Jason Wirabraja tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya siang ini. Semua berkas yang harus dia tandatangani menumpuk begitu saja di atas meja tanpa berniat untuk menyentuhnya.
Pikirannya penuh dengan ingatan tentang malam itu bersama gadis yang dia bahkan tidak tahu namanya. Gadis yang membuatnya mabuk kepayang dengan gairah yang membara. Bahkan dengan tunangannya sendiri, Tamara, dia tidak pernah merasakan gairah yang begitu melambungkannya ke angkasa.
"Anda memanggil saya, Pak Jason?" Suara Roland, orang kepercayaannya, membuyarkan lamunan Jason.
"Apa sudah ada perkembangan?" tanya Jason penuh harap.
"Belum, Pak. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."
Jason menghela napas kasar. "Cari di tiap sudut kota. Cari di mana saja. Pokoknya gadis itu harus ketemu!" Dia berucap dengan kesal. "Aku tidak mau tahu. Dia harus ketemu!"
"Maaf, Pak Jason, ciri-ciri yang Anda sebutkan sangat umum tentang gambaran seorang gadis cantik."
"Aku tidak peduli bagaimana caranya! Kalau perlu, tunjukkan padaku semua gadis yang aku sebutkan ciri-cirinya."
Roland mengangguk patuh, kemudian berpamitan pada bosnya itu. Jason melempar kertas yang sempat dia ambil dari atas meja ke sembarang arah. Perasaannya kacau dan gadis itu lah yang membuatnya seperti ini.
Sebenarnya siapa gadis itu dan di mana dia berada sekarang?
Jason dikejutkan dengan pintu ruangannya yang dibuka dengan kasar. Tamara, tunangannya, datang dengan muka memerah. Sepertinya wanita itu sedang sangat kesal, dan objek kekesalan yang sedang dia rasakan adalah Jason.
"Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?" sinis Jason menyambut kedatangan sang tunangan.
"Kamu benar-benar bikin aku marah, Jason! Kenapa kamu tidak datang di acara ulang tahun temanku? Aku sudah bilang jauh-jauh hari untuk menyusulku ke tempat temanku, bukan?" sembur Tamara.
"Kamu tidak lihat pekerjaanku banyak sekali?" Jason menunjuk tumpukan berkas yang baru satu lembar saja dia sentuh, itu pun akhirnya dia lempar ke sembarang arah karena kesal pencarian Roland tidak membuahkan hasil.
"Aku tidak peduli, Jason! Kamu membuatku datang sendirian sementara teman-temanku yang lain membawa pasangan mereka masing-masing!"
Jason mengacak rambutnya kasar. Dia benar-benar sedang tidak ingin meladeni Tamara saat ini.
"Apa penting datang ke acara ulang tahun temanmu bersamaku?" sergah Jason. Tamara selalu saja begitu. Menuntutnya untuk ikut kegiatan yang tidak berguna bersama teman-teman sosialitanya.
"Kamu tunanganku. Tentu saja penting! Ini sudah keberapa kalinya kamu menghindar saat aku memintamu untuk menemaniku ke suatu tempat."
Jason hanya mengangkat kedua tangan menyerah. Dia tidak ingin melanjutkan perdebatan itu.
"Atau jangan-jangan pekerjaan hanya alasan kamu saja untuk tidak menemaniku?" tuduh Tamara. "Belakangan ini sikapmu aneh, Jason. Aku merasa kamu sedang menghindari aku. Apa kamu punya wanita lain?"
"Terserah kamu saja," jawab Jason tak acuh. Dia sudah sangat lelah menghadapi sifat Tamara yang sangat mengganggu. Semakin hari perempuan itu semakin cerewet saja dan mengatur hidup Jason. "Silahkan berasumsi apa saja semaumu. Aku tidak peduli!" seru Jason dengan nada suara yang cukup tinggi, membuat Tamara terkejut. Dia tidak pernah melihat tunangannya itu semarah ini.
Jason berdiri dan berjalan ke arah jendela lalu menatap keluar sembari berkacak pinggang. Tiba-tiba dia merasakan Tamara memeluk punggungnya dan melingkarkan kedua lengan di pinggangnya. "Aku cuma kesal karena kamu ingkar janji," ucapnya dengan suara lembut dan terkesan manja.
"Aku tidak pernah berjanji untuk menemanimu ke acara itu," sahut Jason dingin.
