Share

Jerat Pemikat
Jerat Pemikat
Author: Maey Angel

Bekal

Author: Maey Angel
last update Last Updated: 2024-05-12 23:37:42

“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.

“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi.

Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.

“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.

“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.

“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.

Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, hanya divisi lain.

“Lo liat ada yang aneh nggak sama bekal si Hamzah itu? Masa belatung dimakan gitu. Nggak jijik apa?” bisikku.

“Ih, jijay deh. Mana mungkin dia makan belatung. Kamu ada ada saja,” omel Sarifah yang ternyata memang tak suka jika aku sudah mengatakan keahlianku ini. Hanya dia yang tahu kelebihan indra ke -6 ku karena dia adalah teman masa kecil hingga masa dewasaku ini. Asiknya, diterima kerja di kantor yang sama jadinya bisa ada teman curhat yang nyambung. Dia memang punya kelebihan yang sama denganku. Hanya saja, indra penglihatannya sudah ditutup tapi masih bisa merasakan jika ada yang aneh aneh.

“Serius, Fah. Tuh, di sendoknya isi belatung semua,” tunjukku pada sendok berisi belatung yang jelas hanya aku yang bisa melihatnya.

“Randu … berisik ah! Lo bikin gue nggak nafsu makan nih!” sungut Sarifah. Dia memukulku dengan buku yang ada di tangannya. Meski begitu, jelas Sarifah penasaran setelah ini. Dia bisanya gitu, habis mukul aku dan marahin aku pasti langsung samperin yang aku lihat.

“Ham, makan apa?” teriak Sarifah membuat lelaki yang sibuk makan itu menengok.

“Ramen dong. Enak banget, Fah. Mau?” tawarnya.

“Boleh liat?”

Benar saja. Sarifah mendekat ke arah makanan itu, lalu melihatnya sendiri. Aku memilih beranjak menuju kamar mandi karena setelah ini, pasti Sarifah akan menyusul.

“Ueek! Anying emang! Bisa bisanya si Hamzah makan makanan setan gini!” raung Sarifah yang sudah membuang isi perutnya itu.

“Hahaha, dibilangin nggak percaya. Liat belatungnya?” tanyaku.

“Nggak lah, tapi gue cium aromanya. Astaga, taik lo aja nggak kayak gitu baunya,” ucapnya.

“Sembarangan!”

Aku bersandar di dinding sambil memperhatikan Sarifah yang membersihkan wajahnya. Dia pun ikut bersandar di sisiku dan menepuk pundakku.

“Lo harus bantu dia buat sadar. Jangan sampe kasusnya kayak si Memet. Gawat kan?”

Memet adalah sahabat kami. Dia meninggal dunia setelah mengalami keanehan yang tak dicegah sejak dini. Sama halnya dengan Hamzah, keanehan seperti ini memang harus dikasih tahu alasan dan penyebabnya agar tak berujung pada kematian.

“Coba lo ajak pergi bareng, biar nanti gue bantu pantau," ucapnya.

"Oke."

Suasana kantor yang lengang membuatku bekerja santai. Hari ini, bos sedang tidak berada di tempat. Aku dan karyawan yang lain pun tidak harus was was dan santai sejenak ketika bekerja. Anggaplah istirahat karena jika ada bos, semua aktivitas kami tak luput dari omelannya.

“Sore nanti, nge-gym yuk!” ajakku.

“Sorry, bray. Aku ada janji sama Munaroh,” tolaknya.

“Munaroh lagi? Ah, kapan sih bang Ocit datang,” ledekku yang sampai heran dengan sahabatku itu.

"Ayolah, lama nggak gym bareng kan kita?"

"Ntar gue kabari, gue tanya Munaroh dulu," ucapnya.

Munaroh adalah janda kaya yang tinggal di kontrakan kami. Lebih tepatnya, dia adalah pemilik kosan yang aku dan Hamzah tempati. Orangnya udah setengah tua alias paruh baya, bahkan kulit sudah hampir kisut separuhnya. Namun, entah kenapa sahabatku ini sangat senang jika diajak pergi olehnya. Padahal stok wanita cantik itu banyak, tapi kenapa milih janda kisut yang sudah habis sari sarinya. Heran, juga aneh sendiri.

"Gimana?" Tanyaku setelah pekerjaan selesai.

"Bisa, cuma setengah jam saja katanya."

"Siplah!"

Sore itu aku menjalankan rencana, aku sengaja pergi ke tempat gym selepas pulang kerja. Aku yang memang betah jadi jomblo ini mendadak seperti playboy gadungan karena mengajak Sarifah.

"Udah di mana katanya si Hamzah?" Tanya Sarifah yang sudah sampai bersama ku tak selang lama.

"Gak diangkat!" jawabku.

"Nah kan? Ini pasti udah jelas, sirep! Kita ke TKP," ajaknya bersemangat.

Baru saja kaki hendak menapaki langkah selanjutnya, suara cukup aneh membisik di telingaku.

Next??

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status