"Apa yang kalian bicarakan?""Tuan?"Astin berjalan dengan langkah panjang memasuki ruang rapat para anggota Giustizia. Kedatangannya jelas saja membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut, termasuk Marlin dan Marlo. Mereka tidak menduga bila Astin akan datang tanpa memberitahu."Marlin, ada apa?" tanyanya lagi setelah duduk pada singgasana kebesarannya sebagai ketua.Matanya dingin, namun tajam meminta penjelasan atas kehadiran mereka di ruangan itu tanpa memberitahunya. Bisa dikatakan mereka telah lancang mengadakan pertemuan tanpa persetujuan darinya."Tuan, bagaimana kondisi Anda?""Marlin, jangan mengalihkan topik! Aku tanya apa yang kalian bicarakan di sini tanpa sepengetahuanku?" Astin menegakkan punggung dengan kedua tangan di atas meja. Matanya semakin tajam melihat Marlin. Dia tidak suka ada basa-basi terselip dalam pembicaraannya. Apalagi saat mereka berada di ruang rapat.Kini Astin mengedarkan pandang menjelejah satu per s
"Kau cemburu pada siapa, Nancy?" Tiba-tiba suara Astin memgejutkan dan dia telah berdiri di belakang mereka.Nancy dan Marlin lantas menoleh untuk melihat. Hanya saja reaksi dan ekspresi wajah mereka berbeda. Wajah cantik Nancy tampak memerah karena malu dan juga gugup."Astin, kamu sudah bangun?"Nancy bangkit dari duduknya menyambut kedatangan Astin."Ya."Astin berjalan mendekati mereka, lalu duduk di depan mereka. Matanya masih menatap Nancy dengan sorot menyelidik atas apa yang dia dengar. Hal ini jelas saja membuat Nancy semakin salah tingkah dan gugup. Dokter cantik itu akhirnya kembali duduk."Tidak ingin menjelaskan?" Suara dan mata Astin menuntut."Apa yang harus dijelaskan?" elak Nancy. "Jangan dengarkan bualan Marlin!" sambungnya memasang wajah kesal menatap Marlin."Apa butuh bantuan kami untuk mendapatkan laki-laki yang kamu sukai?" Lagi-lagi Astin masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Kali ini dia malah menawarkan bantuan. Dia
"Masalah Karely, kamu jangan khawatir!" sahut Teresa memberikan senyum meyakinkan."Tapi, Tante?""Sebentar!" Teresa mengangkat tangan menahan perkataan Astin. Ponsel di atas meja berdering. "Karely," ucapnya lirih setelah melihat siapa yang menghubunginya.Astin dengan patuh terdiam memberi waktu Teresa berbicara dengan Karely."Kamu dengar, bukan?" ucap Teresa setelah kembali meletakkan ponselnya. "Dia terlalu gila kerja hingga lupa kalau punya mama," sambungnya memasang wajah menyesalkan kebiasaan Karely."Memangnya Karely kerja di mana, Tante?" Astin pikir ini kesempatan baik untuk mengetahui pekerjaan Karely yang sebenarnya.Teresa tidak langsung menjawap pertanyaan Astin, melainkan mengangkat wajah, menatapnya lekat dan terdiam. Bola matanya sedikit bergerak-gerak menjelajah manik mata hitam Astin seolah wanita itu sedang memikirkan sesuatu. Tampak juga dalam sorot mata ada keraguan, namun semua itu ditepis menggunakan senyum mencairkan suasana yang ham
"Fokuslah, Tuan! Jangan sampai konsentrasimu terpecah dan membahayakan dirimu sendiri." Astin mengangguk setuju. Ini memang salahnya. Dia lupa mematikan ponsel saat mereka beroperasi. Hal ini jelas saja menyalahi aturan karena akan mengganggu kosentrasi mereka."Sekarang kita bergerak!" perintahnya sembari memberi kode pada yang lain untuk maju.Dengan sekali hentakan, ketiganya langsung melesat dan menyelinap di antara rombongan pria kekar yang tengah melakukan negosiasi. Sesuai dengan rencana awal, Marlo menyerang pria yang ditunjukkan oleh Astin, sedangkan Astin dan Marlin berusaha menculik dia pria yang diyakini adalah bos mereka."Keparat! Siapa mereka?" teriak salah satu bos dari dua kubu yang saat menyadari ada yang mengepung dan menyerang mereka."Giustizia!" sahut yang lainnya.Terang saja mereka kalang kabut dan langsung menghalau serangan anggota yang datang secara tiba-tiba. Mereka tidak menyangka kalau akan mendapatkan serangan dari geng mafia y
