Betty keluar dari flat-nya sambil memasang mantel. Matanya melirik ke flat Rubby dengan bingung. Tidak biasanya wanita itu tidak mengganggunya di pagi hari. Biasanya Rubby selalu meminta, lebih tepatnya merampok makanan di dapurnya untuk sarapan.
Untuk berangkat bekerja, Betty memilih untuk menggunakan jalan pintas. Setelah 3 hari menghindari gang sempit itu, akhirnya dia kembali memberanikan diri. Betty memang penakut tapi dia sedang dikejar waktu sekarang. Dia tidak ingin terlambat dan mendapatkan teguran.
Mata Betty tertuju pada tempat sampah, tempat di mana Gordon tergeletak dengan mengenaskan. Kepala Betty menggeleng mengingat itu, dia tidak ingin mengingatnya lagi. Memang tidak meninggalkan trauma tapi cukup membuat Betty semakin ketakutan dengan dunia malam.
Betty melihat ada pekerja yang sedang mengumpulkan sampah, mencoba memilahnya sebelum dimasukkan ke mobil sampah yang berada di depan gang. Betty masih menatap tempat sampah itu untuk melihat sisa-sisa jejak Gordon, tapi tidak ada. Tempat itu benar-benar bersih. Aldric benar-benar melakukan apa yang dia mau, tapi di mana dia membawa mayat Gordon?
Betty menggelengkan kepalanya begitu sadar jika itu bukan urusannya. Lupakan Gordon, lupakan Aldric, dan lupakan mereka semua.
Saat akan berbelok ke jalan besar, Betty merasakan seseorang menutup bibirnya erat. Betty berusaha memberontak saat tubuhnya ditarik kembali masuk ke dalam gang. Dia juga tidak bisa berteriak sekarang karena mulutnya yang masih dibungkam.
Betty membuka sedikit mulutnya dan menggigit tangan itu. Pria yang menariknya itu mengerang dan melepaskan tangannya. Betty berbalik begitu merasa tidak asing dengan suara itu. Matanya langsung membulat tidak percaya.
"Kak!" teriak Betty kesal. "Kenapa kau melakukan ini?!"
Lukas mengusap tangannya dan menatap Betty kesal, "Aku hanya merindukanmu, apa salah?"
Betty mendengus dan melipat kedua tangannya di dada, "Cepat katakan apa maumu, aku tidak punya banyak waktu."
Tentu saja uang, Betty bodoh!
"Tidak suka berbasa-basi, eh? Aku suka." Lukas menyeringai dan mulai menarik tas betty.
"Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan!"
"Aku minta uang, berikan semua tabunganmu." Minta Lukas tanpa sungkan.
Betty menatap Lukas tidak percaya, "Aku tidak mau! Lepaskan! Apa kau pikir aku segila itu memberikan semuanya padamu."
Lukas melepaskan tas Betty dan berdecak kesal, "Kau selalu memberikan uangmu dulu."
"Itu dulu, saat aku masih bisa kau bodohi. Aku tidak mau memberimu uang untuk berjudi!"
"Aku tidak berjudi!"
Betty mendengus dan berbalik pergi, "Teruslah mengelak. Aku harus bekerja sekarang."
"Sial, Beth! Aku terlilit hutang. Lusa aku harus membayar semuanya!" ucap Lukas frustrasi.
Betty kembali berbalik dan menatap Lukas kesal, "Jika seperti ini saja kau lari padaku, ke mana saja kau selama ini?!"
Lukas berdecak dan menarik tangan Betty untuk kembali masuk ke dalam gang. Dia tidak ingin interaksi mereka dilihat oleh banyak orang yang berlalu lalang.
"Apa kau lupa siapa yang memberimu makan saat kecil?" tanya Lukas kembali mengingat masa lalu.
Betty berpikir sejenak, "Bibi, dia yang memberiku makan."
