"Apa? Apa benar kau menikah dengannya? Dengan gadis cilik ini? Apa kau ingin aku memercayai semua lelucon ini, Julien? Kau pasti berpura-pura saja, kan!"
Suara keras dari seorang wanita cantik berumur kisaran empat puluh tahun itu memenuhi kamar Julien, duda satu anak yang berumur empat puluh lima tahun karena ia baru saja menerima berita yang tak masuk akal.
"Tak perlu berteriak, Lucia, bukankah kau sudah jelas mengetahui itu setelah kau membaca berkas pernikahanku? Untuk itulah kau terburu-buru datang kemari, bukan?" balas Julien tenang.
"Bagaimana aku tak berteriak setelah mendengar lelucon murahanmu itu! Kau apa? Kau mengatakan bahwa kau menikah dengan jal*ng cilik itu? Kau kira aku akan percaya begitu saja, Julien?!"
"Lucia, jaga mulutmu!" Kali ini Julien berseru dengan suara menggelegar karena hinaan wanita itu yang ditujukan pada istrinya.
Walau begitu, wanita berpotongan rambut bob berwarna merah itu tampak tak terlalu terkejut. Ia malah tersenyum sinis dan mendekat dengan gestur menantang ke arah kursi roda yang sedang diduduki Julien, mantan suaminya.
"Kalau kau ingin berbohong, sebaiknya yang masuk akal saja. Apa kau harap aku akan percaya begitu saja? Gadis itu bahkan lebih muda dari putramu Aiden. Apa kau kini sudah berubah menjadi pria tua pecinta anak-anak? Demi Tuhan, usianya setengah dari usiamu! Ia juga sebaya dengan Lidya, putriku! Apa kau sudah tak waras, Julien?"
Tatapan Lucia yang melotot padanya menunjukkan kegeraman yang tak main-main. Julien, walau sudah terbiasa dengan teriakan dan makian wanita yang pernah menjadi istrinya selama setahun itu, kini hanya dapat tersenyum sinis.
Ia bahkan menggeleng tak percaya pada dirinya sendiri karena pernah meminta wanita mengerikan itu untuk menjadi istrinya menggantikan mendiang istri terdahulunya.
"Serena telah berusia dua puluh dua tahun dan menurut berkas itu, ia telah menjadi istri sahku sejak seminggu yang lalu. Apakah kau meragukan dokumen yang telah disahkan itu? Ia adalah wanita dewasa yang sudah memiliki umur yang cukup untuk menikah. Di manakah letak lelucon yang kau maksud?"
"Berengsek! Bajing*n sialan! Mengapa kau melakukannya? Apakah kau melakukan ini karena sengaja ingin membalasku? Apa kau berencana untuk memberikan semuanya pada gadis pengemis itu? Ia hanya perawatmu dan seorang wanita murahan!"
"Jaga mulutmu dan jangan sebut istriku dengan perkataan rendahanmu lagi! Suka atau tidak, kini Serena adalah istriku dan terserah padaku apa yang akan kuberikan padanya. Itu semua toh tak ada hubungannya denganmu!" tegasnya.
"Julien!!" teriak Lucia histeris.
"Diam!" balas Julien keras. Ia menatap Lucia, mantan istrinya itu dengan muak.
"Cih! Membalasmu katamu? Kau bahkan tak layak untuk mendapat sedikit perhatianku. Kau bilang aku hendak membalasmu? Jangan bermimpi aku melakukan perbuatan istimewa seperti itu padamu. Bagiku kau bukanlah wanita yang layak mendapatkan atensiku sedikit pun setelah kau pergi dengan pria simpananmu itu dan menusukku dari belakang."
"Kau jelas tahu mengapa aku menceraikanmu sejak setahun yang lalu. Apa kau lupa dengan semua perbuatan yang telah kau lakukan padaku itu? Kau bahkan dengan senang hati meninggalkan pria cacat sepertiku saat itu, bukan? Lalu, mengapa kau pikir sekarang kau begitu istimewa dan mempermasalahkan keputusan hidupku, Lucia? Kau hanyalah mantan terburuk yang pernah kumiliki. Itu saja. Jadi jangan coba-coba berani ikut campur dengan urusanku lagi."
Lucia menggeram. Tangannya terkepal kencang dan bergetar karena tak mampu lagi menahan amarahnya.
Ia yang sudah tak mampu bertahan lagi, kemudian berbalik dan berjalan dengan napas memburu ke sudut ruangan di mana di sana berdiri seorang gadis muda yang sedari tadi hanya diam dan menonton perdebatan mereka.
"Plak!"
Sebuah tamparan keras ia layangkan pada gadis muda cantik yang tak lain adalah Serena, hingga gadis itu sedikit terhuyung.
"LUCIA!!" gelegar Julien. Dengan sedikit susah payah, ia mendorong kursi rodanya untuk mendekati kedua wanita yang berada di sudut kamarnya.
"Jal*ng kecil, apa yang sudah kau sodorkan padanya hingga ia menikahimu? Tubuh dan wajah kotormu itu? Atau aksimu di atas ranjang? Hah! kau kira kau bisa menantangku? Kau kira, setelah menikah dengan Julien dan menjadi istrinya, kau bisa menjadi nyonya rumah yang sebenarnya di sini?" gertak Lucia.
"Dengar, kau masih terlalu muda untuk bersaing denganku jika yang kau andalkan untuk merayu pria tua hanyalah tubuhmu itu. Sebaiknya kemasi barangmu sekarang juga dan segera tinggalkan rumah ini selagi aku masih berbaik hati," ancam Lucia pada Serena.
"Aku tahu gadis sepertimu hanya berpura-pura polos tetapi sebenarnya seorang jal*ng! Kau sebenarnya hanya menginginkan uang Julien, bukan? Berapa? Berapa yang kau inginkan? Aku bisa memberikan semua padamu. Selagi aku masih berbaik hati, lebih baik kau terima saja penawaranku dan setelah itu pergilah dari sini sebelum kau menerima murkaku!"
Serena, gadis berambut cokelat gelap itu dengan tenang mengusap pipi kemerahan bekas tamparan Lucia padanya dan balik menatap wanita di hadapannya yang berjarak hanya beberapa centi itu tanpa rasa takut.
"Nyonya, aku tak membutuhkan uang Anda. Dan tolong, jangan membuat keributan di sini. Anda hanyalah tamu kami. Aku harap Anda dapat menjaga kesopanan sebelum aku meminta penjaga keamanan kami untuk mengeluarkan Anda dengan paksa."
"KAU!" geram Lucia sambil melotot.
"Hentikan!" Julien sudah mencekal lengan Lucia yang siap terulur untuk memberikan tamparan susulan pada Serena dengan tepat waktu saat ia dan kursi rodanya sudah mendekat.
"Arnold! Bawa wanita ini pergi dari kamarku!"
Seruan perintah yang diteriakkan Julien kemudian, menghadirkan seorang pria tinggi yang tegap yang merupakan penjaga rumahnya untuk segera masuk ke dalam kamarnya.
Pria itu dengan sigap mencekal Lucia sesuai apa yang diinginkan tuannya. "Mari Nyonya, Anda harus segera keluar dari sini."
"Lepaskan aku, berengsek! Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Teriakan dan tamparan histeris Lucia yang dilampiaskan pada Arnold kembali terdengar saat ia merasa dipermalukan dengan diseret paksa untuk keluar dari kamar Julien.
"Aku tak akan tinggal diam, Julien, kau dengar itu! Kau tak akan bisa membohongiku dengan mudah! Dan kau jal*ng kecil! Aku akan menghancurkanmu! Ingat itu! Aaargh!"
Beberapa saat setelah kepergian Lucia dan keadaan kembali tenang, Serena kemudian beralih untuk menutup pintu kamar Julien. Ia mengembuskan napas perlahan dengan lega karena telah terbebas dari wanita mengerikan yang merupakan mantan istri Julien itu.
"Kau tak apa, Serena?" Suara lembut Julien tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Saat berbalik, Serena telah mendapati pria matang yang bertubuh gagah itu sudah berdiri di belakangnya dan menatapnya dengan raut cemas.
Julien, walau pria itu telah memasuki usia empat puluh lima tahun, ia masih terlihat begitu bugar dan gagah dengan rambut hitamnya yang masih terjaga dan wajah matangnya yang tak terlalu banyak dihiasi kerutan halus, membuatnya tampak terlihat lebih muda dari usia sebenarnya.
Jika mantan istrinya maupun orang lain kini melihat kondisi Julien, mereka pasti akan menganga. Ya, Julien yang sudah hampir enam bulan ini mengenakan kursi roda setelah kecelakaan yang dialaminya, tak pernah menunjukkan pada siapa pun tentang kondisi sebenarnya jika ia telah sepenuhnya pulih dan dapat berjalan lagi. Kecuali pada Serena yang sejak tiga bulan lalu datang untuk merawatnya, tentu saja.
"Saya tak apa-apa, Tuan," balas Serena.
"Ini memerah," ucap Julien. Ia spontan mengusap wajah Serena yang tampak sedikit bengkak dan memanas. "Maafkan aku, seharusnya aku dapat mencegahnya melukaimu."
Serena menggeleng. Rambut panjang bergelombangnya yang diikat rapi ikut bergoyang-goyang. "Tidak, bukan salah Anda, Tuan," jawabnya sedikit gugup karena kedekatan tubuh Julien pada tubuhnya.
Julien muram dan mengembuskan napasnya. "Jangan bersikap formal lagi padaku, Serena. Kita sudah menjadi suami istri sejak seminggu yang lalu. Panggil saja aku Julien, Istriku."
Senyuman manis dan perlakuan lembut Julien pada Serena, sontak memberikan debaran aneh pada jantungnya. Ia tak dapat mengalihkan tatapannya pada bola mata kehijauan yang begitu teduh yang Julien berikan padanya.
"Ayo, wajahmu harus dikompres." Kali ini Julien membimbing Serena menuju ranjangnya dan mendudukkan gadis cantik dengan bola mata kecokelatan itu dengan lembut seolah ia sedang memperlakukan barang yang begitu berharga.
Serena bersusah payah menelan ludahnya dan sedikit berpaling karena tersipu. Ia merasa beruntung saat ini, karena jika Julien mendapati wajahnya yang memerah, maka pria itu pasti akan berpikir itu karena bekas tamparan Lucia padanya dan bukannya efek karena debaran jantungnya yang bertalu akibat perlakuan pria itu padanya.
Ya, Serena Irish Renault yang kini telah menjadi istri kontrak Julien karena kesepakatan mereka bersama, nyatanya mulai merasakan debaran aneh pada pria itu semenjak ia menikah dengannya dan diperlakukan dengan lembut! Apakah ia sudah mulai jatuh cinta pada suami kontraknya? Serena sendiri pun masih belum tahu itu.
****
Malamnya ....
Julien dan Serena tengah makan malam di ruang makan dengan tenang saat kemudian datanglah sesosok pria yang berjalan memburu ke arah mereka dengan wajah kesal.
"Katakan bahwa berita itu tak benar, Dad!"
Aiden, putra semata wayang Julien berhambur dan berseru pada ayahnya ketika ia telah sampai di depan pria itu. Ia yang tampak terburu-buru dengan napas yang masih tak beraturan dan jas putih dokter yang masih dikenakannya, menunjukkan bahwa pria muda itu begitu tergesa menghampirinya hingga tak sempat kembali ke apartemen miliknya untuk berganti baju.
"Katakan bahwa itu tak benar, Dad. Mengapa kau menikah dengan Serena dan tak memberiku kabar apa pun?"
"Duduklah dulu, Aiden," balas Julien tenang.
"Aku tak mau duduk. Aku hanya mau jawabanmu sekarang juga. Mengapa kau menikahi Serena? Dan kau, Serena!" tunjuknya pada Serena yang tersentak.
"Apa yang sudah ayahku tawarkan padamu? Mengapa kau mau menikahi pria tua ini? Aku mengirimmu ke sini karena menginginkanmu untuk merawat ayahku, bukan untuk menjadi istrinya! Apa kau gadis semacam itu?"
"Kau tahu berapa usia ayahku, bukan? Mengapa kau menyetujuinya? Kau gadis muda yang memiliki otak cemerlang, berwajah cantik, dan tubuh yang bagus tak seharusnya mau dengan pria tua menyebalkan ini! Katakan, apa sekarang kau adalah seorang sugar baby?" tuduh Aiden pada Serena yang terlihat takut-takut membalas tatapannya.
"AIDEN!" teriak Julien murka.
