Share

Dilema Glenn~

Penulis: Na_Vya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 16:01:53

🍁🍁🍁

"Glenn, udah siang. Kamu gak kuliah?"

Suara ketukan pintu diiringi dengan suara panggilan perempuan paruh baya dari luar kamar, membuat seorang pemuda yang sedang asyik terlelap sontak membuka mata, dan seketika menyahut, "Iya, Bu. Bentar lagi Glenn bangun." Sambil menyibak selimut, lalu menguap lebar.

"Ya udah," sahut ibunya Glenn, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh.

Glenn menghela panjang napasnya seraya mengusap wajah— mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Glenn mengambil ponsel yang selalu tergeletak di atas nakas, melihat jam digital yang menunjukkan pukul delapan pagi.

Pemuda itu lantas mengembalikan ponselnya ke atas nakas, dan turun dari tempat tidur. Dia membuka laci lalu mengambil amplop warna cokelat yang ada di dalam sana. "Untung gue bisa ngasih duit buat ibu tiap Minggu."

Amplop tersebut Glenn bawa keluar kamar karena seperti biasa, dia akan memberikan uang Mingguan untuk ibunya. Menjadi tulang punggung sejak duduk di bangku SMA membuat seorang Glenn sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Hingga diam-diam dia pun mengambil pekerjaan yang sekiranya menghasilkan uang banyak tanpa harus bersusah payah mengeluarkan keringat.

Mungkin, bagi sebagian orang pekerjaannya merupakan pekerjaan menjijikan. Namun, bagi Glenn, asal dapur sang ibu tetap bisa mengebul pekerjaannya adalah kebanggaannya. Walaupun, dia harus merahasiakannya dari sang ibu.

Sebelum ikut bergabung sarapan, Glenn lebih dulu masuk ke kamar mandi yang letaknya menjadi satu dengan dapur sederhana di rumahnya. Cuci muka, menggosok gigi, baru kemudian Glenn keluar setelah itu.

"Sarapan sekalian, Nak," ucap Bu Daniar, yang sudah duduk lebih dulu bersama Rindu—anak perempuannya. Bu Dinara mengisi piring kosong dengan nasi.

Glenn mengangguk, dan ikut bergabung di meja makan. "Gak sekolah, Rin?" tanyanya pada adik perempuan satu-satunya yang masih sekolah SMA. Glenn menerima piring yang disodorkan ibunya. "Makasih, Bu."

"Lagi libur, Bang." Rindu menjawab sambil mengunyah sarapannya.

"Perasaan, sekolahmu libur melulu," celetuk Glenn, meraih gelas air lalu meminumnya sampai habis. Dia mulai melahap nasi uduk buatan tangan ibunya yang rasanya tiada duanya. "Bu, ini emang selalu juara," pujinya yang tak berhenti menyendokkan nasi ke mulut.

Bu Daniar tersenyum, melihat anak laki-lakinya yang selalu lahap menyantap makanan buatannya. "Enak, sih, enak. Tapi, makanmu jangan kayak gitu. Nanti bisa keselek, loh," ujarnya mengingatkan, dia pun menyendokkan nasi ke mulut.

Glenn menelan makanannya, lalu menyahut, "Aku laper, Bu. Semalem pulang kerja langsung tidur gak sempet makan."

"Kamu gak bangunin ibu, sih. Kalo ibu dibangunin 'kan, bisa bikinin makanan buat kamu." Bu Daniar menambahkan ayam goreng ke piring Glenn yang isinya hampir habis.

"Gak. Ibu udah capek seharian urus rumah, masa harus dibangunin juga malem-malem," sahut Glenn.

"Abang kalo pulang malem-malem, sih. Besok-besok bangunin Rindu aja, Bang. Tapi, ya ... itu, gak gratis." Rindu terkikik, dan langsung mendapat teguran dari ibunya.

"Hussh! Kamu, tuh, apa-apa minta duit. Kasian abangmu yang capek kerja." Bu Daniar menatap Glenn yang juga sedang menatapnya. "Gak usah diturutin adikmu."

Glenn tersenyum, meletakkan sendok ke piring lalu mengusap lengan ibunya. "Gak pa-palah, Bu. Kalo gak minta sama Glenn, emang minta sama siapa lagi? Glenn selama ini kerja juga buat kalian. Buat kebutuhan Ibu dan Rindu," ujarnya, menatap sekilas sang adik yang mengacungkan jempol ke arahnya.

"Tuh, Bu. Abang aja gak masalah, kok, aku mintain duit melulu," timpal Rindu dan malah mendapat cubitan di lengannya. "Au! Sakit, Bu." Rindu mengaduh sambil mengusap-usap bekas cubitan di lengannya yang terasa memanas.

"Kamu jangan manjain adikmu ini. Nanti bisa jadi pemalas." Bu Daniar hanya mengingatkan Glenn yang memang sangat menyayangi adiknya. Dia menatap sendu putranya dan berkata lagi, "Kamu juga jangan sering pulang malem. Gak baik, Nak." Nasi di piring yang masih tersisa banyak lekas dia habiskan.

Semua nasihat sang ibu didengar baik oleh Glenn, meski dia tidak bisa berjanji akan pulang lebih awal. Pekerjaannyalah yang menuntutnya pulang malam. Glenn lantas mengeluarkan amplop dari kantong celana, menyodorkannya ke meja. "Bu, ini uang buat kebutuhan ibu sama Rindu. Itu udah ada lebihan buat cuci darah juga, Bu."

Bu Daniar melirik amplop tersebut, hatinya selalu terenyuh apabila Glenn memberinya uang. "Maafin ibu, ya, Nak. Ibu selama ini ngerepotin kamu."

"Ngerepotin apa, sih, Bu? Ini udah jadi tanggung jawab Glenn. Cuma Ibu sama Rindu yang Glenn punya." Glenn menggenggam tangan Bu Dinara yang ukurannya lebih kecil sejak sakit-sakitan. "Semoga Ibu bisa cepet sehat kayak dulu."

"Ameen," sahut Bu Daniar. "ya udah, lanjut makan. Nanti keburu siang."

***

Glenn memarkir motor yang baru dibelinya secara kredit satu tahun lalu tepat di halaman rumah yang sering dia datangi. Terpaksa melakukan skenario ini selama dua tahun terakhir agar tidak membuat ibunya bersedih.

Sang empunya rumah adalah teman dekat Glenn sejak di bangku SMA. Dan sekarang keduanya juga menjalani profesi yang sama. Pintu rumah yang tak pernah dikunci, memudahkan Glenn untuk masuk tanpa membangunkan pemiliknya yang masih mendengkur di atas kasur.

"Buset, nih, orang! Bangun, woi! Udah siang." Glenn meneriaki temannya yang tidur dalam keadaan setengah telanjang.

Teman Glenn jelas terganggu dengan teriakan itu, sampai-sampai matanya langsung terbuka. Pemuda seumuran Glenn itu berdecak keras. "Berisik lu! Kebiasaan banget!" omelnya lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan kembali mendengkur.

Glenn tertawa, mengambil bantal lalu melemparnya ke temannya. Dia melepaskan jaketnya, kemudian menyampirkanya di tepi kasur. "Dik," panggil Glenn.

Pemuda yang terpaksa terbangun itu lantas menyahut, "Apa?" Tetapi belum membuka selimutnya.

"Ntar malem kayaknya gue gak ke kelab dulu, deh," ujar Glenn, yang menduduki satu-satunya kursi yang ada di kamar Dika.

"Kenapa?" Dika baru membuka selimutnya, lalu menatap sahabatnya yang terantuk lesu di kursi. "Nyokap lu udah tau kerjaan lu?" Dika hanya menebaknya.

Glenn menggeleng. "Jangan sampe tau sebelum dia sembuh. Kalo bisa, ya, minimal gue udah ada cadangan kerjaan lain. Jadi, pas nyokap tau, gue bisa ngandelin kerjaan baru," cicit Glenn, menengadahkan kepala, menatap langit-langit kamar Dika yang warna catnya baru diganti sebulan yang lalu.

Pikiran Glenn menerawang jauh. Membayangkan hidupnya yang selama ini penuh kebohongan. Berbohong demi kebaikan sang ibu apa itu salah? Berbohong demi bisa mengisi perut apa itu juga bisa dikatakan hal yang benar?

Seandainya saja Glenn memiliki pilihan—pastinya dia tidak ingin membohongi Daniar—ibunya. Perihal pekerjaannya serta kuliahnya. CK!

"Terus, elu kapan mau nerusin kuliah?" tanya Dika, lalu bangkit dan bersandar pada kepala ranjang. "Nyokap lu emang gak nanya?"

"Nyokap gue nanyalah. Gimana kuliah gue. Kapan lulusnya." Glenn membayangkan wajah sang ibu yang selalu bersemangat ketika bertanya mengenai kuliahnya. Padahal, pada kenyataannya, Glenn sudah tidak kuliah sejak dua tahun terakhir.

Kondisi Dika memang bisa dikatakan jauh lebih beruntung dibandingkan kondisi Glenn. "Kuliah lagi aja. Kasian nyokap lu yang mikir kalo anaknya masih kuliah," sarannya dan Glenn sontak menggeleng. "Kenapa gak mau?" Kening Dika mengerut.