Lukas mendengus, "Aku, Beth! Aku yang memberimu makan! Apa kau lupa jika kau sering kelaparan karena Bibi tidak memperhatikan kita?"
"Jadi kau ingin membahas masa lalu?" Betty melepaskan tangan Lukas kesal.
Tanpa dipungkiri semua ucapan Lukas benar adanya. Setelah orang tuanya meninggal, mereka berdua hidup dengan bibinya. Kehidupan mereka jauh dari layak. Hal itu dikarenakan bibinya bukan dari kalangan berada. Bibinya juga terlihat enggan merawatnya dan Lukas. Sering kali Betty merasa kelaparan, tapi bibinya tidak pernah memperhatikannya. Justru Lukas lah yang sering menyisihkan jatah makanannya untuk Betty. Semenyebalkan apapun Lukas, dia juga sangat menyayangi Betty.
"Baiklah, aku tidak meminta uang padamu. Aku meminjamnya."
"Sama saja!" sahut Betty kesal. Kenapa kakaknya begitu konyol, "Kau juga tidak akan membayarnya nanti."
"Kenapa kau mulai perhitungan, Beth? Jika tidak dalam keadaan terdesak tentu aku tidak akan menghubungimu seperti ini. Aku benar-benar buntu."
"Berapa?" tanya Betty pasrah. Dia lelah melihat Lukas memohon seperti ini.
"£2000.000," jawab Lukas pelan.
"Kau gila! Apa yang kau lakukan sampai berhutang sebanyak itu?!" Betty menatap kakaknya marah.
"Kau tidak perlu tahu. Ayo lah berikan saja uangmu sekarang."
Betty memeluk tasnya erat, "Kau pikir aku mempunyai uang sebanyak itu?"
"Kau kan suka menabung," jawab Lukas bodoh.
"Tapi tidak sebanyak itu. Ya Tuhan!” Betty memijat kepalanya yang terasa sakit, "Kapan kau akan menyadarkan Kakakku?"
"Ayo lah, Beth." Lukas merengek dan menarik tas Betty lagi.
"Aku tidak punya uang sebanyak itu, Kak."
"Berikan seadanya, aku bisa mengatasi sisanya."
Betty membuka tasnya dengan mengumpat, "Sial! Sial! Sial! Kenapa aku bisa mempunyai kakak seperti ini?!"
Lukas mau tidak mau tertawa mendengar itu. Dia memang menyayangi adiknya tapi dengan cara lain dan terkesan aneh. Lukas menerima kartu milik Betty dengan mata yang berbinar.
"Aku tidak tahu berapa isinya, yang pasti jauh dari utangmu yang banyak itu." Dengan pasrah Betty memberikan kartu dan buku tabungan yang selalu dia bawa.
"Tidak masalah, aku akan bernegosiasi dengan Ric nanti."
"Ric?" tanya Betty terkejut.
"Ya aku berhutang padanya, kenapa?"
Dengan cepat Betty menggeleng, "Tidak."
Mungkin dia Ric yang berbeda.
"Kalau begitu aku harus segera bekerja," ucap Betty kembali menutup tasnya.
"Ya carilah uang yang banyak.” Lukas dengan cepat meraih wajah Betty dan mencium keningnya cepat.
Hidung betty mengerut dan mendorong bahu Lukas pelan, "Mandi lah sebelum menemuiku, aku tidak suka bau alkohol."
Lukas tersenyum geli, "Ya, sampai jumpa kapan-kapan." Sekali lagi Lukas mencium pipi Betty dan berlalu pergi.
Betty menggelengkan kepalanya dan keluar dari gang sempit. Matanya mulai memanas dan dia harus mengusap air matanya yang hampir menetes. Betty sedang menahan tangis ini sedari tadi. Pertemuan dengan Lukas membuat hatinya sakit. Bukan karena benci, melainkan kesal. Kenapa kakaknya bisa hidup seperti ini? Jauh dari hidupnya yang tenang dan damai. Kenapa Lukas tidak bisa sadar dengan semua tingkahnya? Kapan dia akan berhenti menyusahkan dirinya.
***
Aldric menghembuskan rokoknya dengan dahi yang berkerut saat Roy menyentuh luka di punggungnya. Sedetik kemudian dia merasakan dingin saat Roy mulai mengoleskan salep yang akan membantu lukanya mengering, luka yang dia dapat saat menjalankan misi.
"Sudah cukup kering, kau tidak perlu menggunakan perban," gumam Roy sambil menepuk pelan luka Aldric.
"Sialan!" Aldric mengumpat dan berdiri begitu Roy selesai dengan punggungnya. Dia meraih kaos putih dan memakainya lagi. Kembali masuk ke dalam kolong mobil dan sibuk memperbaikinya.
Sekarang Aldric berada di garasi rumah yang dia sulap menjadi bengkel dadakan. Rasa suka Aldric terhadap otomotif yang membuatnya membuat bengkel ini. Dia memodifikasi semua kendaraannya agar sesuai dengan apa yang dia mau dan Roy yang membantunya mengurus kendaraan-kendaraan itu. Hanya pria itu yang mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Anak buah Cregwal tidak ada yang mengejarmu?" tanya Roy meraih kaleng beer dan meminumnya.
"Tidak, mungkin mereka juga muak dengan pria itu."
Roy mengangguk dan membuka lemari kayu kecil yang ada di garasi, mengeluarkan amplop cokelat yang dikirim tanpa identitas dua hari yang lalu. Roy sempat membukanya tapi sepertinya surat ini ditujukkan untuk Aldric.
"Aku menemukan ini di depan rumah dua hari yang lalu."
Aldric keluar dari bawah mobil dan mengelap tangannya yang kotor, "Apa itu?"
"Kau lihat saja sendiri." Roy memberikan amplop itu dan menggantikan posisi Aldric untuk memperbaiki mobil.
Aldric membuka amplop itu dan terdiam melihat isinya. Hanya ada satu lembar foto yang cukup mengusiknya.
"Betty?" gumam Aldric bingung.
"Kau mengenalnya, Al?"
"Dia gadis yang menemuiku di Bar."
Roy mendengkus, "Aku tahu, aku yang memanggilmu saat itu. Hanya saja, kau mengetahui namanya?"
"Betty, aku bertemu lagi dengannya saat membeli salad."
"Jadi, apa maksud pengirim itu memberikan foto— siapa namanya? Betty?"
Aldric hanya diam dan membolak-balikkan foto itu. Dia juga melihat ke dalam amplop berharap ada informasi lain selain foto Betty.
"Aku masih tidak mengerti," gumam Roy dan berjalan mendekat. Ikut melihat amplop itu dengan seksama.
Dengan gerakan cepat, Aldric merobek amplop itu dan melihat ada tulisan bertinta hitam di dalamnya.
Apa dia gadismu? Aku melihatnya bersamamu di bawah jembatan. — P.W
"Sial!" Aldric mengumpat.
"Apa? Apa yang kau dapat?" tanya Roy bingung.
"Pedro, pria itu melibatkan Betty."
Roy mengerutkan keningnya bingung, "Kenapa kau begitu khawatir?"
"Betty itu tidak tahu apa-apa. Dia tidak harus berurusan dengan Pedro."
"Kau bersamanya di bawah jembatan?" tanya Roy lagi dengan konyol. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa geli dan Aldric mendengkus melihat itu.
Tanpa membuang waktu, Aldric masuk ke dalam rumah dan kembali keluar dengan jaket hitamnya. Wajahnya sudah bersih, dia juga mencuci wajahnya tadi.
"Kau akan ke mana?" tanya Roy saat Aldric mulai mengeluarkan mobil.
"Mencari tahu, apa yang sebenarnya Pedro inginkan."
Tanpa diduga Roy tertawa. Dia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Aldric. Dia melipat kedua tangannya di dada dan bersandar pada pintu garasi.
"Aku tahu kau akan menemui Betty, benar bukan?"
Aldric melirik dengan tajam, "Jangan konyol," ucapnya dan melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Rumah sederhana yang berada di ujung kota. Jauh dari kepadatan penduduk demi kenyamanan dan keamanan.
Mobil itu terus melaju sampai tak sadar jika Aldric menghentikan lajunya tepat di depan sebuah bangunan berlantai 4. Kenapa dia ke tempat ini?
Sial! Apa benar aku akan menemui Betty?
***
TBC
Di dalam ruangan yang serba putih itu, Betty terlihat fokus dengan buku di tangannya. Kaca mata yang bertengger di hidungnya seolah menambah kesan serius pada dirinya. Banyaknya senjata yang menggantung di sekitar Betty tidak lagi membuatnya takut. Setidaknya sudah 6 tahun lebih dia terbiasa dengan senjata-senjata itu.Suara pintu besi yang terbuka tidak mengalihkan pandangan Betty. Dia masih fokus pada buku di tangannya. Dia mengabaikan seorang pria yang duduk di depannya, pria yang selama ini mengisi hari-harinya."Aku pikir kau membenci buku," ucap Aldric."Ini buku resep." Betty memperlihatkan cover bukunya di depan Aldric."Kenapa kau mengurung diri di tempat ini?" tanya Aldric berpindah duduk di samping Betty.Betty menutup bukunya dan bersandar di dada Aldric, "Apa kau sudah selesai membicarakan pekerjaanmu?"Kening Aldric berkerut mendengar itu. Dia memang sedang membicarakan pekerjaan bersama Roy dan Lukas di ruang tengah. Pekerjaan yang berbahaya tentu saja. Dia tidak tahu j
Suara tendangan pintu yang keras membuat Betty terlonjak kaget. Dia berdiri dan mengikat rambutnya asal lalu membuka pintu kamar Aldric."Beth! Keluar sekarang!"Mendengar suara Lukas yang berteriak membuat Betty menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan mendapati Aldric sudah terbangun dari tidurnya. Rambut pria itu tampak berantakan yang membuatnya terlihat lebih seksi. Betty merutuki pikirannya sendiri."Kenapa Lukas berteriak sepagi ini?" tanya Aldric menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang."Ini sudah jam 11 siang, Al."Aldric tersadar dan menatap Betty dengan senyuman. "Malam yang indah, Beth.""Berikan kunci kamar. Aku sudah lapar."Betty memang sudah bangun sejak pagi. Dia kelaparan dan tidak bisa keluar kamar karena pintu yang terkunci. Dia tidak ingin membangunkan Aldric yang tampak nyenyak dalam tidurnya. Hanya di saat tidur, Betty bisa menikmati dan melihat betapa polosnya wajah Aldric.Sedikit menguap, Aldric berdiri dengan keadaan tubuh yang telanjang. Dia mengenakan cel
Bersikap biasa menjadi hal yang Betty lakukan untuk saat ini. Dia berusaha membaur dengan orang-orang baru. Padahal Betty memiliki sejuta pertanyaan dan amarah yang ingin dikeluarkan, tapi dia memendamnya untuk sekarang.Di dalam kamar, Betty dan Allena tampak sibuk membantu Abigail yang sedang latihan berjalan. Seiring berjalannya waktu gadis muda itu mulai bisa menggerakkan tubuhnya. Meskipun sedikit kaku, tapi setidaknya Abigail tidak membutuhkan kursi roda lagi."Aku bisa, Allena." Abigail melepas tangan Allena dari pinggangnya.Allena berdecak. "Aku hanya tidak ingin kau jatuh.""Aku sudah bisa berjalan, jangan berlebihan." Abigail berucap kesal.Betty menatap Abigail dan tersenyum. Akhirnya dia mendapat kesempatan untuk bertemu gadis itu. Meskipun sudah bertemu sebelumnya tapi mereka belum sempat saling menyapa. Betty sudah lebih dulu pergi sebelum Abigail sadar."Dengarkan Allena, Abi." Betty berucap sabar."Aku bisa, Beth.""Kau ingin Pedro memarahi Allena lagi, eh?" tanya Bet
Di pagi hari, Betty tampak sibuk berkutat di dapurnya. Sandwich menjadi menu sarapannya kali ini. Sudah 2 minggu dia tidak berbelanja karena kesibukannya bekerja. Begitu juga dengan Lukas."Kak! Bangun!" teriak Betty pada Lukas yang tertidur di sofa. Entah jam berapa pria itu pulang Betty tidak tahu. Lukas selalu lembur dan dia mempercayainya, karena pria itu memang memberikan uang hasil kerjanya pada Betty selama ini."Bangun!" teriak Betty lagi sambil menepuk pipi Lukas keras.Lukas mengerang dan menutup wajahnya rapat. "Kenapa kau kasar sekali, Beth? Ke mana perginya Betty-ku yang manis?" gumamnya dengan nada mengantuk."Cepat bangun, Kak!""Aku bangun!" Lukas melempar bantal sofa dan mengusap wajahnya kesal.Dia sangat lelah dan masih mengantuk. Dia baru pulang jam 5 pagi dan dia hanya tidur selama dua jam."Bisakah kau membantuku mengambilkan surat-surat? Semalam aku melihat kotak surat sudah penuh," ucap Betty kembali berkutat di dapurnya.Dengan mata yang setengah terbuka, Luka
Mobil berwarna hitam mengkilap berhenti tepat di depan rumah Aldric. Pedro keluar dengan senyum merekah di wajahnya. Dari kejauhan dia bisa melihat Abigail tampak menikmati udara segar di depan rumahnya."Kau datang lagi?" Roy yang sedang mencuci mobil merasa jengah melihat kedatangan Pedro setiap harinya."Jangan pedulikan aku," jawab Pedro acuh sambil berlalu menghampiri Abigail.Abigail tersenyum melihat kedatangan Pedro. Dia ingin sekali berdiri, tapi dia tidak bisa melakukannya. Tubuhnya masih kaku pasca sadar dari koma. Dia membutuhkan terapi agar bisa beraktivitas seperti biasa."Kau datang?!" tanya Abigail saat Pedro sudah berada di depannya."Bagaimana kondisimu?" tanya Pedro mencium kening Abigail. Pria itu sudah menganggap Abigail seperti anaknya, pengganti Kate."Aku baik." Abigail tampak antusias. "Mana burgerku? Apa kau membawanya?" Lanjutnya.Pedro menggeleng, "Tidak.""Kenapa?""Kau harus pulih terlebih dahulu baru bisa memakannya. Kau masih harus membutuhkan banyak nu
Cahaya matahari yang muncul di musim dingin tidak terlalu menyilaukan mata. Betty membuka kaca mobil dan menikmati angin dingin yang menerpa wajahnya. Perlahan senyum manis mengembang di bibirnya. Setelah beberapa minggu bertempur, akhirnya dia bisa terbebas dari beban berat yang dia alami.Salvator sudah mati. Pria itu tidak akan mengganggunya lagi. Pria itu tidak akan mengganggu teman-temannya lagi. Meskipun ada darah yang sama mengalir di tubuhnya, Betty tetap tidak akan menganggap pria itu sebagai keluarganya."Tutup jendelanya, kau bisa sakit."Jendela perlahan mulai tertutup dan Betty kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Mata indah itu menatap Aldric dengan bibir yang mengerucut tapi itu tidak bertahan lama karena rasa kesalnya berganti dengan rasa haru.Tangan Betty perlahan menyentuh pipi Aldric yang terdapat luka karena melawan anak buah Salvator. "Masih sakit?" tanyanya."Tidak terasa sama sekali," jawab Aldric tersenyum tipis.Betty mendengkus dan kembali menatap ke