Home / Horor / Jerat Pemikat / jin sialan

Share

jin sialan

Author: Maey Angel
last update Last Updated: 2024-05-12 23:44:33

Kuseret tubuh Hamzah perlahan karena tentu berat jika harus membopongnya sendirian. Aku bawa dia ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di sana. Aku hendak menutup pintu niatnya, tapi sosok besar dan hitam hendak menerobos kamar Hamzah. Sepertinya makhluk itu tak menyerah ingin mengganggu Hamzah dan aku.

Aku pun membaca doa kembali, berharap makhluk menyeramkan itu sudah menghilang setelah aku beri ajian yang satu ini.

Byuh!

Aku menyiram dengan air yang tadinya aku gunakan untuk membuat Hamzah terbangun. Seketika hilang dan aku pun merasa lega. Aku langsung berlari menutup pintu, lalu mengambilkan baju untuk Hamzah. Malam ini aku menjaganya tanpa tidur, hingga subuh menjelang mata ini barulah datang ngantuknya.

Bunyi gedoran pintu terdengar sangat keras sampai membangunkanku. Aku mengucek mataku dan melirik ke sisiku, kaget bukan kepalang. Di mana Hamzah? Sontak aku bangkit dan membuka pintu.

“Lama banget sih?” sungut Syarifah ternyata si pembuat bunyi berisik pintu ini. “Ke pintu sebelah, lo nggak nyaut. Jadi gedor di pintu ini. Eh ternyata lo di sini. Mana Hamzah? Sudah pulang?’

“Nah ntu dia. Semalam pulang. Bahkan sampe pagi gue jagaian, tapi kok nggak ada,” laporku.

Syarifah mengecek keningku. “Waras kan?”

“Sialan! Serius, ada loh. Apa ntu anak sembunyi di kamar mandi ya?”

Aku dan Syarifah kembali masuk. Tak ada di mana mana saat aku periksa. Lalu, yang semalam pulang siapa?

Aku masih ingat betul kalau itu Hamzah. Wajahnya yang pucat, tangannya yang dingin dan tubuhnya yang tel4nja4ng bulat. Aku bahkan yang memakaikan baju untuknya.

“Coba di telepon,” ucap Syarifah serius.

Panggilan itu tak tersambung. Berulang kali bahkan sampai Syarifah pun mungkin kesal karena selalu tak terhubung.

“Bisa?”

“Enggak.”

Aku berusaha berpikir jernih.

“Bukannya dulu lo juga pernah ditutup mata batinnya sama Ustad Gabungan di dusun seberang?” tanyaku pada Syarifah. “Dia pasti bisa dong menetralkan ilmu sihir yang ada pada Hamzah dan bantu kita.”

“Nggak tahu, sejak rukyah dan penutupan portal indra keenam ku, aku udah nggak mau lagi ketemu. Soalnya takut dipinang jadi istri,” jawab Syarifah merenges.

“Coba ke sana aja kali ya? Minta penangkalnya. Siapa tahu, Hamzah bisa sadar dengan cepat.”

“Jauh kan? Satu jam kita ke sana.”

“Daripada Hamzah ngilang ngilang gini? Mending kalau ngilangnya karena sedang ditagih hutang, ini di bawa mahluk tak berkutang. Kan ngeri,” ucapku.

Syariah mengangguk. Kami berdua beranjak dari kosan Hamzah dan hendak pergi ke dusun tempat kami dibesarkan. Satu jam perjalanan untuk sampai di sana karena memang pelosok dan jauh dari kota. Beruntung hari ini hari minggu. Aku bisa jalan jalan sekalian mencari penangkal sihir dari si Munaroh itu. Aku hanya cuci muka dan gosok gigi saja, tak ada waktu untuk mandi karena Syariah pun tak mau menungguku lama lama. Demi kekompakan dan keefektifan, aku pun manut. Mandi dengan cara cepat bebek berenang.

Syarifah sudah ada di atas motor saat aku baru selesai ganti baju. Dia nampaknya sudah tak sabar pergi denganku. Aku mengunci pintu, lalu menaiki motor yang terparkir di halaman kontrakan.

“Pegangan,” ucapku pada Syarifah.

“Jangan ngebut ya? Gue masih pengin kawin dan punya anak,” ucapnya.