"Rindu bentar lagi juga mau lulus. Dia udah bilang sama gue, mau kuliah jurusan sastra." Glenn menegakkan kepala, mengusap wajah yang kata para pelanggannya sangat tampan berulang-ulang. "Gue mesti kerja ekstra. Biaya kuliah sastra gak sedikit."

Dika termangu, menatap Glenn dengan prihatin. Mereka memang masih muda tetapi sudah berjuang demi menyambung hidup dan rela menjalani profesi berlendir. Persetan dengan ungkapan tersebut. Toh, mereka tidak akan kenyang jika hanya mendengarkan ocehan orang-orang yang bisanya melihat kekurangan orang lain. Menghujat dan menyudutkan.

Pada kenyataannya, hidup itu memang butuh perjuangan agar bisa tetap bertahan di tengah-tengah gempuran. Selagi kita tidak merugikan orang, kenapa mesti minder?

"Elu bisa nerima pelanggan berapa dalam semalem?" Dika hanya sekadar ingin tahu.

"Hmm ... berapa, ya? Tergantung stamina juga, sih." Glenn tergelak. "Maksimal tigalah. Itu pun kalo Tantenya royal gue paling betah. Katanya, sejam lima ratus ribu terlalu murah. Gak sebanding sama cara pelayanan gue yang udah pro." Glenn menyilangkan kaki, dan mengambil ponsel dari kantong celana jeans gelapnya.

"Ya tinggal lu naikin lagi aja. Ngomong sama Mami Kumala," usul Dika.

Glenn membaca isi pesan dari nama perempuan yang baru saja disebut Dika—Mami Kumala. "Orangnya nge-chat gue."

"Udah dapet bokingan aja lu." Dika beranjak dari kasur, melangkah mendekati Glenn dan berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. "Di hotel mana?"

"Hotel Horison. Tapi gue disuruh ke kelab dulu jam tujuh," kata Glenn, memasukkan ponselnya lagi ke kantong celana setelah membalas pesan dari Mami Kumala.

"Gaslah! Elu ngomong sekalian sama Mami." Dika menepuk-nepuk pundak Glenn.

"Gue pikirin lagi, deh."

_

bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Tante Karin~

    "Tante?" Glenn seketika berdiri dari kursi, menelan ludah, lalu memerhatikan sekeliling dengan raut cemas. Bola matanya berpendar gelisah—memastikan tidak ada yang menyadari jika wanita dewasa di hadapannya mengenali. Misya pun ikut berdiri. Tersirat kekhwatiran di mata bulatnya. "Dia siapa, Glenn? Kamu kenal?" tanyanya, nyaris berbisik sangat lirih. Glenn menoleh ke arah Misya, lalu berbisik, "Dia mantan pelangganku. Namanya Tante Karin." Bola mata Misya melotot mendengarnya. Kaget sudah pasti, tetapi ketakutan lebih mendominasi perasaannya detik ini. Bagaimana bisa mendadak ada mantan pelanggannya Glenn? 'Duh... Gimana, nih?' Misya membatin bingung. "Glenn, kamu kenapa ada di sini?" Wanita bernama Karin itu bertanya, membuat perhatian Glenn teralihkan dengan cepat. Otak Glenn berpikir keras—mencari cara agar identitas aslinya tidak terbongkar. Bisa bahaya! Demi menjaga rahasia serta identitas, pemuda itu pun terpaksa menghampiri Karin. "Ikut aku, Tan," ajak G

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Tak sengaja bertemu~

    Siang ini di toko Misya bakery benar-benar diserbu oleh pengunjung karena kedatangan seorang pemuda tinggi, putih, murah senyum, dan ramah. Pengunjung yang didominasi oleh para betina itu berbondong-bondong masuk ke toko untuk membeli roti sekaligus ingin melihat sosok yang kemarin sempat datang, dan menarik perhatian. Tak disangka, ternyata pemuda tampan yang sempat membuat heboh, rupanya kembali datang dan kali ini turut melayani pembeli. Semua mata para betina-betina yang ada di toko tertuju pada Glenn, yang sedang membantu di bagian kasir. Mereka tak berhenti membicarakan Glenn yang katanya memiliki kegantengan paripurna. Glenn sendiri sebenarnya sadar jika kedatangannya di toko ini menjadi pusat perhatian para pengunjung. Namun, sebisa mungkin dia profesional, membantu Misya yang lumayan keteteran dengan pembeli. Pengalamannya yang sempat menjadi kasir di sebuah minimarket rupanya sangat berguna. Pemuda yang siang itu mengenakan kemeja warna hitam begitu cekatan menggunakan

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Tawaran yang bikin Misya syok~

    "Aku, sih sebenernya juga khawatir. Terutama sama reaksi ibuku kalo semisal dia tau kerjaanku," ujar Glenn, bicara jujur apa adanya. Misya makin prihatin dan salut dengan usaha Glenn agar bisa membiayai pengobatan ibunya serta sekolah adiknya. "Siapa sih, yang mau kerja kayak gini? Enggak ada 'kan? Kalo gak karena terpaksa dan tuntutan biaya hidup, aku juga gak akan pernah mau terjun ke dunia kelam ini," lanjut Glenn dengan mata berkaca-kaca dan raut sedih. "Aku sampe bela-belain bohong ke ibu kalo aku dapet kerja di luar kota. Itu semua demi masa depan kami yang cuma dari kalangan kelas bawah." "Enggak semua hal buruk dipandang buruk. Gak semua hal baik dianggap baik. Semuanya sama rata. Termasuk hidup yang sekarang ini kamu jalanin, Glenn. Apa yang kamu lakuin memang salah, tapi itu semua ada alasan yang bisa diterima dengan logika. Kamu memilih jalan ini bukan karena maumu tapi karena Tuhan percaya kalo kamu bisa melewati jalan itu," ujar Misya sambil menyentuh pundak Glenn k

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Obrolan~

    Bola mata Salim hampir loncat dari rongganya, saat mendengar Gunawan menceritakan tentang pacar baru Misya. Gunawan juga menyebutkan secara detail fisik Glenn beserta tanda lahir yang tak sengaja dilihatnya. "Kamu serius, Gun?" Salim masih kurang percaya dengan pemaparan Gunawan soal Glenn. Sebab, menurutnya itu terdengar sangat tidak masuk akal. Mana ada kebetulan semacam itu, pikirnya. "Aku serius, Lim. Makanya aku sampe ga bisa tidur gara-gara mikirin itu," sahut Gunawan, lalu meraup kasar wajahnya yang kembali lesu. "Seandainya aja Leon masih hidup, mungkin sekarang dia serumuran Glenn." Salim menarik panjang napasnya, mendengar Gunawan yang berandai-andai hal yang mustahil. "Kamu gak usah terlalu berharap dan berandai-andai kayak gitu, Gun. Farhan udah tenang di sana, Leon juga," sahutnya yang tak ingin ikut larut dalam kenangan yang begitu menyesakkan dada. Perkataan Salim ada benarnya. Tak mungkin orang yang sudah meninggal bisa bangkit lagi dari kuburnya. Akan tetap

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Kegalauan Gunawan~

    Video berdurasi kurang lebih dari lima menit itu cukup menjawab rasa penasaran Glenn yang sejak tadi mengusik. Ternyata video ini yang dimaksud oleh Gunawan. Dalam video tersebut mempertontonkan Misya yang sedang dimaki-maki bahkan disiram air oleh wanita hamil. Melihat perlakuan tersebut membuat hati Glenn merasa miris. "Gak mungkin Misya kayak gitu." Glenn tidak memercayai semua yang dituduhkan kepada Misya. Merebut suami orang? Lucu sekali kedengarannya. Bahkan dengan kecantikan paripurna seperti itu, Misya bisa memacari pria manapun yang dia inginkan. Bukan malah menggoda suami orang yang istrinya sedang hamil. Glenn berdecak berkali-kali saat melihat perempuan yang mengaku istri pacarnya Misya itu, terus saja nyerocos mirip petasan. "Gak ngotak nih perempuan satu!" Ada rasa marah, sedih, dan iba ketika melihat Misya dituduh demikian. Seandainya saat itu dia benar-benar ada di tempat kejadian. Mungkin dia akan membela Misya. "Kenapa gue baru tau videonya, sih?"

  • Jerat Hasrat Berondong Kesayangan    Video viral!

    "Nak Glenn..." Gunawan menunggu Glenn menjawab pertanyaan mengenai video putrinya yang sempat viral beberapa hari yang lalu. Namun, pemuda itu malah terbengong-bengong mirip orang yang kebingungan. Misya berusaha memikirkan cara supaya papinya tidak lagi mendesak Glenn, yang tak tahu menahu soal videonya. 'Duh... gimana, nih?' Sudut mata perempuan itu melirik Glenn yang bungkam. Tidak ada cara lain untuk mengalihkan perhatian papinya. Terpaksa dia pun yang angkat bicara, "Papi, bisa gak, enggak bahas video itu lagi? Misya malu tau, Pi." Bibir bawahnya mencebik—kesal apabila mengingat kejadian paling memalukan di hidupnya. Perhatian Gunawan spontan teralihkan pada putrinya yang terlihat sensitif. Benar juga. Harusnya dia tidak perlu menanyakan hal memalukan itu lagi. Terlebih pada pria yang sebentar lagi akan menjadi suami putrinya. "Maaf. Papi gak ada maksud apa-apa," ucap Gunawan, yang terlihat menyesal. Sementara Glenn terlihat bernapas lega, karena Misya sudah memba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status