"Hem, Panji pasti terkejut melihat kedatanganku. Sudah tidak sabar rasanya untuk bertemu," Intan Sasmita gadis 23 tahun bermonolog sendiri, sambil melangkahkan kaki melewati beberapa orang yang ada di bandara.
Tujuan Intan kali ini bukan rumah melainkan kantor Panji—sang kekasih—. Hari kepulangannya memang dua hari lagi. Namun, dia percepat kepulangan mengingat hari ini bertepatan dengan anniversary 3 tahun berpacaran. Sesampainya Intan di kantor Panji, beberapa karyawan yang memang sudah mengenal Intan, merasa terkejut. Seperti ada ketakutan tersirat dari tatapan mereka. 'Ada apa dengan mereka? Kenapa melihatku seperti itu? Memangnya aku ini hantu?' gumam Intan, mengernyitkan kening heran seraya melanjutkan langkah. Di depan pintu ruangan Panji kini Intan berdiri. Salah satu ruangan yang Intan rindukan, selama ini dirinya menuntut ilmu di negeri paman Syam. Tangannya cepat membuka pintu, tidak sabar memberi kejutan untuk sang kekasih. "Sayang, surprise!" teriak Intan, tampak kegirangan. Berbanding terbalik, justru dirinya yang dikejutkan. Mata Intan melotot tajam, mulut menganga membentuk huruf O besar. Panji sedang asyik bercumbu dengan Lila yang merupakan sahabat baik Intan sendiri. "Intan?" Panji langsung berdiri kala melihat sang kekasih mematung di depan pintu. Lila juga langsung berdiri, cepat tangannya merapikan pakaian yang sempat terbuka karena ulah Panji. "Apa maksud semua ini? Kalian …." Kata-kata Intan tercekat, kerongkongan mendadak kering melihat sesuatu yang tidak pernah dirinya bayangkan sebelumnya. "Ntan, aku bisa jelasin!" Lila melangkah cepat menghampiri Intan, wajahnya pias. Intan dengan cepat menepis tangan Lila yang terulur hendak menyentuhnya. "Tidak perlu ada penjelasan, semuanya sudah jelas sekarang. Kalian berdua pengkhianat, dan kamu Lila, kamu musuh dalam selimut!" Sakit hati, kecewa, dan marah bercampur jadi satu. Tanpa mau mendengarkan penjelasan apa-apa lagi. Intan langsung berlari keluar dari ruangan Panji. Semuanya sudah jelas bukan? Pengkhianatan yang Intan lihat dengan mata kepala sendiri. Bukti nyata perselingkuhan kekasih dan sahabatnya. Kepulangan ke tanah air, nyatanya tidak seperti yang dirinya harapkan. Panji berniat mengejar Intan, tetapi Lila menahannya. "Bukannya kamu bilang, Intan akan kembali dua hari lagi? Kenapa sekarang dia ada di sini?" tanya Lila. "Aku juga tidak tau. Intan sendiri yang bilang akan pulang lusa. Aku juga tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini," sahut Panji, mengacak-acak rambutnya kasar. "Aku harus mengejar Intan," lanjut Panji. "Untuk apa lagi mengejarnya? Dari dulu, ini kan yang kita inginkan? Sekarang Intan sudah mengetahui semuanya. Biarkan saja dia, kita tidak perlu lagi menjalani hubungan diam-diam," larang Lila. Panji terdiam bambang, yang dikatakan Lila memang benar. Bukan Panji tidak cinta pada Intan. Hanya saja, sebagai seorang pria yang memiliki hasrat. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari Intan, karena status mereka hanya sebatas kekasih, malah dia dapatkan dari Lila. Lila dengan senang hati melayani nafsu birahinya, tanpa memikirkan status seperti Intan.*** Di dalam sebuah taxi Intan menangis meraung, mengingat kejadian yang baru dia lihat. Menyaksikan sang kekasih dan sahabat bercumbu mesra, perselingkuhan itu membuat Intan hancur. 