Share

Mengadu

Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan. 

"Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu. 

Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya.

"Kenapa Jason?" 

"Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain."

"Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya."

"Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini."

"Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."

Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersabar dengan sikap Jason yang akhir-akhir ini dingin dan hambar padanya, tentu saja itu hal yang sulit untuk dia lakukan. "Ma, tolong bilang Jason jangan nyuekin aku," rengeknya. 

"Iya, Tam. Pasti mama bilang nanti." Tamara tersenyum senang. Biasanya memang selalu seperti itu. Jika ada sikap Jason yang kurang berkenan di hatinya, Tamara akan melaporkannya pada Santi, dan keesokan harinya, sikap Jason akan lebih baik. Tunangannya itu memang sangat menurut dengan ibunya. 

Tamara sangat mencintai Jason dan dia tidak bisa membayangkan jika dia kehilangan pria itu. Mungkin dia akan mati. Baginya Jason adalah segala-galanya. 

"Mungkin sudah waktunya membicarakan lebih serius tentang pernikahan kalian." Ucapan Santi membuat Tamara tersenyum lebar. Ini yang selalu dinanti-nantikan. Selama ini dia menunggu Jason memutuskan tanggal pernikahan mereka, tapi sepertinya belum ada tanda-tanda mereka akan menikah dalam waktu dekat. 

"Beneran, Ma?" 

"Iya, Tam. Kalian kan sudah cukup lama tunangan. Untuk apa ditunda-tunda terus. Mama akan bicara serius mengenai hal ini dengan Jason."

"Makasih, Ma," ucap Tamara seraya memeluk calon mertuanya itu gembira. Tidak sabar rasanya dia menjadi Nyonya Wirabraja. Tidak sabar rasanya dia memiliki Jason seutuhnya. 

***

Siang itu Nila disibukkan dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Belum lagi revisi di sana-sini berkas yang dia buat dan bosnya yang perfeksionis itu, Jason, tidak puas dengan hasil kerjanya. Padahal Nila sudah sangat teliti dalam mengerjakannya. Hanya kesalahan kecil yang hampir tidak terlihat saja, Jason menyuruhnya untuk merevisi seluruh berkas. Memang gila bosnya itu. 

"Kamu bisa kerja dengan becus atau tidak? Begini saja tidak bisa. Kamu digaji untuk bekerja dengan profesional, bukan untuk belajar. Ini kantor, bukan kampus." Itu omelan yang Nila dapat dari Jason beberapa saat lalu. Rasanya mengerikan sekali melihat sorot mata tajam pria itu. Meskipun tatapan itu sedikit mengingatkannya pada seorang pria empat tahun lalu. Sejujurnya Nila tidak yakin karena malam itu, empat tahun silam, dia mabuk. Entahlah, dia tidak ingin mengingat hal memalukan itu lagi, meskipun kekonyolannya dulu telah dibayar dengan kehadiran Haiden yang melengkapi hidupnya. 

"Nila, kamu bisa bikinin kopi buat Pak Jason, ya? Aku ada urusan mendadak." Bu Yolanda muncul dari balik pintu, kemudian menghilang lagi. Sepertinya, sang atasan sedang terburu-buru. "Jangan lama, ya ... ditunggu sama Pak Jason," perintahnya lagi, lalu menghilang lagi. 

Nila menghela napasnya pelan. Perasaan sudah beberapa hari ini dia yang membuatkan dan mengantar kopi ke ruangan Jason. Namun sebagai asisten yang baik, Nila pun segera melaksanakan perintah atasan. Ditinggalkannya komputer yang masih menyala dan bertolak menuju pantry. Namun, di sana dia dikejutkan oleh seorang pria yang sedang membuat kopi.

"Loh, Danu?" tanya Nila terkejut. Namun, Danu malah senyum-senyum dan tampak tidak terkejut sama sekali melihat Nila. "Kamu pindah kerja di sini? Kapan?" tanyanya keheranan. Setahu Nila, Danu bekerja mengurus swalayan milik keluarganya. 

"Kejutan," timpal Danu seraya mengaduk kopinya.

"Kenapa bisa? Kamu nggak kerja sama keluargamu lagi?" 

"Sebenarnya aku sudah lama ditawari posisi jadi kepala HRD di sini, cuma aku masih mikir-mikir. Papaku juga nggak keberatan aku kerja di perusahaan Tante Santi ini. Tapi, sejak aku tahu kamu bekerja di sini, aku terima tawaran Tante Santi."

Entah siapa yang disebut namanya itu oleh Danu, yang jelas ada satu pertanyaan yang ingin dia lontarkan pada pria itu. "Kamu masih kerabat dengan keluarga Wirabraja?" tanyanya.

"Ya, Tante Santi, mamanya Jason, kakaknya papaku."

"Oohh." Nila melongo. "Jadi Pak Jason sepupu kamu?" tanyanya.

"Ya, begitulah." Danu terkekeh. 

"Eh, aduh ... berarti kamu kepala HRD baru nih? Wah, aku manggilnya Pak Danu dong, ya?" 

Danu meloloskan tawanya. "Aneh banget manggil Pak. Aku maunya dipanggil sayang." 

Nila mencebik mendengar gurauan Danu. Gurauan yang serius tentu saja. Mengingat pria itu masih mengharapkannya. "Aduh, lupa. Aku harus bikin kopi buat Pak Jason. Nanti dia marah-marah kalau nunggu kelamaan. Ngeri," ucap Nila. 

"Jason galak, ya?" 

"Banget." Nila celingak-celinguk takut tiba-tiba ada bosnya itu mendengarkan gerutuannya. Bisa bahaya. Dia segera meracik kopi dan berpamitan pada Danu untuk mengantar pesanan kopi bos besar. 

Sampai di depan pintu ruangan Jason, Nila mengetuknya. Suara Jason terdengar mempersilahkannya masuk. 

"Saya pesan kopi dari berapa menit lalu kenapa baru di antar?" Baru saja melangkahkan kaki masuk, Nila sudah mendapat omelan dari pria itu. Padahal hari ini sudah beberapa kali dia kena semprot Jason, tapi masih saja Nila merasa badannya panas dingin. 

"M-maaf, Pak. Tadi ...." 

"Alasan apa lagi? Hari ini kamu memang sengaja membuat aku kesal, ya? Saya sudah pantau kamu dari awal, dan kerjaanmu banyak yang tidak becus. Ngerti?" 

Nila menghela napas dalam-dalam. Bosnya ini terlalu melebih-lebihkan. Perasaan dia tidak banyak melakukan kesalahan. Jason saja yang terlalu detail dan kesalahan kecil saja bisa jadi alasan untuknya memarahi bawahan. 

"Saya sudah berusaha bekerja sebaik mungkin, Pak. Maaf kalau belum sesuai dengan kriteria Bapak," timpal Nila. Sekali-kali menyindir pria itu kalau dia memang terlalu berlebihan. Suasana hati pria itu sepertinya sedang tidak baik, jadi dia butuh pelampiasan kekesalan. Tapi bukan berarti dia bisa semena-mena. 

"Kamu berani menyindir saya?" Jason menatap tajam ke arah Nila yang saat ini pun sedang menatap ke arahnya. Tatapan keduanya kini saling beradu untuk beberapa saat. Ini pertama kalinya Nila berani beradu pandang dengan pria angkuh itu. Sekilas, hanya sekilas saja, Nila melihat kilatan aneh dalam tatapan matanya. Sebuah tatapan yang tersusun dari beberapa rasa yang bercampur. Terkejut, penasaran dan rindu. Nila merasa dadanya berdebar sangat kencang. Tatapan mata Jason membuatnya terseret pada sebuah Deja Vu. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status