LOGINBab 7
Netra mereka bertemu kali ini Kinan dengan berani menatap manik hitam lekat yang berada tepat di atas tubuhnya. Terpancar jelas kesedihan di mata Kinanti tetapi Angga tak peduli, egonya terlalu tinggi untuk merasakan kesedihan gadis ini. Cairan bening menetes di ujung kelopak mata Kinan. Jemari lelaki yang sedang di penuhi oleh rasa cemburu ini mengusap lembut tetesan bening, hati yang tadi begitu berkobar sedikit meredup. Tetiba muncul rasa kasih di sana. “Tenang lah, aku akan melakukannya dengan baik, bukankah kamu sudah sering melakukannya?” Kinan mendorong dada Angga keras, tapi tetap saja tak membuat lelaki ini bergeming. Jelas sekali terpancar kemarahan di netra Kinan. Tetapi Angga hanya tersenyum miring. Lelaki ini mendekatkan wajah kembali mencumbui gadis di bawahnya. “Tadi aku bertemu, Bram.” Kinanti membeku, dadanya merasa di hantam Godam besar. “Tapi aku belum pernah melakukan apapun dengan Bram. Oke, kalau kamu memang tak percaya, maka silahkan membuktikan, aku siap.” Tak ada lagi perlawanan dari tangan Kinanti, gadis ini diam. Namun, pembelaan Kinan membuat Angga menarik diri. Netranya menatap gadis yang terlihat menyedihkan ini, sangsi. Keluar seriangaian tipis dari bibir lelaki ini. “Apakah kamu memang sudah mempersiapkan ini semua?” “Mempersiapkan apa?” Netra Kinan membelalak menatap Angga. Dia tak mengerti apa maksud Angga. Lelaki ini mendengus dia tau sekali seperti apa wanita-wanita di luar sana yang rela pergi melakukan operasi selaput dara untuk menjebak lelaki. Angga tak menghiraukan perkataan Kinanti, dia keluar dengan membanting pintu. Kinanti menangis meratapi nasibnya. Setelah menangis dia membangunkan diri menuju kamar mandi. “Ya Allah, kenapa Angga mau nolong, dan kenapa setelah menolong dia jahat begini. Salah aku apa ke kamu Angga!!” Kinanti merintih di dalam kamar mandi. * Angin sepoy-sepoy, memainkan rambut yang menjuntai menutupi sebagian wajah Kinanti. Gadis ini menatap sang Surya yang mulai tenggelam di ufuk barat. Kinanti menarik nafas berat. Tanpa dia sadari lelaki berkulit eksotis ini berdiri di belakang gadis ini. “Setelah magrib aku mengajakmu menemui keluargaku , bersiaplah!!” perintah Angga. Kinan sedikit terjengkit. Dia tak menyadari Angga ada di balik punggungnya. Sejak kapan? gadis ini menengok ke belakang, tetapi enggan menatap netra lelaki ini, dia hanya mengangguk lemah. Tanpa berkata lagi lelaki maskulin ini pergi meninggalkan Kinanti, Angga merasa terenyuh melihat kelopak mata Kinanti yang membengkak, mungkin gadis ini terlalu banyak menangis tadi. Tapi egonya lebih tinggi, rasa cemburunya terhadap Kinanti lebih dominan. Tapi cemburu untuk apa? Bukankah mereka hanya berteman selama ini? Bahkan Angga tak tau apa perasaan Kinanti saat ini, Kinanti mau di ajak menikah pun karna kepepet di kejar hutang. Lelaki ini berjalan tergesa masuk ke ruang gim lalu melampiaskan kemarahan pada dirinya sendiri dengan memukuli samsak tinju dengan membabi buta. Nafasnya tengah dadanya turun naik, akhirnya tubuhnya luruh di lantai, dia menangis. “Non, kami di suruh membantu merias Anda." Dua orang pelayan masuk ke dalam kamar Kinanti dengan membawakan gaun malam. “Ini makan buah dulu, Non. Khawatir nanti Non keburu lapar. Karna makan siang tadi nggak di makan.” “Nggak usah Mbak, saya nggak laper.” “T-tapi, Pak Angga pesan buah ini harus di makan habis.” Wajah Ningsih penuh permohonan. Kinan mengangguk, memakan perlahan buah di piring. Lalu meminum jus alpukat kesukaannya. Bahkan Angga masih ingat buah dan minuman yang di sukainya. Dada Kinanti terasa sesak, netranya berembun. Isi kepalanya berputar akan seperti apa pernikahannya kedepan. “Kenapa, Non. Kok nangis? Terharu ya? Pak Angga lelaki baik Non. Nggak pernah bawa perempuan, perempuan pertama yang di bawa ke sini ternyata istrinya.” Ningsih tersenyum. Dengan terpaksa Kinan tersenyum. “Suka jahat nggak Pak Angga, Mbak?” “Nggak, makan pun nggak pernah rewel. Seringnya palah pulang bawa batagor, katanya beli di kantin kampusnya.” Degh. Lagi-lagi dada Kinanti di hantam palu besar. Dulu mereka memang lebih sering makan batagor di kantin kampus. Batagor memang makanan kesukaan Kinanti. “Sudah buahnya, Mbak.” Kinanti menyerahkan piring ke tangan Ningsih, Tetiba nafsu makannya kembali lenyap. “ Ayo siap-siap nanti Pak Angga nungguin.” Dua orang ini cekatan merias Kinanti, menggunakan pakaian malam berwarna hitam, “Non, Pak Angga pesan juga, suruh pake hijab, sekarang Non tanggung jawabnya, beliau tak mau nanti kena hisab.” “Oh. Ya sudah.” Setelah selesai, tiga orang ini turun menggandeng Kinanti sedangkan Angga terlihat sedang menelpon memunggungi kedatangan mereka. Setelah selesai berbincang Angga membalikkan badan menatap wanita ayu di hadapannya. Netranya menatap lekat gadis yang terlihat sempurna di mata Angga. Gadis pujaannya selama ini, gadis yang selalu dia nantikan, gadis yang pernah memporak porandakan hidupnya. Kinanti mengulas senyum menawan, tetapi Angga masih dengan setelah dingin tak ada senyum atau sunggingan di bibir. “Ayo.” Lelaki ini berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di garasi. Enggan membuka pintu untuk gadis yang terlihat sempurna ini. Bibir Kinanti mengerucut. “Sombong.” Suara hati Kinanti. Gadis ini membuka pintu sendiri lalu duduk di sebelah Angga. Perlahan dan anggun. Angga melihat melalui ekor mata. Kamu memang sempurna, pikir Angga, hatinya bersorak bahagia akhirnya bisa mendapatkan Kinanti, tapi ruang hati yang lain berkata dia hanya gadis murahan. Akhirnya mobil yang di tumpangi sampai di halaman rumah yang lebih besar dari rumah yang di tempati Kiananti dua hari ini. Bibir Kinan sedikit terbuka. “Pak, kok aku nggak tau kalo kamu konglomerat?” kata-kata ini keluar begitu saja dari bibir Kinanti. Angga mengurungkan niat keluar dari mobil, menatap tak percaya pada gadis di seblahnya, jika mengatakan hal ini. Dia meraih dagu Kinanti, mendekatkan wajah. “Kalo kamu tau aku kaya raya apakah kamu tak akan menerima Bram sebagai kekasih kamu dulu dan menyerahkan dirimu padaku?”Mobil baru saja berhenti di pelataran rumah ketika ponsel Kinanti bergetar. Nama Angga muncul di layar. Dada Kinanti langsung mengencang—ia tahu cepat atau lambat Gerry pasti melapor. Kinanti menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Halo, Mas …” Kinanti menyapa. “Kamu lagi apa, Ki?” Suara Angga terdengar biasa saja, bahkan terdengar santai. Pertanyaannya ringan, tapi justru membuat Kinanti makin gugup.“A-aku baru sampai rumah,” jawab Kinanti sambil menggenggam ujung bajunya. “Tadi… habis dari rumah kakek.” “Hm.” Di sebrang sana terdengar suara keyboard mengetik, mungkin Angga masih bekerja di Jogja. “Ketemu Kayla? Ngobrol apa sama kakek?""Ketemu Kayla, dia di tinggal kak Celina ke Eropa, Mas." Kinanti duduk di depan televisi menyandarkan bahu. Dan obrolan mengalir membicarakan Celina dan Kayla, Kinanti merasa kasihan melihat Kayla di tinggal Celina."Ya sudah, kamu istirahat. Jangan
Pintu rumah milik Kinanti di buka perlahan oleh Gerry. Ia mendorong kursi roda Lisa masuk ke ruang tamu. Rumah yang dulunya sempat berantakan akibat ditinggalkan lama kini tampak bersih—lantai mengilap, bau segar, dan tertata rapi. Lisa meremas ujung selimut yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih lemah, sedikit gerakan pun membuatnya meringis. “Rumahnya sudah siap ditinggali,” kata Gerry lebih sopan. “Obat dan kebutuhan Anda sudah disiapkan.” Lisa mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak Gerry.” Gerry memeriksa tas, kemudian masuk sebentar ke dapur. Begitu ia menjauh, ponsel Lisa bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ternyata nomor Bram. [Kamu sudah sampai.] — Bram mengirim pesan. Lisa mengetik cepat: [Sudah.] - balas Lisa singkat. Masih khawatir karna Gerry masih berada di rumah ini. Gerry kembali membawa segelas air. Lalu duduk menatap Lisa. Mendapati tatapan Gerry Lisa kikuk. dia memutar kursi roda mengambil remote televisi lalu menyalakan benda segi empat itu. S