'Menjijikan.' Itulah yang kini ada dalam benak Intan. Dia menghapus air mata yang meleleh saat taxi berhenti di depan rumah. Cepat Intan keluar taxi lalu gegas masuk ke dalam rumah. "Yah, Bun, Intan pulang," sapa Intan lesu. "Loh, kamu pulang Tan? Kenapa tidak bilang? Bukannya lusa ya?" Bunda Intan terkejut melihat kehadiran sang buah hati. "Intan mempercepatnya Bun. Intan langsung ke kamar," jawab Intan. Suara lirih juga mata sembab membuat sang bunda mengernyit. "Kamu kenapa Tan? Kenapa mata kamu sembab? Kamu menangis? Siapa yang membuat kamu seperti ini?" cecar bundanya menahan Intan. Tanpa kata Intan langsung memeluk sang bunda. Pelukan yang begitu hangat, membuat Intan semakin terisak. Terdengar menyedihkan, membuat sang bunda iba. "Kamu kenapa? Cerita sama Bunda!" pinta sang bunda kemudian menggandeng tangan Intan berjalan menuju sofa. "Panji Bun, dia selingkuh," jawab Intan dalam terisak. "Panji selingkuh? Dengan siapa? Dari mana kamu tau? Kamu kan baru saja pulang?" tanya bunda Intan terkejut. Intan hanya menangis, menjawab semua pertanyaan sang bunda. Akan membuat dirinya semakin sedih dan sakit. "Intan kapan pulang? Loh, kenapa menangis seperti ini?" tanya ayah yang baru saja datang. "Ini Yah, Intan baru pulang sudah menangis seperti ini. Katanya Panji selingkuh. Tapi, selingkuh dengan siapa, bunda juga tidak tau," sahut bunda Intan, mengusap rambut Intan penuh kasih sayang. "Panji? Berani sekali dia menyakiti putriku. Memangnya dia pikir, dia itu siapa? Awas saja kau Panji, akan aku buat menyesal. Belum jadi menantu saja sudah seperti ini kelakuannya. Apalagi kalau jadi menantu, bisa-bisa aku tembak mati dia. Untung saja waktu itu aku menolak lamarannya," Ayah Intan meradang mendengar cerita istrinya. "Sudah Yah, kenapa Ayah marah-marah? Ini tenangkan dulu Intan. Kalau menangis seperti ini terus, bagaimana mau jelas ceritanya? Jangan membuat sesuatu yang kejelasannya saja tidak pasti!" tegur bunda Intan, tahu benar bagaimana perangai sang suami. Ayah Intan mendengkus kesal. Baginya, Intan adalah batu permata yang tidak ternilai harganya. Menyakiti Intan, sama saja menyakiti hatinya. "Tan, cerita semuanya sama Ayah!" pinta ayah Intan. "Panji selingkuh dengan Lila, Yah," jawab Intan sesenggukan. "Lila sahabat kamu?" tanya orang tua Intan bersamaan. Intan mengangguk membenarkan. Lalu menceritakan segalanya. Bunda Intan hanya bisa menutup mulutnya tidak percaya. "Sudah, jangan menangis lagi! Kamu harus bersyukur, karena mengetahui ini lebih awal. Kalau saja ini tidak terungkap sekarang, kamu akan lebih menderita lagi nanti. Buang saja batu tidak berharga itu! Tidak ada untungnya mempertahankan pria seperti Panji itu. Kalau hatinya saja bisa berkhianat, bagaimana yang lainnya? Hati adalah sesuatu yang suci, dia berani mempermainkan hati kamu. Ayah pastikan, akan mempermainkan bisnisnya nanti," ujar ayah Intan, memeluk putrinya, merasa geram akan perbuatan menjijikkan Panji. Intan merasa lega setelah menceritakan semuanya. Benar yang dikatakan sang ayah, jika hati saja bisa dikhianati. Bagaimana untuk hubungan dan yang lainnya akan bisa bertahan?Intan duduk termenung di dalam kamarnya. Pada dasarnya, Intan bukanlah seorang gadis yang lemah, apalagi jika itu hanya urusan percintaan. Hanya saja, kekecewaan yang mendalam atas dasar nama 'persahabatan' membuat Intan merasa dibohongi mentah-mentah. Kalau untuk Panji sendiri, benar yang dikatakan sang ayah. Batu kerikil memang harus dibuang, karena akan menyulitkan dalam langkah ke depan. "Sepertinya aku harus bekerja untuk melupakan kejadian kemarin. Berlarut-larut seperti ini juga tidak akan mengubah apapun. Toh, kuliahku juga hanya menunggu wisuda saja." batin Intan, memikirkan sesuatu. Keputusannya sudah bulat, Intan bergegas keluar dari kamarnya mencari keberadaan sang ayah. Ayah Intan merupakan salah satu pemilik perusahaan besar yang terkenal di bidangnya. Sifat keras kepala dan pantang menyerah, Intan turuni dari sifat sang ayah. "Yah, Intan mau bicara," ucap Intan, duduk di samping sang ayah. "Bicara apa, Tan? Sepertinya serius?" tanya ayah Intan, menghentikan keg
Intan berjalan melewati beberapa karyawan yang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Setibanya Intan di ruang asisten bernama pak Agung. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, tangannya terkepal dan terangkat mengetuk pintu ruangan. "Masuk!" Suara bariton terdengar dari dalam ruangan, memerintahkan Indah. Perlahan pintu ruangan terbuka. Intan yang mengira asisten presdir itu tua, hanya bisa melongo tak percaya. Tua? Bahkan wajahnya jauh dari kata itu. Seorang pria tampan dan penuh wibawa menatap Intan dengan tatapan datar. Intan sempat tertegun menatap sang asisten, sampai suara bariton itu mempersilahkan Intan duduk. "Silahkan Nona Intan!" Intan terkesiap malu. Wajahnya sedikit memerah, lalu duduk di kursi tepat di depan sang asisten. "Saya akan menjelaskan tugas dan jabatan nona Intan. Berhubung sekretaris pak Presdir baru saja memundurkan diri. Pak Presdir tidak memiliki sekretaris sekarang ini. Saya akan menempatkan
Intan kembali ke ruang kerjanya. Baru hari pertama bekerja, Intan sudah mengalami kesulitan. Memang benar dengan dirinya bekerja, Intan mulai melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Namun, masalah lain justru datang dari atasannya sendiri. 'Apa aku harus ikut ke Lombok? Aku kan baru bekerja, belum terlalu kenal dan tau bagaimana presdir di perusahaan ini. Kalau ternyata dia presdir mesum, bagaimana?' batin Intan, bergidik ngeri membayangkan hal itu. Dirasa ragu dan takut, akhirnya Intan menghubungi sang ayah. Cukup lama panggilan Intan masuk, akhirnya tersambung juga. "Ada apa Ntan? Kenapa nelepon Ayah? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya sang ayah. "Intan bingung Yah, semuanya sih baik-baik saja," jawab Intan. "Bingung kenapa? Ceritakan pada Ayah!" "Tadi kan Intan menghadap pak Presdir. Katanya besok, Intan harus ikut pergi ke Lombok karena ada jadwal di sana. Ini kan hari pertama Intan bekerja, masa iya s
Perjalanan yang ditempuh harusnya hanya delapan jam, kini harus di luar dari perkiraan, karena ada kesalahan. Intan dan Lingga akhirnya tiba di hotel yang mereka tuju menjelang tengah malam. Hotel mulai terlihat sepi, hanya ada satu atau dua orang saja yang berjalan melewati meja resepsionis. Lingga menarik tangan Intan menuju meja resepsionis untu memesan kamar. "Permisi Mbak! Saya mau pesan dua kamar," ujar Lingga. "Maaf sekali Pak, kamar yang tersisa hanya sisa satu," sahut resepsionis itu, menangkupkan kedua tangannya di dada. "Hanya ada satu kamar? Apa tidak ada kamar lain lagi?" tanya Lingga, tidak percaya. "Maaf Pak, tidak ada," jawab resepsionis itu lagi. "Hotel sebesar ini, masa iya tidak ada kamar lagi, Mbak?" Kali ini Intan yang bertanya, menurut Intan mustahil jika kamar hanya tersisa satu saja. "Maaf Mbak, memang hanya sisa satu. Dikarenakan banyak sekali kunjungan ke tempat wisata, dan ini adalah satu-sa
Seusai keluar dari kamar mandi, Intan duduk di atas tempat tidur dengan beberapa alat make up di depannya. "Aku tidak terbiasa memakai make up, terus, bagaimana cara memakainya? Kalau tidak pakai make up, nanti pasti terlihat pucat," Intan bermonolog sendiri, bingung. "Tidak usah memakainya kalau tidak bisa! Yang ada, kamu nanti akan terlihat seperti badut mampang yang ada di trotoar," ejek Lingga, yang baru saja keluar kamar mandi. Intan menoleh ke arah Lingga, tanpa sadar langsung menutup matanya. "Bapaak! Kenapa keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja?" jerit Intan. Lingga memperhatikan tubuhnya sendiri di kaca kamar itu. "Hei! Tidak perlu menjerit seperti itu! Memangnya apa salahnya? Saya ini pria, jadi ini hal wajar saja. Lain lagi kalau kamu yang seperti ini. Dasar aneh! Apa kamu tidak pernah melihat badan pria lain sebelumnya?" "Cepat masuk ke kamar mandi lagi! Gunakan pakaian Bapak dulu, baru keluar. Bisa-bisa ternoda mata suci saya ini. Y
Intan yang tadinya merasa lapar, kini tidak berselera lagi untuk kembali ke restauran tempat Lingga berada. Intan memutuskan kembali ke kamarnya. "Baru satu hari di sini, berarti masih ada sisa enam atau tujuh hari lagi. Apa aku bisa bertahan selama itu, apalagi satu kamar dengan bos gila seperti dia," gumam Intan, duduk membelakangi pintu kamar. "Siapa yang kamu sebut bos gila? Kamu mengatai saya di belakang?" tanya Lingga, entah dari mana dan kapan munculnya. Mendengar suara Lingga, sontak Intan berbalik. "Bapak? Ka-kapan Bapak kembali?" tanya Intan, menepuk keningnya sendiri. "Kapan saya kembali, itu tidak penting. Ternyata kamu memang suka membuat masalah, ya? Masalah yang sebelumnya saja, sudah membuat kamu mau dipecat, sekarang membuat masalah baru. Apa kamu mau dipecat sekarang?" tanya Lingga, perlahan mendekati Intan. Intan memundurkan posisi duduknya. "Berhenti Pak! Bapak mau a-apa?" Wajah Intan sudah ketakutan. "Saya mau apa? Itu terser
Lingga bergegas keluar dari kamar, pintu yang tadinya terbuka, kini terlihat kosong. "Tidak ada orang? Lalu, siapa yang membuka pintu tadi?" Lingga nampak mengerutkan keningnya. "Apa ini ulah gadis itu? Tapi, gadis itu tidak terlihat di mana pun," lanjut Lingga, terus bermonolog sendiri. Lama Lingga berdiri di depan pintu kamar. Intan yang merasa kondisi sudah mulai aman, melangkah santai menghampiri Lingga. "Sedang apa Pak?" tanya Intan, bersikap biasa saja. Lingga menatap tajam Intan, matanya terus menelisik gadis yang kini berdiri di depannya. "Dari mana saja kamu? Apa tadi kamu sempat kembali?" "Dari makan Pak. Kembali ke mana maksud Bapak?" tanya Intan, pura-pura tidak mengerti. "Tidak ada apa! Lupakan saja! Sekarang bersiap, kita akan ke perusahaan Giant Super!" Lingga memilih masuk ke kamar lebih dulu. 'Sepertinya gadis itu tidak tau apa-apa. Mungkin benar bukan dia pelakunya.' batin Lingga. Intan tersenyum penuh kemenangan. Sandi
Intan menelan air liurnya kasar. 'Aduh, kenapa ayah bisa ada di sini? Bisa gawat ini. Semoga ayah tidak menyapa aku,' batin Intan. Meeting yang dilaksanakan oleh para petinggi perusahaan akhirnya usai juga. Disaat Lingga sedang sibuk berbincang dengan para relasi bisnisnya, Intan milih untuk mendekati sang ayah. "Yah, kenapa Ayah bisa ada di tempat ini juga? Kemarin, waktu Intan bilang akan pergi, Ayah tidak mengatakan apa-apa," tanya Intan. "Ayah sengaja, Ayah mau melihat langsung kinerja kamu bagaimana? Apa sudah pantas, jika nanti harus menggantikan Ayah. Bagaimana kabar bos kamu? Apa dia memarahi kamu selama di sini?" tanya sang ayah. Intan melirik Lingga yang berada jauh, lalu kembali lagi menatap sang ayah. "Pak Lingga baik kok, Yah. Dia tidak memarahiku. Yah, nanti jangan bilang siapa-siapa, ya!" pinta Intan. "Bilang apa?" Ayah Intan mengerutkan keningnya bingung. "Itu Yah, jangan bilang kalau aku ini putri Ayah!" bisik Intan. "Iya, ga