Share

CEO Galak

Author: Planet Zamzan
last update Last Updated: 2023-09-28 07:16:53

Empat tahun kemudian...

"Ayo, Haiden, Sayang, habiskan sarapanmu, lalu kita berangkat. Mama sepertinya akan telat ke kantor kalau kamu makan pelan sekali seperti itu." Nila mengawasi bocah lucu yang sedang bermain-main dengan makanan di piringnya. 

"Mama telat?" tanya Haiden dengan suara cadelnya. 

"Iya, Sayang. Mama bisa telat. Ini hari pertama mama masuk kerja di tempat kerja baru, Haiden." Nila memberi pengertian balita itu dengan suara lembut. Haiden mengangguk-angguk mengerti. Dia cepat menghabiskan sarapannya berupa sandwich telur mata sapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. 

"Anak pinter," puji Nila seraya mengelus pipi montok Haiden. Putranya yang baru berumur empat tahun itu memang tidak rewel sama sekali. Kenakalannya hanya sebatas kenakalan balita yang masih dalam tingkat wajar. Bahkan Haiden sepertinya sangat mengerti kalau Nila adalah orang tua tunggal yang mengurusnya sendirian dan harus pontang-panting bekerja. 

Beberapa minggu lalu, Nila terkena pengurangan karyawan di sebuah swalayan besar. Namun, kini dia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar yang cukup ternama di kota ini, sebagai asisten sekretaris. 

Alam semesta memang begitu baik padanya. Meskipun perjalanan hidupnya selama empat tahun ini tidaklah mudah, tetapi Nila mampu bertahan. Satu yang membuatnya tetap bersemangat adalah, dia memiliki Haiden yang penurut dan cerdas. 

Nila menuntun tangan Haiden masuk ke dalam gedung sekolah paud tempat putranya itu belajar. Di dalam gedung, dia memastikan Haiden sudah masuk kelas dan bergabung dengan teman-temannya. 

"Dadah, Mama!" 

Nila tersenyum melihat putra kecilnya itu. Ia lantas melirik jam dipergelangan tangan dan Nila terkejut saat jam menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Dia harus segera berangkat ke kantor barunya. Hari pertama sudah terlambat, itu akan menimbulkan kesan yang sangat buruk di depan pimpinannya. 

Ojek yang membawanya menuju menara Wirabraja Corp berhenti di depan gedung pencakar langit yang terlihat begitu angkuh. Nila berlarian memasuki gedung, menaiki lift yang akan membawanya ke lantai dua puluh di mana ruangannya berada. 

"Maaf, Bu ... saya telat, tadi saya mengantar anak saya dulu ke sekolah," ucapnya pada seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan wajah angker. Dia adalah atasan jajaran sekretaris yang adalah bosnya saat ini, Yolanda. 

"Kamu ini gimana? Ini hari pertama kamu bekerja, masa sudah telat?" ujar Yolanda geram. "Tadi Pak Presdir ngecek ke sini dan beliau tidak suka ada karyawan yang terlambat berangkat ke kantor. Kalau saya masih bisa menolerir, tapi kamu pasti akan kena semprot beliau."

Nila menelan saliva dengan susah payah. Celaka, pikirnya. Baru beberapa saat Yolanda menyelesaikan ucapannya, seorang pria bertubuh tegap berbalut setelan jas mahal masuk ke dalam ruangan itu. 

Sesaat, pandangan Nila dan pria yang dia yakin adalah presiden direktur itu bertemu. 

"Pak Jason," sapa Yolanda memutus adu pandang antara Nila dan si pria tampan. Nila buru-buru menundukkan kepala. Badannya terasa panas dingin, menunggu apa yang akan diucapkan oleh pria itu padanya. 

"Dia karyawan baru yang terlambat tadi?" tanya Jason dengan suara baritonnya yang dalam. 

"Benar, Pak. Ini Nila, asisten saya yang baru." 

Jason kembali melempar pandang pada Nila yang masih menundukkan kepala. "Kamu hari pertama sudah terlambat. Benar-benar kesan yang buruk di mata saya."

"M-maafkan saya, Pak. Tadi, saya mengantar anak saya dulu ke sekolah," timpal Nila terbata.

"Kamu pikir perusahaan ini yang harus mengerti kamu, begitu?" 

Ucapan Jason begitu menohok jantung Nila. CEO yang sangat galak, pikirnya. 