Kinanti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali dia menggigit jari kukunya. Hari ini Lisa di jadwalkan pulang dari rumah sakit, rasa hati Kinanti ingin menjemput Lisa tapi peringatan Angga membuat nyali Kinanti ciut, ia tak ingin melanggar apa yang tak di perbolehkan Angga, tapi hati lain merasa kasihan pada Lisa.“Mbak Ning, Lisa wa lagi nggak?” tanya Kinanti pada asisten kepercayaannya, semenjak Angga membatasi pertemuannya dengan Lisa, Kinanti meminjam ponsel Ningsih untuk berhubungan dengan Lisa.“Nggak, Non. Wa yang terakhir itu tadi, Non maaf kalau saya lancang, sebaiknya Non patuhi Pak Angga, saya lihat Non Lisa itu—““Lisa itu sodara saya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain saya.”“T-tapi –““Udah, saya yang nanggung kalo Angga marah. Ayo aku mau jemput Lisa.” Kinanti tak mau mendengarkan saran Ningsih.Ningsih membuang nafas, dia merasa Kinanti sudah terlalu jauh melanggar apa yang tidak di perbolehkan Angga. Tapi Ningsih tak bisa berbuat banyak, dia pun tak
Pagi ini Angga terlihat lebih tampan dari biasanya. Kinanti memasangkan dasi di leher jenjang Angga. Dengan terampil tangan Kinanti memasang tali simpul. Setelah selesai telapak tangannya menepuk dada Angga, bibirnya mengulas senyum bahagia.“Sudah sayang, makin tampan aja.” Tanpa aba-aba Kinanti mengecup bibir lelakinya.Belum juga membalikkan badan Angga sudah menarik pinggang yang sudah semakin berisi ini. “Tambah lagi, kok kilat.” “Ish, udah segitu aja. Malam nanti aku tambahin.”“Aku nanti langsung ke Jogja kamu lupa?” Angga semakin mengikis jarak. “Tapi kamu udah rapih, nanti minta lebih.” Suara Kinanti rendah. Sungguh gairahnya tak bisa ia kuasai. Setelah mengandung dia tak bisa dekat-dekat dengan Angga.Angga menghentak tubuh kinanti mengangkat bokong istrinya. Kaki kinanti melingkar di pinggang Angga. mata mereka saling menatap, lalu senyum terbit di bibir mereka. “Pegangan yang kuat aku gendong kamu ke bawah.” Lelaki ini keluar kamar lalu turun perlahan dengan dengan
“Ada apa? Kenapa kamu selalu curiga!!" Suara Angga terdengar tak suka selalu di tuduh. “Ini ada noda lipstik, Mas?” Hati Kinanti terbakar cemburu. Dulu dia memang tipe wanita pencemburu. Tetapi belakangan rasa cemburunya semakin berlebihan. Angga melepas kemejanya, melihat kerah yang di tunjuk kinanti, ingatannya kembali pada saat Celina memeluknya. “Oh ini?" Suara Angga melunak "Tak usah salah paham, Ki. Aku tak melakukan apapun. Aku hanya ngobrol biasa dengan Celina, aku tak mau dia salah jalan lagi pergi dengan lelaki tak tepat " Kinanti bergeming masih menatap dengan penuh tanda tanya. Angga mengulas senyum teduh, tau persis Kinanti masih menaruh curiga. “Kamu cemburu?” Wajah Kinanti memberengut. Kepalanya mengangguk. Melihat reaksi Kinanti Angga meletakkan telapak tangan di perut Kinanti. Mengelus-elus halus perut yang masih rata. Lalu mengecup pipi wanita ini. Kinanti mendorong tubuh Angga. Tetapi Angga mendekap tubuh Kinanti, walau berontak wanita ini tak dapat melonggar
Ruangan terasa hening. Angga menatap Celina intens, dia mengamati setiap gerakan yang dilakukan wanita cantik ini. “Aku tau ada yang kamu sembunyikan. Katakan apakah Niko sudah beristri?”Celina mencebik. “Aku bisa mengurus diriku sendiri? Tak usah selalu ikut campur.” “Apa ikut campur? Kamu pikir apa yang aku lakukan ikut campur? Aku melindungi kamu, Lin. Aku tak mau kamu terluka.”“Omong kosong, kamu tak sadar sudah melukaiku?” Celina memalingkan wajah.Kedua telapak tangan Angga mengepal, rahangnya mengetat. Perlahan Angga menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan, berusaha mengontrol emosinya. Dia sadar kemarin sempat melukai Celina. Angga bangun dari duduk berjongkok di hadapan Celina lalu menyentuh telapak tangan wanita cantik ini. Bola mata mereka saling menatap. “Kalau terjadi apa-apa langsung hubungi aku.”Ada rasa nyeri di hati Celina saat iris mereka bertemu, ada sedikit penyesalan kenapa dia tak memperjuangkan Angga, dia selalu mengikuti egonya, genggaman tangan le







