"Serena, menikahlah denganku maka semua akan baik-baik saja," ucap Julien. Pria berusia empat puluh lima tahun yang memiliki seorang putra yang bahkan lebih tua dari Serena itu tiba-tiba saja melamarnya. "Ti ... tidak semudah itu, Tuan," balas Serena sambil menekan keterkejutannya. "Tentu saja mudah. Kau hanya perlu menandatangani ini." Julien menyerahkan selembar berkas padanya dengan tenang. Pernikahan yang awalnya terjadi karena kontrak yang saling menguntungkan demi keluarganya itu, menjadi semakin runyam ketika saudara kembar Serena tiba-tiba menginginkan pria yang telah menjadi suaminya itu untuk dirinya sendiri. Lalu, apakah Serena yang selama hidupnya selalu mengalah pada Helena saudarinya, mampu memberikan keinginannya itu ketika ia sendiri kemudian telah jatuh cinta pada Julien? Terlebih, jika hanya Serena sendiri yang tahu bagaimana sisi buruk Helena yang mampu menjerat semua yang diinginkannya untuk menjadi miliknya sendiri selama ini. Ya, karena yang Serena tahu, tak ada satu pun yang bisa lolos dari jerat saudarinya itu begitu ia telah menetapkan targetnya.
View MoreDavina's POV:
The flaky layers of the croissant shattered with a satisfying crispness as I bit into it, the buttery richness melting on my tongue. This tiny corner table at "Le Petit Bonjour" had become my sanctuary, a place where the lingering anxieties of job applications and the general uncertainty of post-graduation life could be momentarily forgotten in the simple pleasure of a perfect pastry and a strong latte.
My phone, nestled beside my half-eaten breakfast, vibrated insistently against the wooden tabletop. I frowned, glancing at the unfamiliar number displayed on the screen. Usually, my calls were from recruitment agencies I barely remembered applying to or my mom checking in. Hesitantly, I swiped to answer.
“Hello?”
The voice that answered was flat, devoid of any warmth or inflection. “Davina Wilson?”
A knot tightened in my stomach. It wasn’t a voice I recognized. “Speaking.”
“Your father, Mr. Malcolm Wilson, is in the hospital. He suffered a heart attack.”
The buttery sweetness of the croissant turned to ash in my mouth. Malcolm. The name felt foreign, a relic from a life I thought I’d left behind. My father. A man whose presence had evaporated from my world years ago, a clean break after the messy, acrimonious divorce. He hadn’t called, hadn’t written, hadn’t so much as sent a postcard in what felt like an eternity. A heart attack? The image of a man I barely remembered clutching his chest felt surreal, almost comical in its absurdity.
“My… my father?” I stammered, the cafe’s comforting hum suddenly a distant, muffled sound. My fingers tightened around my coffee cup, the ceramic digging into my skin. “But… I haven’t heard from him in years.” The words felt inadequate, a pathetic understatement of the chasm that had grown between us.
The voice on the other end remained impassive. “He asked for you.”
That single sentence hit me with the force of a physical blow. He asked for me? After all this time? After the silence, the deliberate cutting off of ties? A bitter laugh almost escaped my lips. It had to be a mistake. Some cruel, twisted prank.
“There must be some mistake,” I said, my voice trembling slightly. “My father… he wouldn’t…” The words trailed off, the reality of the situation, however improbable, starting to sink in. A cold dread began to bloom in my chest.
The line went silent for a beat, amplifying the frantic thumping of my own heart. Then, the voice simply stated, “City General. Room 312.” And then, just as abruptly as it had begun, the call ended, leaving a hollow echo in my ear and a gaping void in the normalcy of my morning.
My croissant lay forgotten on the plate, its golden-brown layers now a stark reminder of the peace that had just been shattered. Malcolm. In the hospital. Asking for me. It made no sense. It was wrong. Yet, a strange, unsettling pull, a morbid curiosity mixed with a flicker of something I couldn’t quite name, began to tug at me. What was going on? And why, after all this time, did my estranged father suddenly want to see me?
The questions swirled in my mind, as bitter and unsettling. The cafe, once my sanctuary, now felt like a cage, and the sunshine streaming through the window seemed to cast long, ominous shadows.
My breath hitched in my throat, a strangled sound escaping my lips. "Room 312," the disembodied voice had said. City General. My mind raced, trying to reconcile the cold, distant father I remembered with the image of him lying in a hospital bed, asking for me. It felt like a scene ripped from a bad dream.
Pushing back my chair with a harsh scrape against the tiled floor, I practically ran out of the cafe. The L.A heat hit me like a physical weight as I hurried down the street, my mind a whirlwind of disbelief and a growing sense of urgency. City General wasn't far, a stark, modern building a few blocks away.
Bursting through the automatic doors of the hospital, the sterile scent of antiseptic and the hushed murmur of voices assaulted my senses. I spotted a nurse at the reception desk, her expression calm and professional.
"Excuse me!" I blurted out, my voice tight with a mixture of anxiety and a strange, unwelcome surge of emotion. "My father... Malcolm Wilson? He's in room 312. I need to see him."
The nurse's fingers tapped efficiently on her keyboard, her gaze fixed on the screen. After a moment, she looked up, her brow slightly furrowed. "Wilson... Malcolm Wilson... yes, he's a patient here."
Relief, sharp and unexpected, pierced through my anxiety. "I came here as soon as I received your call, about his heart attack. Can you tell me how he is? And... can you take me to his room, please?" My voice trembled slightly, the years of estrangement creating a strange barrier even now, in this moment of potential crisis.
The nurse's gaze softened slightly. "He's stable and he is currently resting. However," she paused, her eyes meeting mine with a hint of confusion, "He did not suffer a heart attact and.. we didn't call you."
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments