Share

CEO Galak

Empat tahun kemudian...

"Ayo, Haiden, Sayang, habiskan sarapanmu, lalu kita berangkat. Mama sepertinya akan telat ke kantor kalau kamu makan pelan sekali seperti itu." Nila mengawasi bocah lucu yang sedang bermain-main dengan makanan di piringnya. 

"Mama telat?" tanya Haiden dengan suara cadelnya. 

"Iya, Sayang. Mama bisa telat. Ini hari pertama mama masuk kerja di tempat kerja baru, Haiden." Nila memberi pengertian balita itu dengan suara lembut. Haiden mengangguk-angguk mengerti. Dia cepat menghabiskan sarapannya berupa sandwich telur mata sapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. 

"Anak pinter," puji Nila seraya mengelus pipi montok Haiden. Putranya yang baru berumur empat tahun itu memang tidak rewel sama sekali. Kenakalannya hanya sebatas kenakalan balita yang masih dalam tingkat wajar. Bahkan Haiden sepertinya sangat mengerti kalau Nila adalah orang tua tunggal yang mengurusnya sendirian dan harus pontang-panting bekerja. 

Beberapa minggu lalu, Nila terkena pengurangan karyawan di sebuah swalayan besar. Namun, kini dia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar yang cukup ternama di kota ini, sebagai asisten sekretaris. 

Alam semesta memang begitu baik padanya. Meskipun perjalanan hidupnya selama empat tahun ini tidaklah mudah, tetapi Nila mampu bertahan. Satu yang membuatnya tetap bersemangat adalah, dia memiliki Haiden yang penurut dan cerdas. 

Nila menuntun tangan Haiden masuk ke dalam gedung sekolah paud tempat putranya itu belajar. Di dalam gedung, dia memastikan Haiden sudah masuk kelas dan bergabung dengan teman-temannya. 

"Dadah, Mama!" 

Nila tersenyum melihat putra kecilnya itu. Ia lantas melirik jam dipergelangan tangan dan Nila terkejut saat jam menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Dia harus segera berangkat ke kantor barunya. Hari pertama sudah terlambat, itu akan menimbulkan kesan yang sangat buruk di depan pimpinannya. 

Ojek yang membawanya menuju menara Wirabraja Corp berhenti di depan gedung pencakar langit yang terlihat begitu angkuh. Nila berlarian memasuki gedung, menaiki lift yang akan membawanya ke lantai dua puluh di mana ruangannya berada. 

"Maaf, Bu ... saya telat, tadi saya mengantar anak saya dulu ke sekolah," ucapnya pada seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan wajah angker. Dia adalah atasan jajaran sekretaris yang adalah bosnya saat ini, Yolanda. 

"Kamu ini gimana? Ini hari pertama kamu bekerja, masa sudah telat?" ujar Yolanda geram. "Tadi Pak Presdir ngecek ke sini dan beliau tidak suka ada karyawan yang terlambat berangkat ke kantor. Kalau saya masih bisa menolerir, tapi kamu pasti akan kena semprot beliau."

Nila menelan saliva dengan susah payah. Celaka, pikirnya. Baru beberapa saat Yolanda menyelesaikan ucapannya, seorang pria bertubuh tegap berbalut setelan jas mahal masuk ke dalam ruangan itu. 

Sesaat, pandangan Nila dan pria yang dia yakin adalah presiden direktur itu bertemu. 

"Pak Jason," sapa Yolanda memutus adu pandang antara Nila dan si pria tampan. Nila buru-buru menundukkan kepala. Badannya terasa panas dingin, menunggu apa yang akan diucapkan oleh pria itu padanya. 

"Dia karyawan baru yang terlambat tadi?" tanya Jason dengan suara baritonnya yang dalam. 

"Benar, Pak. Ini Nila, asisten saya yang baru." 

Jason kembali melempar pandang pada Nila yang masih menundukkan kepala. "Kamu hari pertama sudah terlambat. Benar-benar kesan yang buruk di mata saya."

"M-maafkan saya, Pak. Tadi, saya mengantar anak saya dulu ke sekolah," timpal Nila terbata.

"Kamu pikir perusahaan ini yang harus mengerti kamu, begitu?" 

Ucapan Jason begitu menohok jantung Nila. CEO yang sangat galak, pikirnya. 

"Saya tidak suka ada karyawan yang meremehkan aturan jam masuk kerja. Saya orang yang disiplin dan semua karyawan saya pantau, termasuk office boy sekali pun. Saya beri kesempatan buat kamu untuk membuktikan kinerjamu. Tapi, kalau saya tahu kamu terlambat lagi, maka kamu pasti akan menyesal." 

Dada Nila berdebar kencang. Aturan perusahaan ini memang tidak main-main. Nilai mengangguk mengiyakan ucapan Jason yang terdengar seperti ancaman. 

***

"Sudah empat tahun, tapi masih belum ketemu juga..." 

Jason menghela napas putus asa. Ia masih belum menemukan keberadaan gadis yang dia cari. Bahkan Roland tanpa henti melakukan penyelidikan, tapi tetap saja hasilnya nihil. Gadis itu benar-benar hilang ditelan bumi. Ingatannya tentang wajah gadis itu pun mulai memudar. 

Sementara sang mama, Santi, selalu mendesaknya untuk segera menikahi Tamara. Dia selalu menghindar saat wanita itu membuka obrolan tentang pernikahan. Jason tidak tahu apakah dia akan melanjutkan hubungannya dengan Tamara hingga ke jenjang pernikahan, atau menyudahinya saja. Semakin hari, hatinya semakin tidak bisa menerima perempuan itu. 

"Mau sampai kapan kamu dengan Tamara hanya berstatus sebagai tunangan, Jason? Apa yang kamu tunggu sebenarnya?" tanya Santi membuka obrolan malam itu saat makan malam. 

Mendengar ucapan Santi, selera makan Jason seketika hilang. Obrolan ini yang selalu dia hindari dengan seribu alasan yang dia ciptakan. Namun malam ini dia merasa tidak menemukan alasan lagi. 

"Maaf, Ma. Sepertinya aku harus berterus terang pada mama. Aku tidak yakin akan menikahi Tamara." 

"Apa katamu?" Sepasang mata Santi membulat. Tentu saja dia terkejut mendengar ucapan Jason. "Kamu jangan mempermalukan mama di depan orang tua Tamara!"

"Aku benar-benar harus berpikir ulang tentang hubunganku dengan Tamara, Ma." 

"Tidak bisa. Pernikahanmu dengan Tamara harus dilaksanakan sesegera mungkin. Mama sudah cukup bersabar!" Saking marahnya, Santi sampai menggebrak meja. "Empat tahun bukan waktu yang sedikit, Jason. Orang tua Tamara sudah menunggu-nunggu kalian meresmikan hubungan. Pokoknya mama tidak mau dengar lagi alasan kamu. Kamu dan Tamara harus segera menikah dalam waktu dekat ini. Mama tidak ingin dibantah lagi!" Santi meninggalkan ruang makan dengan hati kesal. 

Jason memijit keningnya yang tiba-tiba terasa pening. Sang mama sudah bertitah, dan sepertinya dia tidak bisa berkutik lagi. 

Dia membenarkan ucapan ibunya. Apa yang dia tunggu sehingga menunda pernikahannya dengan Tamara hingga empat tahun lamanya? Tamara pun sudah berkali-kali menuntut diri Jason agar segera menikahinya. 

"Apa tidak ada cara lain untuk menemukan gadis itu?" Jason memanggil Roland ke kantornya siang itu. 

"Sulit sekali, Bos. Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami." 

Jason menghela napasnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan untuk menemukan gadis itu. Atau mungkin dia tidak ditakdirkan untuk kembali bertemu dengannya. 

"Apa aku harus berhenti mencarinya?" tanya Jason meminta pendapat sang kaki tangan. 

"Mungkin sebaiknya begitu. Mungkin suatu hari nanti gadis itu akan datang dengan sendirinya, kita tidak pernah tahu kehendak semesta, Bos." Ucapan bijaksana Roland seperti memberi secercah harapan dalam hati Jason. 

Mungkin saja gadis itu akan datang sendiri padanya, jika memang mereka berjodoh untuk saling bertemu kembali. 

Dia berharap, ketika saat itu tiba, dia belum terikat pernikahan dengan Tamara... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status