Share

Sebuah Petunjuk Baru

"Apa itu mamamu?" tanya Jason sambil menunjuk dari jauh seorang perempuan berambut pendek yang sedang berbicara dengan seorang petugas di pusat informasi. Meskipun hanya melihat punggungnya, anak itu bisa mengenali pakaian yang dikenakan sang ibu.

"Iya, Om. Itu mama," jawab anak itu senang. "Makasih, Om." Anak itu tiba-tiba memeluk Jason yang berjongkok di hadapannya. Pria itu terkejut mendapat pelukan hangat dari seorang anak yang bahkan baru pertama kali bertemu. Namun, entah kenapa dia merasakan gelenyar aneh di dalam dada. Rasanya dia seperti sudah begitu dekat dengan anak lelaki itu. Sementara Tamara menatap sinis pada dua pria berbeda generasi yang sedang berpelukan itu.

"Dadah, Om!" seru anak itu seraya berlari ke arah ibunya. Tepat saat perempuan di pusat informasi itu membalikkan badan, ponsel di saku kemeja Jason berdering. Pria itu pun memutar badan dan melangkah menjauh seraya menempelkan ponsel ke telinganya.

Sementara di pusat informasi, Nila menghambur memeluk Haiden yang entah dari mana datangnya. Perempuan itu sudah panik karena beberapa saat lalu anaknya tiba-tiba lepas dari pengawasannya. 

"Ini anak saya sudah ketemu, Bu. Terimakasih, ya," ucapnya sambil mengusap air mata, pada petugas pusat informasi. Nila menggendong Haiden dan melangkah keluar dari mal. 

"Mama nangis, ya?" Haiden memperhatikan wajah Nila yang sembab, saat keduanya sudah duduk di dalam taksi memuju ke rumah.

"Haiden nggak boleh bikin mama khawatir lagi, ya? Haiden nggak boleh jauh-jauh dari mama kalau sedang di tempat ramai."

"Maaf, Mama," ucap bocah laki-laki itu sambil menundukkan kepala. Ekspresi wajahnya tampak penuh sesal. Nila memeluk putra semata wayangnya itu dengan erat. Tidak bisa dia bayangkan kalau tadi Haiden benar-benar hilang. Dia pasti akan gila. 

Taksi berhenti di depan rumah mungil bercat putih dengan desain modern minimalis yang sudah dikontrak Nila selama dua tahun terakhir. Di halaman rumah terparkir mobil sedan warna hitam yang Nila kenali pemiliknya. Benar saja, di teras rumah, duduk seorang pria berkemeja merah marun yang tersenyum menyambut kedatangan mereka.

"Om Danu!" seru Haiden girang saat melihat pria yang sepertinya sudah kenal dekat dengan anak itu. Nila menyusul Haiden menghampiri pria yang dipanggil dengan nama Danu itu. 

"Hello, Haiden, Sayang." Danu mengangkat Haiden dan menggendongnya. "Kamu udah tambah berat aja nih," ucapnya membuat Haiden terkekeh. 

"Om bawa jajan, ya?" Haiden mengalihkan pandangannya pada bungkusan plastik putih dari sebuah swalayan yang tergeletak di atas meja.

"Ah, iya. Om bawa banyak jajan buat kamu." 

"Horee!" Haiden bersorak, membuat Danu gemas dan tidak tahan untuk menciumi bocah lelaki berpipi gembul itu. Nila tersenyum melihat interaksi pria itu dengan putranya. Danu jelas sangat menyayangi Haiden. Begitu pun sebaliknya. Mereka dekat dan Danu sangat ideal menjadi ayah Haiden, kalau saja hati Nila mau membuka hatinya untuk pria itu. Pria yang sudah satu tahun terakhir berusaha untuk mengambil hatinya. Namun, Nila hanya menganggap Danu sebatas teman. Dia tidak memiliki perasaan yang lebih pada pria itu. 

"Waktu kamu nulis pesan ke aku tadi pagi kalau Haiden sakit, sepulang kerja aku langsung mampir ke sini," ucap Danu membuyarkan lamunan Nila. Pria itu sudah tidak menggendong Haiden karena anak itu sudah berlari masuk ke dalam rumah dan menikmati camilan yang dibawa Danu sepertinya. 

"Iya, tapi udah sembuh, kok. Tadi aku titipin ke temanku karena Haiden nggak masuk sekolah hari ini. Ini malah tadi Haiden minta main ke mal, walaupun ada sedikit drama," terang Nila. 

'Kenapa?" 

"Tadi dia lepas dari pengawasanku. Tapi untungnya dia berhasil nemuin aku lagi di pusat informasi."

Danu mengulas senyumnya. "Anak pinter," pujinya. "Kamu kelihatan capek, La." 

"Semalam begadang nungguin Haiden yang demam. Dia rewel. Belum sempat tidur udah harus masuk kerja pagi."

"Ya udah, kamu istirahat dulu. Biar aku jagain Haiden."

"Nggak usah, Dan ... aku udah banyak ngerepotin." 

Danu menghela napas sambil menggeleng. "Nggak repot sama sekali. Udah sana kamu tidur dulu. Aku sama Haiden sampai kamu bangun."

Nila tersenyum tipis. Lihat betapa baiknya pria di hadapannya ini. Namun kenapa hatinya masih saja tertutup untuknya. Apa yang sedang dia tunggu. Siapa yang sedang dia harapkan. 

***

Ponsel di saku Jason bergetar dan pesan dari Roland yang masuk ke layar membuat sepasang matanya membulat. Orang kepercayaannya itu mengatakan kalau dia mungkin mendapatkan info tentang pencarian mereka selama ini. Namun, saat dia hendak berpamitan pada Tamara, perempuan itu menahannya. 

"Aku sudah buatkan kamu minum," rajuknya seraya bergelayut manja di bahu Jason.

"Ada urusan mendadak di kantor. Aku harus segera ke sana."

"Urusan mendadak apa? Sudah jam berapa ini, kenapa masih memikirkan pekerjaan?" 

"Aku tidak mengenal jam kerja, Tamara." 

"Kamu kan bos, serahkan saja urusanmu pada para bawahan."

"Tidak bisa. Aku harus ke kantor sekarang." Saat Jason hendak beranjak, tapi Tamara buru-buru naik ke pangkuannya. 

"Aku mau kita menghabiskan malam ini bersama, Sayang. Rasanya sudah lama sekali kita tidak melakukannya." Tamara tanpa malu-malu menyambar bibir Jason dan melumatnya. Pria itu berusaha menghindar, tapi Tamara mengejarnya. 

"Tam, please. Aku benar-benar harus pergi." Jason mendorong pelan bahu Tamara. Yang ada di benaknya hanya informasi dari Roland tentang gadis yang selama ini dia cari. Akhirnya, Jason berhasil melepaskan diri dari pelukan Tamara. Dia tidak peduli tunangannya itu marah atau mengamuk.

Mobil Jason meluncur ke sebuah cafe di mana Roland menunggunya. Anak buahnya itu duduk di sudut ruang cafe yang lengang. Tak sabar, dihampirinya Roland dan menagih info darinya. 

"Saya sudah menemukan toko yang menjual kalung ini, Pak Jason." Roland menyerahkan kalung berliontin hati berwarna biru pada Jason. 

"Oh ya? Terus?" 

"Ya, mereka memang benar pernah menjual kalung ini sekitar empat atau lima tahun lalu."

"Lalu?" desak Jason semakin tak sabar.

"Kata mereka, kalung itu dijual sepaket dengan cincin."

"Jadi, gadis itu pasti memiliki cincin dengan model yang sama." Jason tersenyum gembira. Kini pencariannya semakin mengerucut. Mungkin tak lama lagi dia akan menemukan gadis itu.

"Saya sedang meminta pemilik toko untuk mencari berkas apa pun tentang pembelian kalung berlian itu, Pak. Mereka akan segera mengabari kalau memang mereka masih menyimpannya."

"Bagus, Roland. Kamu sudah melakukan tugas dengan baik. Teruskan sampai gadis itu ketemu."

Ini adalah kabar terbaik untuk Jason. Meskipun kini ingatannya samar tentang wajah gadis itu secara detail, tapi dia berharap saat menemukannya, dia bisa mengenalinya. Yang tidak bisa dia lupakan adalah detail penyatuan mereka malam itu dengan penuh gairah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status