"Maaf aku sudah marah-marah. Aku cuma merasa kamu akhir-akhir ini tidak mengacuhkanku, Sayang. Sebenarnya aku tidak mau berpikiran buruk, aku hanya tidak mau kamu nakal di belakangku," ucapnya seraya mengerutkan pelukan.
"Aku masih banyak pekerjaan." Jason berusaha untuk melepaskan kaitan tangan Tamara di pinggang.
Namun, wanita itu menolak sambil merajuk. Dia menolak untuk melepaskan Jason. Lama kelamaan Tamara semakin berani. Dia menelusup ke dalam pelukan Jason dan menyentuhkan bibir ranumnya ke bibir Jason.
"Tamara, jangan begini." Jason menolak tawaran ciuman dari Tamara.
Pikirannya penuh dengan sosok cantik yang begitu liar malam itu. Setiap momen dengan gadis itu, Jason reguk dengan penuh hasrat. Bahkan Jason masih bisa merasakan sentuhan bibir gadis itu. Hingga bibir Tamara pun terasa hambar.
Sejujurnya perasaannya pada Tamara memang tidak pernah berlebih. Dia menerima wanita itu demi keinginan sang mama. Meskipun selama setahun ini dia mencoba untuk membuka hati, tapi tetap saja dia belum bisa menerima Tamara seutuhnya.
"Kamu menolakku?" Tamara tampak terkejut dengan sikap acuh tak acuh Jason.
"Bukan. Aku hanya sedang tidak ingin melakukannya, Tam." Jason berusaha menjelaskan. Dia tidak mau membuat Tamara kesal dan melapor pada Santi, mamanya. Karena Jason akan berakhir dengan omelan yang tak berkesudahan dari wanita yang telah melahirkannya itu.
"Kenapa kamu tidak mau menciumku? Kamu pasti punya perempuan lain, kan?" Tamara kembali menjadi kesal dan melancarkan tuduhannya.
"Jangan mulai, Tamara. Tuduhanmu lama-lama membuatku muak!" tunjuk Jason tepat di depan wajah Tamara.
"Oh, kamu muak denganku? Tunggu sampai aku lapor pada Mama Santi dan kamu akan terima akibatnya," ancamnya sembari berbalik badan hendak keluar dari ruangan Jason, tapi pria itu buru-buru mencegahnya.
Jason menahan lengan Tamara yang hendak melangkah pergi. Dia sedang tidak ingin ribut dengan sang mama. Wanita itu sangat tidak suka jika dia tahu Jason bersikap dingin pada Tamara, calon menantu kesayangannya.
Sementara Tamara merasa puas jika berhasil mengancam Jason. Dia adalah calon menantu keluarga Wirabraja dan mendapat dukungan penuh dari ibunya Jason. Pria itu tidak akan bisa berkutik kalau dia sudah menyebut nama ibunya.
"Aku minta maaf, Tamara. Tapi, pekerjaanku banyak sekali dan aku harus berkonsentrasi. Kita bisa menghabiskan waktu bersama nanti, oke?" bujuk Jason. Perempuan itu melunak kembali dan membiarkan Jason menyelesaikan pekerjaan kantornya, meskipun hatinya masih begitu gondok karena mendapat penolakan dari tunangannya itu.
"Benar kita menghabiskan waktu bersama nanti?" tuntut Tamara.
"Ya, sepulang kantor aku akan menjemputmu."
"Tidak perlu, Sayang. Aku akan menunggu di rumah kamu." Tamara bergelayut manja di pundak Jason.
"Kalau kamu seperti ini, gimana aku bisa menyelesaikan pekerjaan dan menghabiskan waktu denganmu nanti?" ucap Jason sembari melepaskan tangan Tamara yang melingkar di lehernya.
"Baiklah, aku tunggu kamu di rumah. Ingat, Sayang ... jangan ingkar janji." Jason mengangguk menyetujui, meskipun dalam hati dia merasa tidak bersemangat untuk menghabiskan waktu dengan tunangannya itu.
Sepeninggal Tamara, Jason kembali ke kursinya dan menyandarkan punggung di sana. Pelan dia merogoh saku jasnya dan mengambil sebuah kalung berliontin kecil berbentuk hati dan berwarna biru. Kalung milik gadis itu yang tertinggal di atas ranjang hotel bersama bercak-bercak merah di sana. Jason adalah pria pertama yang mengambil milik gadis itu yang paling berharga.
"Di mana kamu sebenarnya?"
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r