____****____
"Aiden Clark Johansen, bisakah kau tak mempermalukan Serena dan ayahmu dengan kelakuanmu tadi di depan para pelayan?" ucap Julien setelah mereka masuk ke dalam ruang kerjanya untuk melanjutkan pembicaraan.Setelah tadi Julien memerintahkan Aiden untuk mengikutinya ke dalam ruang kerjanya, Serena dengan sigap mendorong kursi roda milik Julien dengan patuh dan makan malam mereka pun otomatis berakhir.Aiden menghempaskan dirinya di atas sofa besar di dalam ruang kerja sang ayah sambil mendesah. "Aku begitu lelah dengan shift dobel yang ditimpakan seniorku padaku sejak kemarin aku bertugas di bangsal UGD. Aku bahkan belum beristirahat dengan benar dan hanya makan satu kali sejak itu. Jadi tolong, Dad, jelaskan saja dengan singkat agar tak banyak perdebatan yang membuang energiku karena aku masih membutuhkan istirahat.""Kau tahu berita itu dari siapa?" tanya Julien tanpa berbasa-basi."Dari mantan istrimu, siapa lagi? Hanya ia yang masih gigih mengusikku karena berharap kau akan memperha
Serena hanya mampu menatap pintu berkaca yang memisahkan kamar Helena dengan koridor saat Anie ibunya, menahannya ketika ia ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu."Helena sedang tertidur, jangan kau ganggu dirinya. Ia belum tahu jika aku telah memberitahumu tentang kondisinya. Ia berkata tak ingin bertemu denganmu sebelum ia merasa kuat dan sepenuhnya pulih. Jadi, untuk sementara kita rahasiakan ini darinya dan tunggu saja hingga ia mau menemuimu, mengerti?""Tak bisakah aku menemuinya sebentar saja, Mom? Aku hanya ingin melihat keadaannya," balas Serena.Anie menatap Serena dengan kesal. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau ingin membuatnya kesal dengan memamerkan tubuh sehatmu dan berdiri di hadapannya yang masih terlihat menyedihkan? Apa itu yang kau inginkan? Apa kau akan menyombongkan kesehatanmu bahkan mungkin juga pernikahanmu sekarang? Kau ingin membuatnya terluka dengan semua yang kau miliki itu, begitu?""Mom? Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Serena ta
Esoknya ...."Di sini kau rupanya, jal*ng kecil!" Ucapan sinis keluar dari mulut Lucia begitu ia masuk ke dalam ruang perpustakaan milik Julien yang tergolong besar itu saat Serena mengerjakan tugas kuliahnya.Siang itu Lucia yang mengenakan rok mini berwarna hitam dan berjalan cepat ke arahnya, menatapnya dengan berapi-api. Heels miliknya yang beradu dengan lantai terdengar begitu berisik karena ketergesaannya."Apakah karena mengincar deposito itu maka kau merayu Julien hingga ia menikahimu? Jal*ng kotor!" umpatnya kasar. "Sudah kukatakan jangan macam-macam denganku tapi kau berani tak mendengarkannya? Kemasi barangmu sekarang juga sebelum aku membuatmu menyesal karena telah mendekati apa yang tak seharusnya kau dekati, jal*ng kecil!"Gebrakan pada meja karena pelampiasan amarah Lucia membuat Serena tersentak. Serena lalu mengembuskan napasnya agar tak terpancing emosi setelah mendengar makian wanita itu."Nyonya, apa suamiku tahu Anda datang berkunjung ke mari?" tanyanya tenang."M
Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia
"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya."Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden."Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu."Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya."Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup."Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka."Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku den
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "
"Sekarang katakanlah dengan tenang, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Julien mengusap sisa air mata pada wajah lembab Serena setelah gadis itu telah benar-benar berhenti menangis. Ia menyibak sejumput rambut Serena yang tergerai ke belakang telinganya."Aku be ... bertemu dengan Calvin dan menceritakan semuanya tentang kita padanya," ucap Serena akhirnya."Calvin? Siapa ia?" balas Julien sambil mengerutkan alisnya.Lalu, dengan sedikit bergetar dan terbata, Serena akhirnya menceritakan perihal pertemuannya dengan Calvin dan alasannya melakukan itu kepada Julien. Ia bahkan bercerita tentang Calvin dan hubungannya dengan masa lalunya tanpa ia tutupi sedikit pun. Julien mengembuskan napasnya dan tampak berpikir sejenak setelah Serena menceritakan semuanya. Tak ada raut kesal atau pun marah pada wajahnya. Justru, ia terlihat lega setelah dengan sabar mendengar penuturan gadis itu."Terima kasih kau sudah bercerita padaku, Serena. Untuk seterusnya, mulai sekarang kau harus mengatakan d