"Saya tidak suka ada karyawan yang meremehkan aturan jam masuk kerja. Saya orang yang disiplin dan semua karyawan saya pantau, termasuk office boy sekali pun. Saya beri kesempatan buat kamu untuk membuktikan kinerjamu. Tapi, kalau saya tahu kamu terlambat lagi, maka kamu pasti akan menyesal." 

Dada Nila berdebar kencang. Aturan perusahaan ini memang tidak main-main. Nilai mengangguk mengiyakan ucapan Jason yang terdengar seperti ancaman. 

***

"Sudah empat tahun, tapi masih belum ketemu juga..." 

Jason menghela napas putus asa. Ia masih belum menemukan keberadaan gadis yang dia cari. Bahkan Roland tanpa henti melakukan penyelidikan, tapi tetap saja hasilnya nihil. Gadis itu benar-benar hilang ditelan bumi. Ingatannya tentang wajah gadis itu pun mulai memudar. 

Sementara sang mama, Santi, selalu mendesaknya untuk segera menikahi Tamara. Dia selalu menghindar saat wanita itu membuka obrolan tentang pernikahan. Jason tidak tahu apakah dia akan melanjutkan hubungannya dengan Tamara hingga ke jenjang pernikahan, atau menyudahinya saja. Semakin hari, hatinya semakin tidak bisa menerima perempuan itu. 

"Mau sampai kapan kamu dengan Tamara hanya berstatus sebagai tunangan, Jason? Apa yang kamu tunggu sebenarnya?" tanya Santi membuka obrolan malam itu saat makan malam. 

Mendengar ucapan Santi, selera makan Jason seketika hilang. Obrolan ini yang selalu dia hindari dengan seribu alasan yang dia ciptakan. Namun malam ini dia merasa tidak menemukan alasan lagi. 

"Maaf, Ma. Sepertinya aku harus berterus terang pada mama. Aku tidak yakin akan menikahi Tamara." 

"Apa katamu?" Sepasang mata Santi membulat. Tentu saja dia terkejut mendengar ucapan Jason. "Kamu jangan mempermalukan mama di depan orang tua Tamara!"

"Aku benar-benar harus berpikir ulang tentang hubunganku dengan Tamara, Ma." 

"Tidak bisa. Pernikahanmu dengan Tamara harus dilaksanakan sesegera mungkin. Mama sudah cukup bersabar!" Saking marahnya, Santi sampai menggebrak meja. "Empat tahun bukan waktu yang sedikit, Jason. Orang tua Tamara sudah menunggu-nunggu kalian meresmikan hubungan. Pokoknya mama tidak mau dengar lagi alasan kamu. Kamu dan Tamara harus segera menikah dalam waktu dekat ini. Mama tidak ingin dibantah lagi!" Santi meninggalkan ruang makan dengan hati kesal. 

Jason memijit keningnya yang tiba-tiba terasa pening. Sang mama sudah bertitah, dan sepertinya dia tidak bisa berkutik lagi. 

Dia membenarkan ucapan ibunya. Apa yang dia tunggu sehingga menunda pernikahannya dengan Tamara hingga empat tahun lamanya? Tamara pun sudah berkali-kali menuntut diri Jason agar segera menikahinya. 

"Apa tidak ada cara lain untuk menemukan gadis itu?" Jason memanggil Roland ke kantornya siang itu. 

"Sulit sekali, Bos. Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami." 

Jason menghela napasnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan untuk menemukan gadis itu. Atau mungkin dia tidak ditakdirkan untuk kembali bertemu dengannya. 

"Apa aku harus berhenti mencarinya?" tanya Jason meminta pendapat sang kaki tangan. 

"Mungkin sebaiknya begitu. Mungkin suatu hari nanti gadis itu akan datang dengan sendirinya, kita tidak pernah tahu kehendak semesta, Bos." Ucapan bijaksana Roland seperti memberi secercah harapan dalam hati Jason. 

Mungkin saja gadis itu akan datang sendiri padanya, jika memang mereka berjodoh untuk saling bertemu kembali. 

Dia berharap, ketika saat itu tiba, dia belum terikat pernikahan dengan Tamara... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Pena_Cinta81
cie nyariin terus, kangen ya?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Berbeda

    “Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Demam

    Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Pantai

    Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Sastra Inggris

    Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Tumbuh

    Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti

  • Jerat Obsesi Presdir Tampan   Tamara Melahirkan

    “Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status