Wanita tua itu tidak mati." Si lelaki menggeleng dengan senyum lebar. Namun, matanya menyorot dalam pada Bulan. Bulan berusaha tidak menampilkan ekspresi lega. Ia harus waspada. "Dia hanya menderita sedikit bekas luka," tambah si pria. Ruang tidur itu diisi hening. Bulan masih menatapi lelaki itu dengan banyak hal bermunculan di kepalanya. Si gadis masih berusaha mencari cara agar dirinya dan Bik Tari bisa lepas dari si bajingan di hadapan. Di saat genting itu, Bulan malah teringat saran dari Fara. Entah karena terlalu putus asa atau apa, wanita itu memberi saran gila padanya kemarin. Agar lelaki ini mau melepaskan Bik Tari, tidak jadi membunuhnya, maka Bulan harus berusaha menciptakan negosiasi. Negosiasi. Pria berengsek. Menurut saja. Begitu kata-kata yang Fara tekankan kemarin. Menjalinnya menjadi sebuah ide membuat jari Bulan dingin dan gemetar. Haruskah ia sampai senekat ini? Namun, bukankah Bulan membutuhkan alat tukar untuk kebebasan dirinya dan Bik Tari? Bulan tak ingin selamanya begini. Ia masih punya harapan bisa pindah ke kota. Ia masih ingin melihat Bik Tari hidup. Dan bukankah lelaki setan di depannya ini hanya pria bejat yang selalu bernafsu pada perempuan? Gadis itu menghapus air mata. Mengatur napas, ia memejam beberapa saat. "Kau mau pingsan lagi?" Lelaki itu maju, mendatangi Bulan ke sudut kamar. "Hei," panggilnya hendak menyentuh pipi si gadis. Beruntung Bulan cepat membuka mata hingga mampu mengelak sentuhan itu. Gadis itu mengangkat pandangan. Memberanikan diri membalas tatapan mata gelap milik musuhnya itu. "Siapa namamu?" tanya Bulan dengan suara bergetar. "Aku?" Pria itu menunjuk dadanya sendiri seperti orang bodoh. "Orang-orang di desa ini memanggilku Bandit." Bulan ingin mencibir. Dia tidak pernah tahu ada manusia yang bangga dipanggil bandit. Namun, gadis itu menutup rapat-rapat mulutnya. "Hei, matamu seolah ingin menghinaku," protes pria itu sambil menekuk ujung bibir. Dia kemudian memamerkan deretan gigi. Tersenyum seperti orang hilang akal. "Kau cantik sekali? Bahkan matamu pun bisa berbicara." Si gadis mual mendengar semua itu. Menarik napas, ia melanjutkan, "Lepaskan aku dan Bik Tari." Meski suaranya terdengar tegas, Bulan gagal menutupi ketakutan di sorot matanya, meski sudah berusaha. Hal itu ditangkap dengan baik oleh si lelaki. Senyumnya terbit antusias. Pria itu tak berkedip menatap Bulan, sambil mengigit bibir bawahnya. "Kau akan mendapat imbalan untuk itu," sambung Bulan dengan getar di bibir. "Apa?" Si lelaki terdengar sok tak antusias. "Kau bisa memberikan apa?" Tarikan napas Bulan terdengar kasar. Perempuan itu sudah membuka mulut, tetapi kemudian mengatupkannya lagi. Tatapannya sempat tak fokus untuk beberapa saat, sangking beratnya menyuarakan apa yang sudah dipikirkan. Gadis itu menjatuhkan kepala beberapa saat. Tanpa sadar dua tangannya meremat gaun tidur yang dipakai. Saat mengangkat kepala, mata Bulan sudah berkaca-kaca. Tatapan nanarnya mengarah lurus ke arah si lelaki. "Kau bisa meniduriku." Air mata Bulan jatuh. Rahangnya mengetat dan bergetar samar. "Itu yang kau inginkan, 'kan? Aku akan bersedia, tetapi setelahnya biarkan aku pergi, jangan ganggu Bik Tari lagi." Lelaki di depan Bulan menyimpan dua tangannya di saku celana. "Kenapa kau begitu yakin aku ingin menidurimu?" Memalingkan wajah, Bulan mengumpati lelaki itu dalam hati. Namun, ia tak sekuat itu menahan emosi yang bergejolak. "Karena kau lelaki bajingan, kejam dan memang suka mengincar selangkangan gadis-gadis cantik di desa!" sentak perempuan itu lepas kendali. Habis mengatakan itu, Bulan jatuh terduduk di lantai. Perempuan itu memeluk lutut, kemudian menangis kencang. Ia ketakutan. Di depan Bulan, si lelaki malah melepas tawa. Ia terpingkal-pingkal. "Kenapa kau menangis sehabis mengumpatiku? Bulan?" Masih tertawa-tawa, lelaki itu berjongkok di depan Bulan. "Heh, gadis lemah! Kenapa kau menangis?" Tangannya ditarik menjauh dari wajah, Bulan menunduk untuk menutupi tangis. Perempuan itu menatap ke bawah agar tak perlu beradu mata dengan pria mengerikan di depannya. "Astaga, kau jelek sekali saat menangis, Bulan." Pria itu menyelipkan rambut Bulan yang menutupi wajah ke belakang telinga si gadis. "Lihat, hidungmu merah dan basah, Bulan. Kau kotor sekali." Telunjuknya mengacung ke hidung Bulan. Bulan masih menangis. Ia berusaha menarik kedua tangannya dari si pria. Namun, tidak berhasil. Padahal, lelaki itu memegangi dua tangannya hanya dengan satu tangan. Gadis itu memekik kala tangannya ditarik, kemudian tubuhnya ditaruh di bahu si lelaki. "Turunkan aku!" jeritnya karena rasa takut itu makin pekat. Ia akan dibawa ke mana? "Diamlah," jawab si lelaki santai. Iseng, ia memukul bokong Bulan, kemudian meremasnya. "Turunkan aku!" Bulan makin histeris. Lelaki itu mulai melangkah menuju pintu kamar tidur Bulan. Sambil berjalan keluar, pada Bulan yang terus meronta dan berteriak ia berkata, "Diamlah. Nanti saja teriaknya, aku akan memastikan kau menjerit di bawahku.""Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang
"Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan
Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera
Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu