Share

Hari pertama bekerja

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-14 13:21:52

Intan duduk termenung di dalam kamarnya. Pada dasarnya, Intan bukanlah seorang gadis yang lemah, apalagi jika itu hanya urusan percintaan. Hanya saja, kekecewaan yang mendalam atas dasar nama 'persahabatan' membuat Intan merasa dibohongi mentah-mentah. Kalau untuk Panji sendiri, benar yang dikatakan sang ayah. Batu kerikil memang harus dibuang, karena akan menyulitkan dalam langkah ke depan.

"Sepertinya aku harus bekerja untuk melupakan kejadian kemarin. Berlarut-larut seperti ini juga tidak akan mengubah apapun. Toh, kuliahku juga hanya menunggu wisuda saja." batin Intan, memikirkan sesuatu.

Keputusannya sudah bulat, Intan bergegas keluar dari kamarnya mencari keberadaan sang ayah. Ayah Intan merupakan salah satu pemilik perusahaan besar yang terkenal di bidangnya. Sifat keras kepala dan pantang menyerah, Intan turuni dari sifat sang ayah.

"Yah, Intan mau bicara," ucap Intan, duduk di samping sang ayah.

"Bicara apa, Tan? Sepertinya serius?" tanya ayah Intan, menghentikan kegiatannya.

"Iya Yah. Intan mau bekerja," sahut Intan, tanpa keraguan mengucapkannya.

"Bekerja? Kuliah kamu bagaimana? Ayah masih sanggup membiayai hidup kamu, kenapa harus bekerja disaat kamu sedang mengenyam pendidikan?" Ayah Intan sedikit tidak suka mendengar kemauan Intan.

"Bukan masalah Ayah sanggup atau tidaknya. Intan hanya ingin belajar mandiri saja. Toh, kuliah Intan juga sudah hampir selesai," ujar Intan, mencoba meyakinkan sang ayah.

"Apa benar hanya karena itu? Ayah tau benar kamu bagaimana Tan. Jujur saja, jangan berbohong!" ucap ayah Intan, membuat Intan langsung terdiam.

"Hem, sebenarnya Intan hanya ingin melupakan kejadian itu saja. Kalau bekerja, Intan pasti ada kesibukan lain, jadi tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak penting lagi," Pada akhirnya Intan mengatakan yang sejujurnya.

"Bilang dong dari tadi. Ayah sependapat dengan kamu. Yang tidak penting, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau kamu benar-benar mau bekerja, besok pagi ikut Ayah ke kantor!" ujar ayah Intan, dengan santainya.

"Yah, Intan tidak mau bekerja di kantor Ayah. Intan mau bekerja di perusahaan yang Intan mau. Kalau di kantor Ayah, ya percuma. Intan mau memulainya dari nol sendiri," tolak Intan.

"Terus kamu mau kerja di mana? Apa kamu yakin mau memulainya dari nol? Itu tidak mudah Tan, apalagi ini dunia bisnis. Jabatan dan harga diri jadi taruhannya. Apalagi untuk kamu yang masih baru dan terlalu muda. Akan sangat sulit untuk bisa mencapainya," Ayah Intan mencoba menasihati sang putri.

Intan terdiam. Yang dikatakan ayahnya memang benar adanya. Semuanya tidak akan mudah, apalagi ijazahnya masih belum keluar. Untuk mendapatkan posisi yang tidak terlalu rendah pasti akan sangat sulit.

"Begini saja Yah. Ayah kan seorang pengusaha, berhubung ijazahku juga belum keluar. Ayah bantu Intan, ya! Tapi, Ayah minta tolong sama bawahan Ayah saja, Intan mau melamar di PT. LM," usul Intan.

"LM? Maksud kamu Lingga Mahendra? Apa kamu berani?" tanya ayah Intan, terkejut mendengar keinginan sang putri.

"Berani? Memangnya kenapa Yah?" Bukannya menjawab, Intan malah balik bertanya.

"Ya, tidak ada apa-apa. Hanya saja pemilik perusahaan itu orangnya tegas dan disiplin. Kamu saja bangun kesiangan terus, kalau terlambat bisa kena omel kamu nanti," ujar ayah Intan.

"Hem, Intan kira kenapa. Kalau masalah bangun pagi sih gampang. Kan ada alarm ponsel atau jam, jadi Intan pasti tidak akan kesiangan. Tolong ya, Yah! Satu lagi, identitas Intan sebagai putri Ayah, jangan sampai ketahuan!" pinta Intan.

"Hem, iya, iya. Nanti Ayah bicarakan dengan Dermawan, kebetulan Dermawan juga sering ke perusahaan itu mengurus berkas penting," Ayah Intan akhirnya menyetujui.

***

Dua hari setelah Intan mengutarakan keinginannya pada sang ayah. Akhirnya Intan diterima juga bekerja di perusahaan milik Lingga Mahendra. Memiliki orang dalam, memang sangat memudahkan dalam segala hal, apalagi untuk masalah pekerjaan. Intan tidak perlu repot-repot mengurusnya, hanya langsung turun dan bekerja dengan baik saja.

"Bun, Yah, Intan berangkat dulu!" pamit Intan, terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.

"Kamu jadi kerja Tan? Apa kamu tidak capek nanti?" tanya sang bunda, sedikit keberatan.

"Sudahlah Bun, jangan memanjakan Intan seperti itu! Intan sekarang sudah besar, sudah dewasa. Yang namanya kerja itu pasti capek. Tidak capek badan, ya capek pikiran," ujar ayah Intan.

"Ya, Bunda juga tau itu. Tapi kan, Intan ini masih terlalu muda untuk kerja, kuliah juga belum benar-benar selesai. Apa dia bisa mengerjakan semuanya nanti?" sahut bunda Intan, masih meragukan.

"Bunda tenang saja. Benar kata Ayah, Intan sudah besar. Di luar sana, jangankan seumuran Intan. Yang usianya jauh di bawah Intan saja sudah banyak yang kerja. Masalah bisa atau tidak, nanti Intan akan belajar," Intan berusaha meyakinkan sang bunda.

"Sudahlah, berangkat sana Tan! Nanti kamu telat, ingat kata Ayah. Pak Lingga orangnya disiplin, jangan membuat kesalahan di sana!" ujar ayah Intan.

Setelah mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya. Intan bergegas berangkat kerja. Ini hari pertamanya. Dalam hatinya, Intan berjanji akan bekerja sungguh-sungguh.

"Aku harus menyibukkan diri dan pikiranku hari ini. Aku harus melupakan semuanya, dan membuat hatiku senang lagi. Tenang Intan, mati satu tumbuh seribu. Siapa tau nanti di tempat kerja aku ketemu cowok baik," batin Intan, menyemangati dirinya sendiri.

Lima belas menit berlalu, Intan akhirnya tiba juga di tempat kerjanya yang baru. Sebuah perusahaan yang tak kalah besar dengan perusahaan milik ayahnya, Intan mulai turun dari mobil pribadinya. Sedikit merapikan penampilannya, kemudian melanjutkan langkahnya memasuki area dalam kantor.

"Permisi Mbak, saya Intan Sasmita. Saya karyawan baru di perusahaan ini," ujar Intan memperkenalkan diri ke salah satu staf di bagian resepsionis.

"Oh Intan, karyawan baru? Terus, kenapa kenalan sama saya? Kenapa tidak langsung ke ruangan kamu saja?" ketus wanita yang kini diajak Intan bicara.

Intan memutar bola matanya malas. Kalau saja ini bukan hari pertamanya bekerja, Intan sudah pasti akan membalas perlakuan staf wanita di depannya. "Saya kan masih baru, jadi saya tidak tau di bagian mana saya kerja. Saya ke sini mau tanya, di mana ruangan pak Presdir?" sahut Intan.

"Hah? Kamu mau cari ruang pak Presdir? Apa tidak salah? Memangnya kamu kerja di bagian mana? Apa sepenting itu, sampai berani ke ruang presdir?" sindir staf resepsionis.

"Jadi saya harus ke mana?" tanya Intan, emosinya benar-benar harus di uji kali ini.

"Tunggu sebentar! Saya hubungi pak Agung dulu," sahut staf itu, terlihat sibuk memainkan telepon kantor.

Tak lama menunggu, akhirnya Intan diminta untuk pergi ke ruangan sang asisten presdir. Dengan cepat Intan pergi meninggalkan meja resepsionis. Berlama-lama berada di sana, Intan merasa tidak betah sama sekali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Terkurung di kantor

    Agung masuk tanpa persetujuan Lingga. Asisten pribadi Lingga itu langsung menghampiri keduanya yang sudah tertangkap basah ingin berciuman. "Gila, ini kantor Bos," ledek Agung. Intan langsung mendorong Lingga menjauh. Wajahnya memerah menahan malu. Tanpa mengatakan atau membela diri, Intan bergegas keluar dari ruangan Lingga. "Kenapa kamu masuk tidak ketuk pintu dulu?" Lingga menatap tajam Agung yang terlihat santai "Aku sudah mengetuknya, kamu saja yang tidak dengar. Saking fokusnya ingin berciuman, kamu sampai tidak tau," sindir Agung, menyerahkan satu map berwarna coklat kepada Lingga. "Ini jadwal kamu besok sampai satu minggu ke depan, aku hanya mau menyerahkan ini saja," lanjut Agung, tersenyum mengejek. Lingga tidak menerima map itu, hanya matanya yang melirik sinis. "Kamu hanya memberikan ini saja? Cepat keluar sana! Lain kali, kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" usir Lingga, mendorong tubuh Agung, menuju pintu. Agung terkekeh mendapa

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Hampir berciuman

    Intan duduk termenung di kursinya. Kata-kata Agung membuatnya bingung. "Masa iya di kantor besar seperti ini ada kodok sih? Apa benar? Terus, dari mana Pak Agung tau, kalau tuh kodok berjenis betina?" "Aku seperti orang bodoh saja memikirkan ini. Apa jangan-jangan, pak Agung membohongi aku?" lanjut Intan bermonolog sendiri.Sibuk dengan pemikirannya. Telepon kantor di ruangannya berdering. Dengan tergesa-gesa Intan meraih gagang telepon di atas mejanya. "Hello selamat pagi, di sini Intan Sasmita, sekretaris dari perusahaan Lingga Mahendra," "Tidak perlu diberitahu! Cepat keruangan saya sekarang!" titah seorang pria, yang tidak lain adalah Lingga. Intan langsung meletakkan kembali gagang telepon ke tempat asalnya. "Huh, ternyata bos gila itu. Sudah bicara lembut, ternyata bukan orang penting yang menelepon," umpat Intan, dengan malas beranjak dari duduknya. Intan berjalan gontai menuju ruangan Lingga. Terlalu malas jika harus bertemu atasan yang selalu s

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Kodok betina

    Dengan sangat terpaksa Lingga hanya bisa menuruti kemauan Agung saja untuk tidak memotong gajinya. Ancaman dari asistennya itu, benar-benar membuat Lingga tak berdaya. "Sana keluar! Kerja yang benar, awas saja kalau ada yang salah!" "Kamu tenang saja Bos, semua kerjaan aman di tangan asisten handal seperti aku," sahut Agung, dengan penuh percaya diri. "Eh, tapi apa Bos yakin, tidak mau melihat sekretaris baru yang sesuai kriteria perusahaan?" tanya Agung, menggoda Lingga. "Keluar atau aku pecat kamu!" Lingga benar-benar dibuat kesal pagi ini. Agung langsung berlari keluar dari ruangan Lingga sambil terus tertawa. Mengerjai atasan itu, benar-benar ada kebahagiaan tersendiri, apalagi atasan yang seperti Lingga. Lingga melemparkan pena ke arah pintu yang baru saja Agung tutup, lalu memutarkan kursinya ke arah belakang. "Aduh!" Intan mengusap keningnya yang sakit. Mendengar suara yang familiar, Lingga langsung memutar kembali kursinya menghadap

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Mencari Intan

    Tak jauh berbeda dengan Intan. Lingga hanya bisa berbohong untuk saat ini. Tidak mungkin dirinya menceritakan kejadian saat di kamar mandi, saat dirinya tidak sengaja memegang satu diantara gunung kembar milik Intan karena lampu padam. "Bukannya tidak mencari kamar lain Ma, tapi saat itu memang semua kamar sedang penuh. Mama dan Papa kan tau sendiri kota itu bagaimana? Kota itu tempat wisata, pasti banyak yang datang," jelas Lingga, memberi alasan yang masuk akal. "Banyak alasan kamu Ga. Memangnya di kota itu cuma ada satu hotel saja? Masih banyak hotel lainnya, belum lagi penginapan, tidak mungkin semuanya penuh. Kalau mau memberi alasan, yang masuk akal sedikit. Memangnya kamu pikir, Mama dan papa ini bodoh?" omel sang mama. "Sudahlah Ma, semuanya juga sudah terlanjur. Tapi, kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa kan, Ga? Jangan macam-macam kamu Ga! Reputasi kamu bisa hancur kalau sampai punya skandal dengan sekretaris. Itu juga akan ber

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Alasan Lingga

    Cukup lama Intan terdiam, gadis bermanik hitam itu akhirnya mendongakkan kepalanya. "Tidak Yah, Intan memang sempat masuk ke kamar pak Lingga waktu itu. Tapi bukan karena tidur satu kamar. Ada berkas yang Intan ambil untuk persiapan meeting," ujar Intan berbohong. Sang ayah menghela nafas lega. "Syukurlah kalau begitu. Kalau sampai kalian tidur satu kamar, Ayah pastikan kalian menikah saat itu juga," sahut ayah Intan. Intan menelan air liurnya kasar. "Ah, Ayah, tidak mungkin Intan satu kamar," "Hem, iya. Besok kamu mulai masuk kerja lagi? Apa kamu betah kerja di sana?" tanya ayahnya. "Betah kok Yah, besok Intan kerja lagi. Memangnya kenapa Yah?" "Baguslah kalau kamu betah. Kalau tidak betah, kamu kerja di perusahaan Ayah saja. Tidak kenapa-kenapa sih, Ayah cuma khawatir saja. Apa kamu tidak mendengar berita di kantor itu, bagaimana Lingga memimpin. Ada banyak karyawan dan sekretaris yang dia pecat, karena ti

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Intan diinterogasi ayahnya

    Tak terasa, pekerjaan luar kota Lingga dan Intan akhirnya selesai. Setelah kejadian pegang memegang beberapa hari lalu, Intan seolah menjaga jarak, walaupun Lingga beberapa kali meledeknya. "Kamu kenapa sekarang pendiam sekali? Apa kamu masih marah karena kejadian itu?" tanya Lingga, merasa tidak nyaman diabaikan. Intan menggeleng sambil membenahi kopernya. "Saya sudah melupakan kejadian itu. Jadi, saya mohon jangan diungkit lagi! Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa!" Kopernya sudah siap, Intan berdiri memegang kopernya. "Saya sudah siap," ujar Intan, sudah tidak sabar ingin segera pulang. Lingga tidak melanjutkan percakapannya lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, Lingga langsung berjalan menyeret koper besar miliknya keluar dari kamar hotel. Perjalanan pulang kali ini tidak terlalu lama seperti saat mereka datang. Keduanya sudah sampai di bandara, menunggu pesawat yang membawa mereka sebentar lagi berangkat. "Apa kita makan dulu?" tanya Lingga,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status