"Tuan, awas!!!" teriak seseorang mendorong tubuh Astin dengan sangat kuat.Astin terkejut bukan main ketika tubuhnya terdorong dengan kuat, bahkan sampai terjatuh. Untung kuda-kudanya kuat sehingga refleks melindungi diri cepat. Astin langsung menopang tubuhnya menggunakan tangan dan lututnya. Menyadari ada yang tidak beres, Astin langsung menoleh pada pria yang telah mendorongnya."Romeo!" serunya tercengang.Bukan hanya Astin saja yang terkejut, Marlin dan Marlo juga tidak kalah terkejut. Dengan cepat Marlo menguasai keterkejutannya. Pria itu langsung mengarahkan ujung pistol dan menarik pelatuk ke arah bayangan hitam di depan mereka. Timah panas melesat dengan cepat membidik seorang pria yang kembali siap melepaskan timah panas ke arah Astin.Astin dan yang lainnya sangat jarang menggunakan pistol untuk menghadapi musuh, terkecuali kondisi mereka sangat terdesak. Mereka lebih senang menggunakan pedang untuk membasmi musuh. Menurutnya, senjata itu lebih aman dari
"Astin, cepat ikut aku!""Tante, ada apa?" tanya Astin pura-pura tidak mengerti maksud Yoselin memintanya pulang.Kedatangan Astin di rumah besar dengan dinding dan pintu pagar yang menjulang tinggi dan juga kokoh langsung disambut hangat dan senang oleh seorang wanita cantik berambut pirang. Seperti akan memberikan kejutan yang membahagiakan, wanita itu langsung menyusupkan tangan rampingnya pada lengan Astin dan membawanya masuk ke dalam rumah."Tante." Astin bersungut-sungut."Kali ini kamu tidak boleh membantah lagi. Aku sudah memberimu waktu cukup lama," ucap wanita itu sedikit memberi wajah dan nada galak."Aku bukan ingin membantah, tapi-""Tapi, apa?" Sekali lagi Yoselin memberi tatapan lebih galak. "Tujuanmu, bisa kamu lakukan sembari jalan," sambung Yoselin.Astin menghirup napas panjang, lalu mengeluarkan secara perlahan. Dia tidak akan pernah bisa marah pada wanita yang telah menjaga dan membesarkannya. Bagaimanapun Yoselin adalah satu-satuny
"Karely, apa kau baik-baik saja?" tanyanya cemas sembari mendekap wajah Karely.Melihat putrinya datang tergopoh-gopoh dengan napas terengah, Teresa malah terkejut dan khawatir. Wanita itu langsung meletakkan mangkuk yang dia bawa di atas meja, lalu bergegas mengambil air minum, mendekati Karely dan memintanya minum."Ma?" Karely mengernyitkan kedua ujung alis dengan mata sedikit menyipit.Yang memintanya segera pulang adalah ibunya. Namun, yang bertanya dan menunjukkan wajah khawatir juga ibunya."Ma, ada hal penting apa?" sambung Karely setelah melihat ibunya sedikit tenang.Akhirnya Teresa tersenyum."Ini!" Teresa menyodorkan sebuah rantang bekal pada Karely.Karely dengan ragu dan heran menerima rantang itu, tapi matanya masih menatap lekat Teresa."Ma, ini apa?" tanyanya masih tidak mengalihkan pandang."Tolong antar ini ke rumah Astin!" ucap Teresa.Karely tercengang dan kaget. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Mamanya menyuruhnya pulang cepat-cepat, dia pikir ada hal penting yang
"Karely, kenapa? Ayo masuk!" ajak Yoselin."Nyonya, sebaiknya saya tidak masuk," tolak Karely.Karely terlihat gugup dan was--was. Dia juga sangat kaget.Bagimana tidak?Di dalam ruangan yang baru saja dibuka oleh pria yang sejak tadi berjaga di depan pintu, ruangan di mana wanita itu mengajaknya masuk, ada beberapa wanita sedang duduk di sana. Dilihat sekilas dari cara berpakaian dan menampilkan sepertinya mereka bukan orang-orang biasa. Satu sama lain saling menonjolkan kecantikan dan keindahan tubuh mereka, seolah mereka ingin mencari perhatian.Yoselin tersenyum, lalu berjalan mendekati Karely."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya dengan suara lembut.Karely menarik perhatiannya, lalu mengalihkan pada Yoselin.Apa yang dipikirkan Karely?Jelas saja dia berpikir bila rumah besar dengan penjagaan ketat dan pagar tembok yang tinggi kokoh itu merupakan markas pelatihan para wanita kupu-kupu malam atau mereka merupakan sindikat perdagangan wanita, atau bisa jadi mereka adalah penyalur TK