“Siap, habis ini kita bikin,” jawabku membuat Syarifah mencubit perutku pelan.

Perjalanan pagi ini terpantau ramai lancar. Tak ada poci atau miskun yang mengikuti karena mungkin mereka belum terbiasa memakai sunblock atau takut paparan sinar matahari. Aku dan Syariah mengendarai motor berdua layaknya suami istri, dia aku paksa pegangan dan aku merasa tertantang. Syahdunya.

“Kira kira ustad Husni di rumah nggak ya?” tanya Syarifah. Kulirik dia lewat spion, dia terlihat sangat cemas.

“Pasti di rumah, ustad biasanya nggak ambil jalir rantauan. Mereka terbiasa bekerja lewat jalur pasrah lillah biasanya.”

“Hm, semoga ada jalan keluar. Sudah nggak tega banget. Seperti gue yang dulunya sering pingsan saat dikasih penampakan hantu, rasanya tuh kayak hidup segan matipun tak mau. Ya kan?”

Aku mengangguk. Memang begitu adanya. Menjadi orang yang punya kelebihan tentu akan menjadi sebuah rasa tak nyaman saat dihadapkan pada mahluk mahluk yang seharusnya tak nampak dalam penglihatan. Kadang ingin kelebihan ini benar benar sirna agar hidup normal layaknya orang biasa. Namun, semua tak semudah yang dibayangkan. Syarifah saja yang sudah begitu banyak melakukan uji coba penutupan portal gaib masih bisa merasakan meski sudah tak bisa melihat keberadaan mereka.

Kami sampai di Dusun Kali Bangun, Desa Mentasan. Desa di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Desa di mana aku pertama kali dikenalkan dengan indra keenam yang merisaukan.

Suara belalang pohon dan rindangnya pohon Randu menjadi pertanda kami sudah sampai. Desaku ini memang penghasil kapuk yang cukup dikenal di berbagai tempat. Alasanku diberi nama Randu karena orang tuaku saat itu panen kapuk dan akhirnya mengambil nama itu sebagai namaku. Terdengar tak kreatif memang, tapi itulah orang tua jaman dulu. Tak mau pusing mencari nama yang susah untuk diingat dan dikenal banyak orang, tak seperti sekarang ini.

Kami menghentikan motor tepat di depan surau, tempat di mana Ustadz Husni tinggal. Kami sengaja tak mampir ke rumah agar Ayah dan Ibu tak memaksa kami menginap. Niatnya, kami hanya akan sebentar ke sini. Setelah itu, kembali untuk melihat keadaan Hamzah.

Aku dan Syarifah turun, lalu mengucapkan salam setelah melihat wanita tua yang merupakan Ibu dari Ustad Husni. Wanita teduh itu tersenyum saat kami datang.

“Wah, tamu jauh ini. Sehat, Nak Randu, Nak Ifah?” tanya Bu Hannah.

“Alhamdulillah, Umi sehat?” Kami berdua kompak menjawab.

“Alhamdulillah. Ini datang berdua bareng bareng begini, ada apa? Umi lama loh nggak ketemu, makin gagah dan cantik saja kalian.”

Kami berdua tersenyum.

“Ustad Husninya ada, Umi?” tanyaku to the point.

“Ada, tapi lagi di sawah. Bentar, Umi minta Manang panggilkan. Kalian masuk dulu, medang medang,” ucap Umi.

Medang adalah bahasa jawa untuk aktivitas jamuan yang biasanya dilakukan para tamu. Kami berdua dibuatkan teh dan diberikan jamuan makanan tradisional dari ubi.

“Tunggu ya, paling nanti langsung pulang. Kerjanya di sana lancar, Fah?” tanya Umi pada Syarifah.

“Alhamdulillah, Umi.”

Aku mendengarkan saja percakapan Umi dan Syariah. Aku malah fokus pada rumah yang dihuni Ustadz Husni ini. Semua hiasan di dinding hanya kali grafi, tapi aroma minyak kasturi sungguh sangat mendominasi. Aku melihat lubang yang ada di dinding rumah. Lubang hitam yang terlihat sangat aneh. Seperti lubang besar, tapi kok …

Lekat …

Lekat …

Lekat …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status